Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Apa Sanksi Hukumnya Jika Menampar Atasan?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Apa Sanksi Hukumnya Jika Menampar Atasan?

Apa Sanksi Hukumnya Jika Menampar Atasan?
Antika Insani KhamiliaPBH Peradi
PBH Peradi
Bacaan 10 Menit
Apa Sanksi Hukumnya Jika Menampar Atasan?

PERTANYAAN

Saya adalah salah satu karyawan sebuah BUMN. Karena ketidakadilan atasan sehingga mudah sekali dipengaruhi oleh orang-orang dekatnya maka keputusannya sering merugikan dan akibatnya terjadilah penamparan, dan yang bersangkutan melaporkannya kepada kepolisian. Apakah sanksi bagi saya apabila hal tersebut diajukan ke pengadilan? Atas saran dari kepolisian saya dianjurkan untuk meminta maaf. Hal tersebut telah saya lakukan sampai 2 kali namun dia meminta waktu untuk memaafkan saya. Sampai detik ini masih ngambang persoalannya dan apalagi saya terus apel ke kepolisian sehingga mengganggu pekerjaan. Mohon saran dan apakah apel tersebut tidak ada batasnya selama pelapor belum mencabutnya? Demikian pertanyaan saya. Atas tanggapannya saya mengucapkan terima kasih.

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Berdasarkan penjelasan yang Anda berikan. Peristiwa Anda dengan atasan Anda dapat dikategorikan sebagai Tindak Pidana Penganiyaan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), penganiayaan dibagi menjadi 5 yaitu :

     

    KLINIK TERKAIT

    Sanksi Hukum terhadap Pelaku Kejahatan dengan Hipnotis

    Sanksi Hukum terhadap Pelaku Kejahatan dengan Hipnotis

    1.      Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP)

    2.      Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP)

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    3.      Panganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP)

    4.      penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP)

    5.      penganiayaan berat (Pasal 355 KUHP)

     

    Kemudian, dari penjelasan Anda, peristiwa tersebut termasuk Tindak Pidana Penganiyaan Ringan karena dijelaskan dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP ialah :

     

    penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya

     

    Berdasarkan hal di atas maka pelaku tidak ditahan. Jika proses pemeriksaan yang Anda lakukan telah memasuki Tahap Penyidikan, maka masa pemeriksaan di Kepolisian ialah sampai berkas penyidikan telah siap (P-21) diserahkan kepada Kejaksaan untuk tahap selanjutnya yaitu Penuntutan (Pembuatan Surat Dakwaan).

     

    Mengenai kewajiban Anda untuk “apel ke kepolisian”, kewajiban demikian dilakukan kepada orang yang berstatus Tahanan Kota. Mengenai Tahanan Kota kita merujuk pada Pasal 22 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:

     

    Penahanan Kota dilaksanakan dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan

     

    Pada penahanan Kota, terhadap penahanan tersebut tidak dilakukan pengawasan langsung. Terhadap mereka undang-undang hanya memberi “kewajiban” untuk “melaporkan” diri pada waktu-waktu yang telah ditentukan.

     

    Tentang penjadwalan kewajiban melaporkan diri ini, tidak ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian diserahkan kebijaksanaan sepenuhnya kepada pejabat yang mengeluarkan perintah penahanan kota tersebut. Serupa halnya dengan penahanan rumah, dalam penahanan kota pun, tersangka/terdakwa dilarang untuk keluar kota. Hal ini sesuai dengan yang ditentukan pada penjelasan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP. Mereka (tersangka/terdakwa) dapat keluar kota apabila telah mendapat izin dari pejabat yang mengeluarkan perintah penahanan kota. Jika perintah penahanan kota datangnya dari penyidik maka izin keluar kota harus dimintanya ke penyidik, dan demikian seterusnya.

     

    Mengenai upaya perdamaian yang Anda telah upayakan kepada atasan Anda, idealnya menurut peraturan perundang-undangan dan doktrin, hal itu tidak bisa menghentikan proses perkara karena Tindak Pidana Penganiayaan merupakan Delik Biasa. Lain hal jika perdamaian diupayakan pada Delik Aduan. Hal ini diperbolehkan adanya penghentian perkara jika terjadi perdamaian dengan jangka waktu 3 bulan setelah pengaduan diajukan (Pasal 75 KUHP).

     

    Adapun yang termasuk Delik Aduan ialah:

     

    1.      Delik Aduan absolut:

    ·   pencurian dalam keluarga dan pencurian dalam waktu pisah meja-ranjang (schidding van tavel en bed, terdapat pada Pasal 367 ayat [2] KUHP);

    ·   perzinahan (overspelling bagi yang sudah menikah yang diadukan istri atau suami, terdapat pada Pasal 284 KUHP);

    ·   terkait hal membuka rahasia (terdapat pada Pasal 323 KUHP); dan lain-lain.

     

    2.      Delik Aduan relatif:

    ·   Tindak Pidana Penghinaan (Pasal 310 KUHP)

    ·   Tindak Pidana Penipuan (Pasal 378 KUHP)

     

    Namun, pada praktiknya dapat dimungkinkan adanya penghentian perkara di Kepolisian karena Diskresi Polisi. Dasar hukum Diskresi Polisi yaitu Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI (“UU Kepolisian”) yang berbunyi:

     

    Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesi dalam melaksanaan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri

     

    Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) UU Kepolisian diatur bahwa:

     

    Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini bertindak dengan penilaian sendiri dapat disebut sebagai diskresi”

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)

    2.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

    3.       Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

     

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Cara Cek Sertifikat Tanah Ganda dan Langkah Hukumnya

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!