Ketua MA Cemaskan Rendahnya Mutu Pendidikan Hukum Lanjutan
Utama

Ketua MA Cemaskan Rendahnya Mutu Pendidikan Hukum Lanjutan

Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menilai maraknya program pendidikan hukum lanjutan masih belum berhasil menciptakan lulusan yang bermutu. Bahkan, ia memandang bahwa pendidikan hukum lanjutan banyak disalahgunakan baik oleh penyelenggara maupun peminatnya.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Ketua MA Cemaskan Rendahnya Mutu Pendidikan Hukum Lanjutan
Hukumonline

 

Akibatnya, terang Bagir, tidak ada seleksi mengenai siapa yang sesungguhnya memerlukan jenjang struktural tersebut. Akhirnya, gelar-gelar yang diperoleh dari pendidikan hukum lanjutan tersebut lebih banyak tampil sebagai pajangan dari pada substansinya.

 

"Dalam berbagai situasi terjadi berbagai penyimpangan, baik dari penyelenggara pendidikan maupun para peminat. Dari penyelenggara pendidikan, jenjang struktural ini lebih dilihat sebagai sumber pendapatan baru. Dari para peminat, kesempatan ini bukan untuk menghasilkan mutu tetapi sekadar mengumpulkan berbagai gelar baru," urai Bagir.

 

Bahkan, ucap Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran ini, pendidikan lanjutan profesi seperti notariat diubah menjadi pendidikan gelar lanjutan. Ia menilai bahwa hal tersebut dilakukan demi memperluas peminat selain didasarkan pada anggapan bahwa pendidikan gelar lebih bermakna daripada pendidikan profesi.

 

Dari kenyataan-kenyatan di atas, Bagir menekankan mengenai perlunya pengkajian ulang yang menyeluruh mengenai pendidikan hukum, baik konsepsi, pendekatan, maupun berbagai faktor penunjangnya.

 

Hal tersebut, lanjut Bagir, sangat diperlukan agar keluaran pendidikan hukum, baik sarjana maupun hasil-hasil kerja ilmiah, dapat memberi kontribusi yang signifikan dan meningkatkan peran dalam pembangunan dan penegakan hukum.

 

Terkotak-kotak

Lebih jauh, Bagir juga berbicara mengenai pentingnya meniadakan kotak-kotak program studi, seperti sistem penjurusan atau program studi. Di matanya, betapapun mendalamnya studi-studi dalam kotak-kotak tersebut, akan tetapi menyebabkan para lulusan tetap tidak siap pakai. Pasalnya, hukum adalah suatu yang nyata bersifat lintas disiplin dan  tidak berkotak-kotak.

 

"Tidak jarang mahasiswa atau sarjana hukum begitu bangga jika berada dalam lingkungan program studi tertentu, misalnya hukum internasional atau hukum bisnis. Mereka juga tidak ada perasaan kurang karena tidak menguasai bidang hukum lain seperti hukum pidana, hukum perdata, atau tata negara. Padahal, disiplin ilmu hukum yang disebut terakhir merupakan hal yang wajib, namun justeru diremehkan," tutur Bagir.

 

"Selama hal tersebut tidak dibenahi dengan meletakkan sistem hukum sebagai dasar pendekatan pendidikan hukum dan menempatkan hukum sebagai komponen sistem hukum, selama itu pula akan selalu ada keluhan mengenai kemampuan sarjana hukum secara bermutu," tambahnya. Isi kurikulum, ujarnya, harus mencerminkan kebulatan pendidikan hukum sebagai pendidikan sistem hukum.

 

Bagir juga berpendapat bahwa pendidikan hukum harus mengedepankan latihan berpikir, bukan sekadar siap pakai. Dalam kerangka kurikulum yang ada, kebulatan itu diharapkan dicapai melalui filsafat hukum atau teori hukum, terutama dengan mengembangkan pendekatan lintas sejarah pemikiran yang bersifat tematis, seperti tema masyarakat dan hukum.

Dunia pendidikan tinggi hukum dinilai belum mampu meningkatkan mutu para lulusannya. Akibatnya, keluhan lama seperti lulusan "tidak siap pakai" masih terus bergema. Yang lebih memprihatinkan lagi, sekarang muncul keluhan baru yaitu para lulusan tidak mempunyai dasar legal reasoning yang cukup dan rendahnya penguasaan teoritik sebagai dasar berpikir rasional dan sistematik.

 

Keluhan tersebut disampaikan oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan saat meresmikan Program Doktor Ilmu Hukum dan Digital Campus Universitas Pelita Harapan di Jakarta, pada Kamis (5/02). "Itu uraian saya sebagai seorang user karena saya rasakan kekurangan-kekurangan itu dalam menjalankan pekerjaan saya," tegas Bagir.

 

Di mata Bagir, upaya untuk meningkatkan mutu para ahli hukum agar mampu memenuhi segala kebutuhan masyarakat juga belum sesuai yang diharapkan. Pasalnya, jelas Bagir, upaya peningkatkan mutu tersebut tidak dilakukan dengan membenahi berbagai akar persoalan dan pada kawah awal pendidikan hukum.

 

Peningkatan mutu justeru dilakukan secara struktural dengan menggalakkan pendidikan hukum lanjutan seperti S2 dan S3 yang kurang dipersiapkan. Bagir memandang, bahwa pendekatan struktural tersebut tidak dilengkapi dengan pemikiran dasar mengenai bentuk mutu yang akan dicapai dan bagaimana mutu yang mengikat itu akan dimanfaatkan.

Tags: