Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh
Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 14 Agustus 2012.
Intisari:
Penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau (termasuk rokok) bagi kesehatan meliputi: produksi dan impor peredaran perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil; dan kawasan tanpa rokok.
Bagaimana bentuk pengamanannya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Rokok adalah salah satu Produk Tembakau
[1] yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan.
[2]
Penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif
[3] berupa Produk Tembakau (termasuk rokok) bagi kesehatan meliputi:
[4]produksi dan impor
peredaran
perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil; dan
kawasan tanpa rokok.
Lebih jauh untuk melaksanakan PP 109/2012 ini diterbitkan beberapa peraturan teknis sebagai berikut:
Jadi, jika yang Anda tanyakan adalah wujud dari perlindungan bagi pengguna atau konsumen rokok, pemerintah telah menetapkan batasan-batasan yang antara lain adalah:
Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau
wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
[5] Sehingga tidak semua orang bisa memproduksi rokok untuk dikonsumsi masyarakat luas.
Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau berupa Rokok
harus melakukan pengujian kandungan kadar Nikotin dan Tar per batang untuk setiap varian yang diproduksi.
[6] Keharusan melakukan pengujian kandungan kadar Nikotin dan Tar juga berlaku untuk importir.
[7]
Keharusan melakukan pengujian kandungan kadar Nikotin dan Tar dimaksudkan untuk
memberikan informasi kepada konsumen mengenai bahaya merokok.
[8]
Kadar nikotin dan tar hasil pemeriksaan
wajib dicantumkan pada label dengan penempatan yang jelas dan mudah dibaca.
[9]
Kewajiban mencantumkan informasi kandungan kadar Nikotin dan Tar bertujuan
untuk memberikan informasi kepada konsumen tentang bahaya Tar dan Nikotin bagi kesehatan.
[10]
Selain menyebabkan ketergantungan (adiksi), Nikotin dapat juga menyebabkan penyempitan pembuluh darah termasuk pembuluh darah koroner yang memberi oksigen pada jantung dan penggumpalan sel darah. Karena penyempitan pembuluh darah, maka jantung akan memompa atau bekerja lebih keras, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah, karbondioksida akan mengikat hemoglobin menggantikan oksigen. Tidak adanya aliran oksigen ke otot jantung ditambah penyempitan dan penyumbatan arteri koroner yang mengakibatkan serangan jantung. Sedangkan Tar yang bersifat karsinogenik dapat menyebabkan penyakit kanker.
[11]
Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau
dilarang menggunakan bahan tambahan kecuali telah dapat dibuktikan secara ilmiah bahan tambahan tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan.
[12]
Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau berupa Rokok putih mesin dilarang mengemas kurang dari 20 (dua puluh) batang dalam setiap Kemasan.
[13] Maksud dari pelarangan membuat Kemasan Rokok kurang dari 20 (dua puluh) batang bertujuan agar harga Rokok tidak mudah terjangkau oleh konsumen.
[14]
Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau ke wilayah Indonesia
wajib mencantumkan peringatan kesehatan yang berbentuk gambar dan tulisan yang harus mempunyai satu makna yang tercetak menjadi satu dengan Kemasan Produk Tembakau.
[15]
Pencantuman peringatan kesehatan dalam bentuk gambar dan tulisan dalam Kemasan Produk Tembakau dimaksudkan
untuk mengedukasi dan menginformasikan kepada masyarakat tentang bahaya akibat penggunaan Produk Tembakau secara lebih efektif
[16]
Selain Peringatan Kesehatan, pada setiap Kemasan Produk Tembakau wajib dicantumkan Informasi Kesehatan meliputi:
[17]kandungan kadar nikotin dan tar;
pernyataan “dilarang menjual atau memberi kepada anak berusia di bawah 18 tahun dan perempuan hamil”;
kode produksi, tanggal, bulan, dan tahun produksi, serta nama dan alamat produsen.
Selain informasi tersebut, pada Kemasan Produk Tembakau dapat dicantumkan pernyataan:
[18]“tidak ada batas aman”; dan
“mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”.
Pemerintah melakukan pengendalian Iklan Produk Tembakau yang dilakukan pada media cetak, media penyiaran, media teknologi informasi, and/atau media luar ruang.
[19] Pengawasan terhadap hal ini juga dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (“BPOM”) sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Perkap BPOM 41/2013.
Dalam rangka penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi kesehatan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok, antara lain:
[20]fasilitas pelayanan kesehatan;
fasilitas proses belajar mengajar;
tempat anak bermain;
tempat ibadah;
angkutan umum;
tempat kerja; dan
tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah contoh wujud perlindungan bagi pengguna atau konsumen rokok secara khusus dan bagi masyarakat secara umum.
Jadi, perlindungan bagi pengguna atau konsumen rokok memang telah diberikan oleh pemerintah sebagaimana telah diuraikan di atas. Tetapi, mengenai kesadaran bahwa rokok akan berisiko bagi kesehatan pribadi konsumen rokok ada pada masing-masing individu, meskipun upaya tersebut sudah dilakukan oleh pemerintah.
Demikian yang dapat kami jelaskan, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
[1] Produk Tembakau adalah suatu produk yang secara keseluruhan atau sebagian terbuat dari daun tembakau sebagai bahan bakunya yang diolah untuk digunakan dengan cara dibakar, dihisap, dan dihirup atau dikunyah (Pasal 1 angka 2 PP 109/2012)
[2] Pasal 1 angka 3 PP 109/2012
[3] Zat Adiktif adalah bahan yang menyebabkan adiksi atau ketergantungan yang membahayakan kesehatan dengan ditandai perubahan perilaku, kognitif, dan fenomena fisiologis, keinginan kuat untuk mengkonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut daripada kegiatan lain, meningkatnya toleransi dan dapat menyebabkan keadaan gejala putus zat. (Pasal 1 angka 1 PP 109/2012)
[6] Pasal 10 ayat (1) PP 109/2012
[7] Pasal 2 ayat (1) Kepmenperindag 62/2004
[8] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) PP 109/2012
[9] Pasal 19 PP 109/2012 dan Pasal 2 ayat (2) Kepmenperindag 62/2004
[10] Penjelasan Pasal 19 PP 109/2012
[11] Penjelasan Pasal 19 PP 109/2012
[12] Pasal 12 ayat (1) PP 109/2012
[13] Pasal 13 ayat (1) PP 109/2012
[14] Penjelasan Pasal 13 ayat (1) PP 109/2012
[15] Pasal 14 PP 109/2012
[16] Penjelasan Pasal 14 ayat (1) PP 109/2012
[17] Pasal 21 PP 109/2012 dan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Permenkes 28/2013
[18] Pasal 20 PP 109/2012 dan Pasal 11 Permenkes 28/2013
[19] Pasal 26 PP 109/2012
[20] Pasal 50 ayat (1) PP 109/2012