Pensiunan Depnakertrans Didakwa Korupsi Uang Yayasan
Berita

Pensiunan Depnakertrans Didakwa Korupsi Uang Yayasan

Muzni didakwa telah merugikan keuangan negara sebesar Rp107,6 milyar dan AS$328.581,64. Melalui penasihat hukumnya, terdakwa langsung eksepsi.

Oleh:
M-8
Bacaan 2 Menit
Pensiunan Depnakertrans Didakwa Korupsi Uang Yayasan
Hukumonline

 

Selama menjabat Ketua TPPA, Muzni telah menggunakan dana sekitar Rp41 milyar. Dana sebesar itu antara lain digunakan untuk pembayaran honor atau uang saku atau tunjangan hari raya kepada jajaran TPPA. Alokasi paling banyak yakni Rp30 milyar, digunakan Muzni untuk hibah kepada Rumah Sakit Imelda Medan, Rumah Sakit Petala Bumi Pekan Baru, dan Rumah Sakit Sele Be Solu Sorong. Masing-masing rumah sakit menerima Rp10 milyar.

 

Tidak hanya menebar uang, Muzni juga tidak menyetorkan bunga deposito ke kas negara. Padahal, jumlahnya cukup signifikan sekitar Rp48 milyar. Selain itu, ia juga ‘alpa' menyetorkan pajak penghasilan (PPh 21) hasil potongan pesangon ke kas negara dengan nilai sekitar Rp96 milyar.

 

Terdakwa melakukan pengelolaan sisa hasil likuidasi dari ex YDTP-Migas, padahal seharusnya aset tersebut disetorkan ke kas negara, tulis penuntut umum dalam surat dakwaan. Tindakan terdakwa dinilai telah melanggar beberapa peraturan perundang-undangan seperti UU Yayasan, UU Perbendaharaan Negara, PP Perlindungan Upah, Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dengan Menakerstrans, dan terakhir AD/ART YDTP.

 

Selain, tindak pidana korupi memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara melawan hukum, Muzni juga didakwa dengan pasal suap, Pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suap dimaksud diterima ketika Muzni mengurus hibah dana likuidasi YDTP kepada tiga rumah sakit. Dari RS Imelda, Muzni menerima Rp1,5 milyar. Dari RSUD Sele Be Solu, Muzni menerima Rp885 juta. Terakhir, dri RSUD Petala Bumi, Muzni menerima Rp1 milyar. Semua uang dari RS penerima hibah itu selalu dibagi-bagikan, namun bagian terbesar selalu untuk Muzni.

 

Perintah jabatan

Atas dakwaan penuntut umum, terdakwa melalui tim penasihat hukum yang dipimpin oleh Maqdir Ismail langsung menyampaikan keberatan (eksepsi). Tim penasihat hukum menyatakan kliennya tidak bersalah karena hanya menjalankan perintah jabatan dari Menakertrans. Menurut Maqdir, Menteri lah yang memiliki kewenangan secara hukum untuk mengatur program tabungan pesangon pekerja di sektor perusahaan jasa penunjang pertambangan migas.

 

Terang-terangan, Maqdir menyebut Jacob Nuwa Wea selaku atasan terdakwa di Depnakertrans. Muzni yang telah diangkat sebagai Ketua TPPA tidak mungkin menolak atau menghindari perintah Jacob. Makanya, menurut Maqdir, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) KUHP, Muzni tidak dapat dipidana karena tindakan yang ia lakukan semata perintah jabatan dari Jacob. Di luar itu, laiknya eksepsi pada umumnya, Maqdir menyatakan dakwaan penuntut umum harus batal demi hukum karena disusun tidak cermat, tidak jelas, khususnya terkait tempus delicti atau waktu terjadinya tindak pidana.

Lagi-lagi, yayasan instansi pemerintah diwarnai skandal korupsi. Setelah Bank Indonesia dengan skandal aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia, kini skandal itu terjadi di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Adalah Yayasan Dana Tabungan Pesangon Tenaga Kerja Pemborong Minyak dan Gas Bumi (YDTP), dimana terjadinya dugaan tindak pidana korupsi itu.

 

Muzni Tambusai, pensiunan PNS Depnakertrans, Selasa (25/8), didakwa telah secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Dalam surat dakwaan, Muzni disebut melakukan korupsi itu baik sendiri maupun bersama-sama dengan Jacob Nuwa Wea, mantan Menakertrans era Presiden Megawati Soekarnoputri. Jacob sendiri sejauh ini baru berstatus sebagai saksi.

 

Penuntut umum menjerat Muzni dengan dakwaan alternatif di antaranya dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (primer) dan Pasal 3 jo Pasal 18 undang-undang yang sama. Dalam dakwaan, penuntut umum juga menerapkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 tentang delik penyertaan.

 

Tindak pidana yang didakwakan terjadi pada kurun waktu tahun 2003 hingga 2006. Ketika itu, Muzni menjabat Ketua Tim Pengawas Likuidasi YDTP berdasarkan Keputusan Menakertrans Nomor 43/MEN/2002 tanggal 16 Januari 2002. Tim Likuidasi sendiri dibentuk dua tahun sebelum pengangkatan Muzni, menyusul rekomendasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan yang menyatakan YDTP bertentangan dengan Instruksi Presiden No 20 Tahun 1998. Berdasarkan Keputusan Menakertrans Nomor Kep-297/MEN/2000 tanggal 26 Desember 2000, Tim Likuidasi diserahi tugas menyelesaikan hak dan kewajiban serta aset YDTP.

 

30 Desember 2002, Tim Likuidasi merampungkan tugasnya. Hasilnya, tercatat sisa kekayaan YDTP kurang lebih Rp135 milyar dan AS$250 ribu, dilaporkan ke Jacob selaku Menakertrans. Begitu menerima laporan, bukannya menyetor ke kas negara, Jacob justru berniat mengelola dan menggunakan aset YDTP. Tim Pelaksana Pengelola Aset (TPPA) pun dibentuk dengan Ketua Muzni dan Jacob selaku pengarah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: