BPK Belum Hitung Kerugian Negara Perkara VLCC
Utama

BPK Belum Hitung Kerugian Negara Perkara VLCC

ICW mendesak Kejagung segera menyewa lembaga appraisal independen. Anggota Komisi III DPR mengusulkan SP3 VLCC dibawa ke pengadilan.

Oleh:
Rfq/Fat
Bacaan 2 Menit
BPK Belum Hitung Kerugian Negara Perkara VLCC
Hukumonline

 

Dimintai konfirmasinya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy tetap pada pendapatnya, bahwa BPK yang seharusnya mengaudit penjualan VLCC sebagai aset PT Pertamina yang merupakan perusahaan milik negara. Marwan juga menegaskan bahwa tidak adanya kerugian negara disimpulkan bersama lembaga terkait lainnya setelah melakukan ekspos perkara November silam.

 

Pengacara Laksamana Sukardi, salah seorang tersangka, Petrus Selestinus sepakat dengan Marwan bahwa BPK pihak yang berwenang untuk mengaudit. Satu-satunya lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah ya BPK, tandasnya. Menurut Petrus, BPK sudah melakukan penghitungan terhadap penjualan VLCC, jadi tidak dibutuhkan lembaga appraisal.

 

Dia bisa menghitung berdasarkan data yang ada, tapi tidak ada kerugian, ujar Petrus. Sebaliknya, BPK justru menemukan adanya keuntungan dari penjualan dua unit VLCC sebesar AS$54 juta.

 

Dihubungi hukumonline, Anggota Komisi III Gayus Lumbuun mengatakan akan segera  berkoordinasi dengan BPK terkait penjelasan tentang kerugian negara. Gayus yang juga tergabung dalam Panitia Khusus DPR terkait perkara VLCC memang menyayangkan penerbitan SP3 yang dilakukan Kejagung secara tertutup. Saya mengusulkan agar SP3 ini dibawa kembali ke pengadilan, gagasnya.

 

Selain itu, Gayus rencananya akan segera berkoordinasi dengan Tim Pengawas perkara VLCC. Sesuai rapat kerja Kejagung kemarin (16/2), di DPR sudah ada tim yang dibentuk oleh Kejagung, ujarnya. Politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini berharap setelah berkoordinasi dengan BPK dan Tim Pengawas, terbuka kemungkinan penyidikan dilanjutkan.

 

Serahkan ke KPK

Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah menangkap kesan ada pengkambinghitaman SP3 oleh Kejagung yang selalu bilang tidak adanya kerugian negara. Padahal, kata Febri, BPK dalam pernyataannya tidak pernah mengatakan tidak adanya kerugian negara. Hal ini kontradiktif, tandasnya.

 

BPK mengatakan tidak bisa audit karena persoalan kewenangan aset lembaga appraisal, tandasnya. Menurut Febri, BPK belum melakukan penghitungan dalam perkara VLCC karena  BPK tidak punya kewenangan untuk penilaian aset penghitungan kerugian negara dalam perkara VLCC. BPK, jelas Febri, hanyalah lembaga audit dalam konteks post audit. Artinya BPK memeriksa pengelolaan keuangan yang terjadi sebelumnya, dan bukan untuk menentukan kebijakan antara harga pasar dengan harga penjualan. Ia khawatir BPK hanya dijadikan bumper saja atau kambing hitam dari SP3 VLCC ini.

 

BPK harus merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung agar menyewa lembaga penilai aset yang kompeten, justru bukan memberikan SP3, desak Febri. Ia juga mendesak perkara VLCC harus dibuka kembali. Febri juga menyebut sejumlah lembaga appraisal yang dapat digunakan jasanya, seperti Masyarakat Persepsi Penilaian Indonesia atau Gabungan Pengusaha Penilai Indonesia.

 

Atau ICW memberikan opsi terakhir, kalau Kejagung tidak komitmen lagi untuk menyelesaikan VLCC, kasih ke KPK saja.

Cerita di balik terbitnya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dugaan korupsi dalam transaksi penjualan dua unit Tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik PT Pertamina mulai terkuak. Adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengungkapkan cerita agak berbeda dari versi Kejaksaan Agung (Kejagung). Sebagaimana diberitakan, Kejagung berdalih unsur kerugian negara tidak ditemukan, sehingga terbitlah SP3. Kesimpulan ini diperoleh setelah penyidik Kejagung melakukan ekspos perkara bersama dengan BPK, dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan serta Komisi Pemberantasan Korupsi.

 

Melalui siaran pers, Selasa (17/2), BPK menjelaskan bahwa perhitungan kerugian negara dalam perkara VLCC tidak dapat dilakukan sesuai dengan metode dan prosedur penghitungan yang diterapkan oleh BPK. Pasalnya, menurut BPK, harus dinilai dan ditetapkan terlebih dahulu harga pasar yang wajar dalam transaksi penjualan VLCC. Perhitungan ini harus dilakukan oleh lembaga penilai aset (appraisal), sedangkan BPK kedudukannya hanya sebagai lembaga audit. Makanya, BPK merasa tidak berkompeten untuk menilai dan menetapkan harga pasar yang wajar dalam transaksi penjualan dua unit kapal VLCC Pertamina itu. 

 

Untuk itu, BPK merekomendasikan Kejagung menyewa lembaga appraisal yang kompeten untuk melakukan penilaian harga pasar yang wajar sebagai dasar dalam menentukan kerugian negara. Di luar itu, BPK menegaskan bahwa ada tidaknya kerugian negara yang terindikasi korupsi sepenuhnya menjadi kewenangan Kejagung, bukan BPK.

Tags: