Niat dibentuknya TGPTPK pada mulanya memang baik, yaitu sebagai salah satu upaya untuk menangani berbagai masalah yang bergolak dalam pemberantasan tindak pidana korupsi selama ini.
Pakar hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo yang berbicara dalam seminar bertajuk "Performance Review dan Pengembangan Diskursus TGPTPK dalam Rangka Pembentukan Komisi Anti Korupsi" mengidentifkasi dua masalah besar yang melatarbelakangi pembentukan TGPTPK.
Pertama, mekanisme hukum yang ada dianggap kurang mampu untuk menangani pemberantasan tindak pidana korupsi secara tuntas. Pasalnya, terjadi dualisme dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, yaitu antara polisi dan kejaksaan.
Di satu sisi, UU Nomor 3 Tahun 1971 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan Jaksa Agung sebagai koordinator dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Sementara di sisi lain, KUHAP menentukan kepolisian sebagai koordinator penyelidikan dan penyidikan. Buntutnya, dalam praktek, kepolisian memiliki unit khusus untuk penanganan tindak pidana korupsi.
Kedua, efisiensi dan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi sangat rendah. Sekalipun telah dilaporkan sebagai negara ketiga terkorup di dunia, tidak satu pun koruptor yang dipenjara. Akibatnya, masyarakat selalu mempunyai kecurigaan dan apatisme terhadap kemampuan sistem hukum, aparat hukum, dan budaya yang ada untuk memberantas korupsi.
Tim asistensi Jaksa Agung
Dalam perjalanannya, TGPTPK dihadang berbagai keterbatasan dan kendala interen maupun ekstern. Hal ini diungkapkan oleh Kamanto Sunarto, salah satu anggota tim performance review atas TGPTPK. Menurutnya, keterbatasan dan kendala tersebut dapat dibagi dalam tiga lingkup, yaitu kewenangan dan kemandirian TGPTPK, serta resistensi dari lembaga lainnya.
Kewenangan TGPTPK mencakup dua hal, yaitu koordinasi penyidikan dan koordinasi penuntutan. Namun dalam hal penyelidikan, Kejaksaan Agung lah yang harus memulai berdasarkan laporan warga masyarakat maupun temuan kejaksaan sendiri.