Drama Hukum dan Regulasi di Indonesia, Surga Bagi Dewa Moira
Ahmad Rosadi Harahap*

Drama Hukum dan Regulasi di Indonesia, Surga Bagi Dewa Moira

Pendapat Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Prof. Romli Atmasasmita, bahwa "Akomodasi Asing, Proses Legislasi Abaikan Kepentingan Bangsa Sendiri" (Hukumonline, 18 Juni 2003) melahirkan beberapa tanggapan kritis mengenai perlu-tidaknya hukum persaingan usaha bagi pembangunan nasional. Diantaranya yang menanggapi adalah Dr. jur. M. Udin Silalahi, SH, LL.M, (hukumonline,18 Juli 2003) dan HMBC Rikrik Rizkiyana (hukumonline, 28 Agustus 2003).

Bacaan 2 Menit
Drama Hukum dan Regulasi di Indonesia, Surga Bagi Dewa Moira
Hukumonline

Sejak era globalisasi, efisiensi dan fleksibilitas institusi telah menjadi wacana pokok dalam isu-isu kebijakan publik. Edward E. Zajac (1995;4-6) mengistilahkannya sebagai regulatory dramas. Kisah drama tersebut menggambarkan usaha para perumus kebijakan publik untuk menghentikan ayunan pendulum stakeholders-fairness-efficiency pada satu titik diam yang sama seimbang (Pareto equilibrium) di dalam pasar dalam rangka mengatasi kegagalan pasar (market failure).

Pada pendulum stakeholders (keadilan sosial), setiap kebijakan publik sedapatnya mampu mengakomodasikan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Sedangkan pada pendulum efisinsi (keadilan ekonomi) berharap agar intervensi pemerintah dapat memberikan trade-off yang adil antara benefits dan costs yang timbul dari intervensi pemerintah tersebut.

Pendulum demikian diharapkan akan memunculkan fleksibilitas institusi dalam menghadapi globalisasi (baca: era kekalahan sumber daya alam dan manusia), yakni fleksibilitas institusi dalam mengakomodasi sumber daya modal agar tetap berakumulasi di institusi tersebut. Singkatnya, keunggulan komparatif Richardo-an sudah tidak bisa lagi diterapkan.

Kaum New Institutional Economics (NIE) berargumentasi bahwa keunggulan komparatif institutional-lah yang akan memenangkan kompetisi dalam globalisasi. Asumsinya, dengan kemajuan sistem transportasi dan komunikasi, sumber daya modal telah bisa dilepaskan lokusnya dengan mudah dari lokus negara. Sehingga, negara yang memiliki keunggulan komparatif institutional dalam menampung sumber daya modal yang akan menjadi tempat investasi modal tersebut.

Dampaknya bagi penyelenggaraan kepemerintahan adalah, negara-negara dipaksa menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi modal agar tidak lari dari negaranya (relokasi, capital flight). Kondisi ini memunculkan persaingan regulasi antar negara sehingga mengakibatkan apa yang dinamakan praktek-praktek race to bottom.

Praktek tersebut mengakibatkan setiap negara berusaha berlomba ke bawah melalui kebijakan dan regulasi yang menurunkan standar sosial yang tidak ramah secara ekonomis seperti di bidang lingkungan dan perburuhan (van Wezel Stone, 1996).

Dapat dipastikan, pemerintah telah terjebak dalam perlombaan race to bottom ini, baik secara internasional maupun secara nasional akibat otonomi daerah. Kebijakan di bidang tata niaga gula, tata niaga beras, perburuhan versus investasi, paradoks kebijakan di bidang privatisasi BUMN di tingkat pusat (demonopolisasi) dan kebijakan pembentukan BUMD di tingkat daerah (monopolisasi) merupakan beberapa contoh aktual bukti kepanikan pemerintah hingga terjebak ikut dalam perlombaan race to bottom tersebut.

Dalam perlombaan tersebut, para oportunis menyalib di sana-sini dalam rangka kepentingan dan keuntungan sesaat hingga menyebabkan polynormativism dan legal synchretism dalam sistem hukum nasional yang dengan cengeng ditangisi oleh Kepala BPHN, Prof. Romli Atmasasmita, tersebut.

Salah satunya mungkin Prof. Romli Atmasasmita sendiri, yang seingat saya adalah pejabat Dirjen Kumdang saat perumusan dan pengundangan UU No. 5 Tahun 1999. Mungkinkah seorang sarjana hukum berbeda tugas intelektualnya ketika menjadi seorang Dirjen Kumdang dan ketika menjadi seorang Kepala BPHN?

Hukum sebagai a minimal tool

UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) memiliki konstruksi berpikir yang paralel dengan NIE. Dalam perspektif NIE terdapat dua konsep kunci, yakni lingkungan institusional (institutional environment) dan pengaturan institutional (institutional arrangements).

Yang pertama, merupakan framework dimana tindakan manusia dilakukan. Institusi ini dibutuhkan untuk mengurangi ketidakpastian karena ia menyediakan struktur tata-tindak bagi kehidupan sehari-hari dan menentukan sekaligus membatasi seperangkat pilihan (a set of choices) yang boleh diambil oleh individu (Douglass C. North, 1990;3-4). Lingkungan institutional ini dipagari antara lain oleh aturan hukum, norma sosial dan kebiasaan masyarakat.

Sedangkan yang kedua, yakni pengaturan institusional merupakan pengaturan-pengaturan yang dilakukan oleh individu untuk mengatur hubungan di antara mereka sendiri sepanjang tidak keluar dari pagar-pagar lingkungan institusional.  Pada institusi yang kedua ini hubungan kontraktual antar para pelaku usaha diakomodasikan untuk kepentingan bisnis mereka, sepanjang tidak bertentangan dengan aturan hukum, norma sosial dan kebiasaan masyarakat yang hidup pada institutional environment.

Untuk menghasilkan keunggulan komparatif institusional, pendekatan transaction costs menjadi aspek penting dalam perumusan suatu kebijakan (Ronald H. Coase; 1988; 174-79). Norma-norma dan kaedah-kaedah hukum harus dirumuskan melalui analisis transaction costs. Hukum melakukan kontrak sosial minimal terhadap mekanisme pasar sesuai prinsip Pareto (mensubsidi pihak yang lemah tanpa merugikan pihak yang diuntungkan), karena memang tidak ada pasar yang sempurna.

Costs yang timbul dari kegagalan pasar inilah yang dapat diatur oleh hukum dan regulasi. Di sinilah letak kepercayaan Dr. jur. M. Udin Silalahi, SH, LL.M dan HMBC Rikrik Rizkiyana terhadap manfaat instrumen hukum persaingan usaha dalam sistem hukum nasional keseluruhan.

Apakah benar demikian?

Berdasarkan UU No. 5 /1999, KPPU diberi kewenangan penuh untuk mengawasi hubungan kontraktual yang terjadi di dalam aras institutional arrangements antar pelaku usaha yang menyimpang dari institutional environment sebagaimana diatur di dalam Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999. Sedangkan kewenangan KPPU dalam aras institutional environment hanya sebatas memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah berdasarkan Pasal 35 huruf e UU No. 5 Tahun 1999.

 

Dari data perkara yang dilaporkan ke KPPU hingga akhir 2002, KPPU telah menangani 49 perkara dengan rincian sekitar 50% mengenai tender yang sebagian besar melibatkan pemerintah. Sekitar 20% timbul dari kebijakan pemerintah yang bersifat anti-persaingan.

 

Data tersebut menggambarkan bahwa laporan masyarakat kepada KPPU mayoritas terjadi pada aras institutional environment. Hanya sekitar 30% yang bersifat murni swasta dan itupun dilakukan dalam bentuk kartel, praktek monopoli, dan penyalahgunaan posisi dominan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki economic of scale hasil peliharaan kebijakan masa pemerintahan Orde Baru.

Dari data tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, kerapuhan fondasi ekonomi nasional bukan terletak pada kerdilnya jiwa persaingan usaha nasional. Kesimpulan ini secara empirik konsisten dengan daya tahan persaingan pelaku usaha menengah dan kecil yang relatif belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem globalisasi.

Dalam aras institutional arrangements, hubungan kontraktual pelaku usaha menengah dan kecil relatif tetap tidak terganggu dibandingkan dengan yang dihadapi oleh para pelaku usaha besar. Sebabnya, karena adanya perubahan institutional environment akibat reformasi sehingga pelaku usaha besar dipaksa untuk mencari patron-patron capitalism baru seiring perubahan kekuasaan transisional di era reformasi saat ini.

Kedua, upaya untuk mendirikan sebuah tembok institusi baru (reformasi) tidak akan pernah selesai melalui kerja bongkar-pasang batu bata yang dianggap sudah lumutan bagi kepentingan kelompok atau kepentingan jangka pendek maupun lewat penanganan perkara (case by case) seperti yang dilakukan oleh KPPU.

Demi tercapainya kebijakan publik yang berparadigma  stakeholders-fairness-efficiency, mutlak diperlukan institutional environment yang kondusif bagi hubungan kontraktual institutional arrangements. Dalam konteks hukum persaingan usaha, tanpa adanya competition value sebagai tafsir resmi dari penguasa terhadap Pasal 33 Konstitusi UUD 1945, yang kemudian diturunkan lewat competition policy dan competition institution oleh pemerintah lewat competition law enforcement oleh KPPU, maka pada aras institutional arrangements akan selamanya tidak mampu menghasilkan hubungan kontraktual yang akan menguatkan civil society yang melek ketika menilai manfaat persaingan dalam menjalankan bisnisnya.

Market Failure vs. Government Failure

Permasalahan institusional hukum nasional yang sesungguhnya adalah bukan tentang sinkronisasi UU No. 5 Tahun 1999 (hanya salah satunya saja, sebagaimana dipolemikkan) dalam keseluruhan sistem hukum nasional. Juga bukan masalah kemanfaatan UU No. 5 Tahun 1999 (sekali lagi, hanya salah satunya saja, sebagaimana dipolemikkan) dalam mengatasi costs yang timbul dari kegagalan pasar (market failure).

Permasalahan di negeri ini, ternyata hukum dan regulasi pemerintah justru menjadi masalah atau costs utama bangsa ini. Institutional arrangements tak mungkin dapat ditata secara kontraktual oleh para pelaku usaha dalam suatu institutional environment yang berbiaya tinggi (dan permasalahan ini terjadi pula dalam gatra sosial keseluruhan (ipoleksosbudhankam) sebagaimana terjadi pada perhelatan ST MPR pada setiap tahunnya).

Hukum dan regulasi yang harusnya mengatasi market failure, justru menjadi sumber penyebab utama kegagalan pasar (dalam artri luas, ekonomi maupun politik) hingga menimbulkan anomali sosial seperti yang sedang dihadapi bangsa ini sekarang.

Pada kondisi nadir demikian ini, maka pikiran harus diarahkan kepada pemeriksaan kembali aras institutional environment. Harus diingat bahwa hukum adalah produk irrasional politik dalam menerjemahkan logos negara. Dalam moral Hegelian, negara wajib ditaati sepanjang sesuai dengan logos manusia dalam proses transendentalnya mencapai roh absolut (manusia paripurna, insan kamil, mundigkeit). Bila negara bertentangan dengan logos, maka wajib dilawan untuk diubah agar sesuai dengan logos kemanusiaan kita.

Pada masa Orde Lama kekuatan wibawa personal Soekarno telah memberi andil bagi lambannya perkembangan logos bangsa ini. Dan pada masa Orde Baru kekuatan wibawa senjata dan uang Soeharto telah sengaja mengebiri logos bangsa ini hingga sama sekali irrasional. Kedua bentuk kepemimpinan tersebut mewujudkan negara hukum res patricia (elitis patriarkial), bukan res publica (publik). Dalam negara yang irrasional, pemimpin yang lahir kemudian adalah Dewa Moira, yakni dewa kegelapan dan kekerasan dalam mitologi Yunani.

Dalam konteks ini penguatan instrumen hukum sebagaimana yang diratapi oleh Prof. Romli Atmasasmita dalam menghadapi globalisasi, atau penguatan jiwa dan perilaku persaingan usaha sebagaimana diyakini oleh Dr. jur. M. Udin Silalahi, SH, LL.M dan HMBC Rikrik Rizkiyana dalam rangka penguatan sistem ketahanan ekonomi nasional dalam menghadapi gombalisasi globalisasi, adalah sia-sia belaka.

Kisah drama hukum dan regulasi yang demikian ini layak menjadi cacatan kita bersama untuk mengisi kemerdekaan yang beberapa waktu lalu baru saja kita rayakan. Pada perkembangan demikian, sangat relevan kemudian untuk menyegarkan kembali gugatan Coase (1964;195) …we find a category of ‘market failure' but no category ‘government failure'. Tentunya dibutuhkan seorang sutradara yang bisa menggagas kisah drama yang jauh lebih baik dari kisah di atas. Pemilu 2004 yang akan datang yang mungkin bisa menjawabnya. Wallahualam.

Melihat pola wacana yang berkembang, saya menengarai ada distorsi latarbelakang (the most characteristic background) dalam analisis yang mereka argumentasikan. Sebagai pakar hukum persaingan usaha dan sebagai staff di KPPU wajar kemudian bila kedua penulis terakhir memberikan tanggapan akan perlunya Hukum Persaingan (vide UU No. 5 Tahun 1999) dalam menanggapi pendapat Romli Atmasasmita yang sebagai Kepala BPPN dipusingkan oleh compang-campingnya sistem hukum nasional (polinormativism atau legal synchretism).

Untuk itu, tulisan ini mencoba mengidentifikasi permasalahan institusional hukum nasional sesungguhnya.

Zeitsgeist: Meneropong Jiwa Jaman

Sepakat dengan von Savigny (Vom Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft;Tentang Seruan Jaman Kini akan Undang-Undang dan Ilmu Hukum, 1814), pertama-tama ahli hukum haruslah mampu meneropong jiwa jamannya dengan tepat agar dapat merumuskan hukum yang pas untuk masyarakatnya. Jiwa apakah yang sedang gelisah di jaman ini hingga perlu untuk didamaikan lewat instrumen hukum?

Tags: