KPK: Penyadapan Atas Permintaan Antasari Sesuai SOP
Berita

KPK: Penyadapan Atas Permintaan Antasari Sesuai SOP

Selain KPK, lawful interception juga diterapkan di jajaran Kepolisian. Anggota DPR meminta pengawasan yang lebih ketat.

Oleh:
Rzk/Nov
Bacaan 2 Menit
KPK: Penyadapan Atas Permintaan Antasari Sesuai SOP
Hukumonline

 

Hasil pemantauan ternyata tidak menunjukkan adanya indikasi keterkaitan dengan kasus korupsi yang ditangani KPK. Oleh karenanya, setelah berjalan dua bulan, sekitar awal Maret 2009 pemantauan pun dihentikan. Tidak ada satupun nomor-nomor yang diberikan terdaftar atas nama R atau Rani (Julianti) atau Nasrudin (Zulkarnaen), Chandra menambahkan.

 

Prosedur ketat

Menurut Chandra, dalam melakukan penyadapan KPK tunduk pada standard operating procedure (SOP). Ia memaparkan berdasarkan SOP, maka setiap permintaan penyadapan informasi yang sah harus disampaikan kepada salah satu pimpinan KPK. Lalu, pimpinan yang menerima permintaan itu yang memutuskan apakah penyadapan dilakukan atau tidak.

 

Proses penyadapan di KPK itu dilakukan secara katakanlah cukup ketat, ada formulirnya, jangka waktunya juga sudah ada, pertimbangan kenapa dilakukan, (dan) hasil yang diharapkan, kata Chandra.

 

Tidak hanya itu, setiap tahun pelaksanaan penyadapan KPK juga diaudit oleh tim khusus. Untuk tahun 2007, hasil audit menyatakan penyadapan sudah berjalan sesuai aturan yang berlaku. Sementara, untuk tahun 2008, KPK awal tahun ini (2009) telah mengirimkan surat ke Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Depkominfo. Timnya dalam proses pembentukan oleh Dirjen Postel.

 

Dua tahun lalu, berita hukumonline pernah membahas tentang ‘tim khusus' yang disebut Chandra. Tim yang menurut Permenkominfo No. 11/PER/M.KOMINFO/020/2006 disebut Oversight Committee atau Komite Pengawas ini memang diserahi tugas memantau apakah penyadapan oleh penegak hukum dilakukan sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Komposisi Komite tidak hanya terdiri dari kalangan penegak hukum tetapi juga kalangan industri telekomunikasi.

 

Wakil Ketua KPK lainnya, Bibit Samad Rianto menambahkan sistem penyadapan yang diterapkan KPK adalah lawful interception atau penyadapan untuk kepentingan hukum. Kita belajar ke Jerman, ujarnya. Selain KPK, kata purnawirawan polisi ini, lawful interception juga diterapkan di jajaran Kepolisian.

 

Menyambung penjelasan Chandra dan Bibit, Penasihat KPK Abdullah Hehamahua menyimpulkan bahwa penyadapan yang diminta Antasari tujuannya sesuai dengan lawful interception. Abdullah mengaku juga pernah didatangi Antasari pada penghujung tahun 2008. Antasari mengaku istrinya menerima ancaman agar dirinya tidak mengusut kasus korupsi. Jadi, itu untuk tujuan kasus korupsi, tukasnya.

 

Ditemui terpisah, Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun mengatakan penyadapan yang dilakukan atas permintaan Antasari patut dipertanyakan, karena yang dituju adalah perorangan bukan seorang tersangka korupsi. Ia menegaskan penyadapan tetap harus tunduk pada UU Telekomunikasi. Di undang-undang itu memang disebutkan bahwa penegak hukum memang berwenang melakukan penyadapan. Namun, kata Gayus, tetap harus ada pengawasan yang ketat.

 

Di masa yang akan datang diperlukan lembaga pengawas yang resmi untuk memastikan apakah suatu penyadapan betul diperlukan untuk kepentingan penyidikan dan tidak melanggar hak privasi seseorang, usulnya. Lembaga yang dimaksud Gayus terdiri dari unsur penyelenggara telekomunikasi, tokoh masyarakat, dan mantan penegak hukum. Sayang, Gayus tidak menjelaskan lebih lanjut apakah lembaga pengawas yang ia gagas sama dengan oversight committee sebagaimana diatur Permenkominfo No. 11/PER/M.KOMINFO/020/2006.

Maret 2007, suasana rapat kerja di Komisi III DPR berlangsung panas. Pihak tamu, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) -ketika itu masih era kepemimpinan Taufiequrachman Ruki- dicecar pertanyaan dari sejumlah anggota Komisi III seputar kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Aksi ‘curi dengar' yang dijalankan KPK selama ini ditenggarai tidak jelas mekanismenya. Sejumlah anggota Komisi bidang Hukum dan HAM itu bahkan khawatir kewenangan tersebut disalahgunakan.

 

Dasar hukum yang tidak jelas menjadi salah satu hal yang dipersoalkan. Ketika itu, Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi mengakui kewenangan penyadapan didasari oleh UU KPK No 30 Tahun 2002 dan UU Telekomunikasi No 36 Tahun 1999. Sayang, kedua undang-undang tersebut tidak mengatur secara detail. Makanya, kemudian muncul Permenkominfo No. 11/PER/M.KOMINFO/020/2006 tentang Informasi yang Diperoleh Melalui Penyadapan Bersifat Rahasia.    

 

Dua tahun berselang, isu penyadapan kembali menghangat. Pemicunya adalah kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen yang diduga dilakukan oleh pengganti Ruki, Antasari Azhar. Jumat (19/6), Wakil Ketua KPK bidang Penindakan Chandra Hamzah memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya. Chandra dimintai keterangan seputar penyadapan yang dilakukan KPK atas permintaan Antasari terhadap Nasrudin dan Rani, wanita yang disebut-sebut sebagai saksi kunci.

 

Senin (22/6), saat jumpa pers di kantor KPK, Chandra menuturkan ulang apa yang disampaikan kepada penyidik. Awal tahun 2009, aku Chandra, dirinya memang didatangi oleh Antasari yang menyampaikan bahwa istrinya, Ida Laksmiwati, diancam oleh seseorang. Kepada Chandra, Antasari lalu memberikan sejumlah nomor telepon seluler yang telah mengganggu istrinya.

 

Ini nomor-nomor yang ganggu dan ancam istri saya, Chandra menirukan perkataan Antasari ketika penyerahan nomor telepon. Sayang, Antasari tidak menyebut siapa pemilik nomor-nomor tersebut. Namun, Chandra tetap meneruskan informasi itu kepada penyelidik untuk dilakukan pemantauan. Ia menegaskan sesuai tugas pokok dan fungsi KPK, pemantauan dilakukan untuk menelusuri keterkaitan informasi dari Antasari dengan kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Penyelidik juga bermaksud mencari tahu siapa koruptor yang berupaya mengganggu kinerja KPK.

Tags: