Saya seorang wanita, 53 tahun, mempunyai usaha di lantai 1 rumah kami. Jadi, saya sekeluarga berdiam di atas tempat usaha saya (kursus menjahit). Selama ini suami tidak pernah memberi nafkah karena dia berpendapat, penghasilan saya sudah lebih dari cukup untuk hidup sekeluarga. Sedang tokonya pas-pasan karena dia malas. Lama-lama saya tidak tahan, apalagi perlakuannya kasar dan cuek pada istri. Saya memutuskan pisah kamar. Dia marah sekali, saya kira karena dia tersinggung harga dirinya. Lalu dia mulai berbuat apa saja untuk mempersulit keuangan saya. Makan, tidur, nonton TV semua atas biaya saya, tapi dia merasa yang menemukan lokasi strategis dari rumah ini adalah dia, lalu kami bangun. Saat itu sayalah yang mengelola tokonya jadi ramai. Jadi rumah ini gono gini. Sekarang dia mau narik sewa lantai 1 yang saya pakai, untuk lebih mempersulit hidup saya karena saya tidur di kamar lain itu. Bung Pokrol, bisakah rumah gono gini yang ditempati sekeluarga, tapi usaha punya istri, saya harus bayar sewa ke suami? Dia merasa separuh rumah ini miliknya (dia tidak merasa bahwa nasi, kursi, telepon, dll. yang diperolehnya adalah cuma-cuma, padahal semua saya yang bayar). Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pernah dipublikasikan padaSabtu, 10 Desember 2011.
Jika di antara suami dan istri telah dibuat perjanjian kawin sebelumnya yang mengatur mengenai pembagian harta, maka memang terhadap harta dapat dibagi bagian suami dan bagian istri (ada pemisahan harta).
Namun, jika tidak ada perjanjian perkawinan sebelumnya, maka semua harta yang diperoleh selama dalam perkawinan adalah menjadi harta bersama suami istri. Dengan logika berpikir tersebut, maka suami tidak dapat menagih biaya sewa dari istri terhadap penggunaan suatu harta (dalam hal ini rumah) bila rumah tersebut diperoleh setelah perkawinan berlangsung karena rumah tersebut juga merupakan milik istri.
Selain itu, UU Perkawinan dan KHI menegaskan bahwa suami juga wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sedangkan istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Jadi, seharusnya suami Anda tidak mengenakan biaya sewa terhadap Anda dan Anda juga tidak turut menghitung-hitung apa yang sudah Anda berikan terhadap suami Anda (nasi, kursi, telpon, dan lain-lain). Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Harta Benda dalam Perkawinan
Pada prinsipnya, hukum perkawinan di Indonesia menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,[1] kecuali ada perjanjian kawin yang mengatur sebaliknya.[2] Sehingga terhadap harta bersama tersebut, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.[3]
Dalam Pasal 1 huruf f KHI disebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkahadalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan harta tersebut terdaftar atas nama siapapun.
Perjanjian Kawin
Anda juga tidak menyebutkan apakah di antara Anda dan suami ada perjanjian kawin atau prenuptial agreement sebelumnya. Perjanjian Perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh UU Perkawinan.[4] Lebih jauh mengenai perjanjian kawin simak artikel jawaban kami sebelumnya mengenai Prenuptial Agreement.
Jika di antara suami dan istri telah dibuat perjanjian kawin sebelumnya yang mengatur mengenai pembagian harta, maka memang terhadap harta dapat dibagi bagian suami dan bagian istri (ada pemisahan harta). Perjanjian kawin ini dapat dibuat pada Waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015:
(1)Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2)Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3)Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
(4)Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Namun, jika tidak ada perjanjian perkawinan sebelumnya, maka semua harta yang diperoleh selama dalam perkawinan adalah menjadi harta bersama suami istri. Dengan logika berpikir tersebut, maka suami tidak dapat menagih biaya sewa dari istri terhadap penggunaan suatu harta (dalam hal ini rumah) bila rumah tersebut diperoleh setelah perkawinan berlangsung karena rumah tersebut juga merupakan milik istri.
Selain itu, UU Perkawinan dan KHI menegaskan bahwa suami istri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.[5] Suami juga wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sedangkan istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.[6] Dan jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.[7]
Jadi, seharusnya suami Anda tidak mengenakan biaya sewa terhadap Anda dan Anda juga tidak turut menghitung-hitung apa yang sudah Anda berikan terhadap suami Anda (nasi, kursi, telpon, dan lain-lain) karena baik secara agama, moral maupun hukum, sudah menjadi tanggung jawab suami untuk mencukupi istrinya dan sudah menjadi tanggung jawab istri untuk mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Jika Suami Tidak Memberikan Nafkah kepada Istrinya
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a.menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b.menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 9 UU PKDRT:
(1)Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2)Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Dengan demikian, ada baiknya dalam menghadapi permasalahan ini Anda dan suami membicarakannya secara baik-baik demi mempertahankan keutuhan rumah tangga Anda dengan mengingat tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.[8]