MK Nilai Pemohon Pengujian UU Advokat Kebingungan
Utama

MK Nilai Pemohon Pengujian UU Advokat Kebingungan

Pemohon dalam petitumnya menuntut beberapa hal yang tak lazim diminta. Bahkan pemohon kena semprot hakim konstitusi karena menyingkat Mahkamah Konstitusi dengan sebutan "MahKon".

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
MK Nilai Pemohon Pengujian UU Advokat Kebingungan
Hukumonline

 

Tentu saja petitum semacam ini mendapat kritikan dari para hakim konstitusi. Tak ada petitum seperti itu di sini, tegas Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Ia bahkan menyatakan bila petitumnya benar seperti itu MK sudah bisa langsung memutuskan permohonan itu. Kalau seperti itu, hari ini sudah bisa diputus, ujarnya. Harjono bahkan menilai pemohon seperti orang bingung.

 

Salah seorang pemohon, Abraham Amos mengatakan ketentuan Pasal 4 ayat (1) itu memang bermasalah. Namun, ia mengaku tak menemukan pertentangannya dengan UUD 1945. Itu hasil diskusi kita selama ini di kampus dengan para ahli, ungkapnya jujur.

 

Sehingga, pada petitum berikutnya, Amos beserta rekannya hanya mempersoalkan sikap Ketua MA Harifin A Tumpa yang memerintahkan Ketua PT untuk tidak mengambil sumpah calon advokat. Petitum itu meminta MK untuk 'Menyatakan bahwa penafsiran hukum yang dilakukan oleh Ketua MARI (Mahkamah Agung,-red) atas substansi Pasal 4 ayat (1) UU Advokat No: 18 Tahun 2003 berimplikasi tidak dapat diambil sumpah advokat oleh KPT adalah bertentangan dengan hukum, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat'.


Petitum ini juga dikritik oleh para hakim. Pasalnya, MK hanya menguji UU terhadap UUD 1945, bukan penafsiran hukum suatu lembaga. Mukthie bahkan menyarankan pemohon belajar dari permohonan pengujian UU yang lain. Meski anda calon advokat kan anda bisa membaca (permohonan-permohonan lain,-red), pintanya.

 

Tak hanya terkait petitum, Amos juga sempat terkena 'semprot' Mukthie Fadjar. Sebabnya, Amos menyingkat Mahkamah Konstitusi menjadi 'MahKon'. Singkatan ini terasa asing ditelinga Mukthie. Meski sudah diingatkan agar tak menggunakan istilah itu, Amos masih saja mengucapkannya berungkali. "Singkatan-singkatan 'mahkon' itu harus betul-betul anda cabut. Sudah diingatkan, anda masih terus mengulangi."

 

Panel hakim konstitusi pun menyarankan tiga opsi kepada pemohon. Pertama, bertahan dengan permohonan ini. Kedua, mencabut permohonan. Atau kembali ke permohonan awal, ujar Maruarar. Bila pemohon memilih kembali ke permohonan awal maka permohonan yang ada sekarang harus diperbaiki lagi. Sayangnya, waktu perbaikan 14 hari sejak pemeriksaan pendahuluan telah habis.

 

Amos akhirnya memilih opsi terakhir. Kami kembali ke permohonan awal. Kami minta agar pasal tersebut di-drop, ujarnya. Ia pun berjanji akan memperbaiki permohonan ini dalam jangka waktu satu hari. Ia menjanjikan permohonan akan dikembalikan pada hari ini juga. Mukthie menyarankan pemohon berkonsultasi dengan panitera MK. Kalau mau ke petitum lama tapi positanya tak diubah, ya sama saja, ujarnya. 

 

Batalkan Frase

Permohonan Amos dkk boleh saja dikritik habis-habisan oleh hakim konstitusi, namun pengujian Pasal 4 ayat (1) UU Advokat ternyata bukan hanya miliknya. Seorang advokat kelahiran Flores bernama Mohammad B RM juga menguji pasal yang sama. Ia menunjuk Petrus Balla Pattyona dan 15 pengacara sebagai kuasa hukumnya.

 

Uniknya, para advokat tersebut berasal dari organisasi yang sama, yakni Kongres Advokat Indonesia (KAI). Salinan permohonan yang diperoleh hukumonline pun berasal dari situs resmi KAI. Sekedar mengingatkan, KAI adalah organisasi advokat yang berseteru dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Mereka masing-masing mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi advokat.

 

Dalam permohonannya, Mohammad tidak menguji seluruh isi Pasal 4 ayat (1) UU Advokat. Ia hanya meminta MK membatalkan frase yang terdapat dalam pasal itu. Yakni, frase 'di Sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya'.  Secara lengkap pasal itu berbunyi 'Sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sunguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domilisi hukumnya'.

 

Inti permohonan ini sebenarnya sama dengan permohonan yang diajukan Amos dkk. Yakni, sama-sama menolak bahwa advokat harus disumpah di Pengadilan Tinggi oleh Ketua PT. Namun, permohonan ini terlihat lebih jelas bila dibandingkan dengan permohonan yang diajukan Amos dkk.

Sidang pengujian UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) kembali digelar. Agenda sidang kali ini bertajuk pemeriksaan perbaikan permohonan. Pemohon pun sudah menyiapkan permohonan yang telah diperbaiki. Pada sidang sebelumnya, panel hakim konstitusi telah meminta pemohon untuk memperbaiki permohonan pengujian Pasal 4 ayat (1) UU Advokat.

 

Sekedar mengingatkan, permohonan tersebut diajukan oleh tiga calon advokat,       Abraham Amos, Djamhur dan Rizku Yoserizal. Mereka mempersoalkan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang mewajibkan calon advokat diambil sumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi. Pasal ini menjadi masalah, apalagi setelah Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A Tumpa memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi tidak boleh mengambil sumpah calon advokat sebelum bersatunya organisasi advokat.  


Meski permohonan telah diperbaiki, bukan berarti pemohon dapat terbebas dari kritikan para hakim konstitusi. Bahkan, Hakim Konstitusi menilai permohonan yang sudah diperbaiki ini lebih 'kacau' dari permohonan yang awal. Kok setelah anda ubah, jadi tambah tidak jelas, ujar Hakim Konstitusi Harjono di ruang sidang MK, Rabu (3/9).

 

Dalam permohonan perbaikannya, pemohon mengajukan petitum yang tidak lazim. Pemohon malah justru meminta Pasal 4 ayat (1) wajib dipatuhi. Padahal, pasal tersebut yang diuji ke MK. Mereka meminta agar MK Menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) UU Advokat No: 18 Tahun 2003, yang bersifat deklaratif (imperative categories) wajib dipatuhi, dan tidak boleh tidak dilaksanakan, karena bertentangan terhadap UUD 1945".

Halaman Selanjutnya:
Tags: