Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Sanksi Hukum terhadap Pelaku Kejahatan dengan Hipnotis

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Sanksi Hukum terhadap Pelaku Kejahatan dengan Hipnotis

Sanksi Hukum terhadap Pelaku Kejahatan dengan Hipnotis
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Sanksi Hukum terhadap Pelaku Kejahatan dengan Hipnotis

PERTANYAAN

Sering kali saya memantau berita terkait perbuatan orang yang mengambil barang orang lain dengan cara hipnotis. Namun, saya melihat keganjilan proses hukum selama ini yang memasukkan tindakan tersebut ke dalam delik penipuan karena interpretasi saya terhadap penipuan adalah suatu kondisi di mana korban harus dalam keadaan sadar. Menurut saya, pembujukan hanya bisa dilakukan dalam keadaan subjeknya harus berada dalam keadaan sadar karena orang yang bisa dibohongi atau ditipu bukanlah orang yang sementara kehilangan kesadaran. Saya meminta tanggapan, apakah saya tidak salah dalam menilai hal ini? Apa sanksi hukum terhadap pelaku kejahatan dengan hipnotis?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada dasarnya, terdapat dua perbedaan pendapat dalam menentukan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan yang mengambil barang orang lain dengan menggunakan tindakan hipnotis.

    Pendapat pertama menyatakan bahwa kejahatan dengan hipnotis tidak bisa dijerat dengan delik penipuan dalam KUHP, melainkan lebih tepat bila dikenakan delik membuat sakit orang, yaitu penganiayaan ringan.

    Di sisi lain, pendapat kedua menyatakan bahwa tindakan hipnotis tujuannya adalah secara melawan hukum, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, untuk menggerakkan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang, untuk menguntungkan diri sendiri. Jadi, hal ini memenuhi unsur-unsur delik penipuan, sehingga pelaku kejahatan yang menggunakan hipnotis dapat dijerat dengan pasal penipuan dalam KUHP maupun UU 1/2023.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Mengambil Barang Orang Lain dengan Cara Hipnotis yang ditulis oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Kamis, 19 Agustus 2010.

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Pengertian Hipnotis

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hipnotis. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”), hipnotis adalah membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan hipnosis. Sedangkan hipnosis adalah keadaan seperti tidur karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Hipnosis secara harfiah juga dapat kita katakan sebagai salah satu keahlian yang dimiliki seseorang untuk mengendalikan alam bawah sadar orang lain. Pada saat orang berada pada alam bawah sadarnya, maka orang tersebut akan mudah sekali diberikan sugesti dan akan cenderung mengikutinya.[1]

    Penganiayaan Ringan dalam KUHP dan UU 1/2023

    Adapun konteks pertanyaan Anda adalah hipnotis yang digunakan untuk melakukan kejahatan, dalam hal ini mengambil barang orang lain tanpa hak. Sepanjang penelusuran kami, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak ada satupun pasal yang mengatur secara spesifik mengenai kejahatan dengan hipnotis atau hipnosis.[2] Walau demikian mengenai hal tersebut secara umum ada beberapa pendapat yang berbeda.

    Salah satunya pendapat dari Mudzakkir, ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia, yang menyatakan bahwa kejahatan yang menggunakan hipnotis tidak bisa dijerat dengan delik penipuan dalam KUHP. Menurut Mudzakkir, untuk delik penipuan, korbannya memang harus dalam keadaan sadar. Sadar di sini maksudnya sadar mengenai apa yang diinginkan oleh pelaku agar dilakukan/tidak dilakukan oleh korban tersebut. Sementara dalam hipnotis, korbannya dibuat dalam keadaan tidak sadar.

    Berdasarkan pendapat Mudzakkir, untuk pelaku kejahatan yang menggunakan hipnotis lebih tepat bila dikenakan delik membuat sakit orang, yaitu penganiayaan ringan. Tindak pidana penganiayaan diatur dalam KUHP yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan KUHP baru yaitu UU 1/2023  yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan[3], yaitu tahun 2026.  Berikut ketentuannya.

    KUHPUU 1/2023

    Pasal 352 ayat (1)

    Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4,5 juta.[4]


    Pidana dapat ditambah 1/3 bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.

    Pasal 471 ayat (1)

    Selain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp 10 juta.[5]

     

    Pasal 471 ayat (2)

    Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya, pidananya dapat ditambah 1/3.

    R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 246) mengatakan bahwa peristiwa pidana dalam Pasal 352 KUHP disebut penganiayaan ringan dan termasuk kejahatan ringan. Yang termasuk dalam Pasal 352 ini adalah penganiayaan yang tidak:

    1. menjadikan sakit (ziek bukan pijn); atau
    2. terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaannya sehari-hari.

    Lebih lanjut R. Soesilo memberikan contoh misalnya A memukul B tiga kali di kepalanya, B merasa sakit (pijn), tetapi tidak jatuh sakit (ziek) dan masih bisa melakukan pekerjaannya sehari-hari, maka A berbuat penganiayaan ringan. Contoh lain, jika A melukai jari kelingking kiri B (seorang pemain biola orkes), hingga jari kelingking B dibalut dan terpaksa terhalang untuk main biola sebagai pekerjaannya sehari-hari, maka meskipun luka itu kecil, tetapi penganiayaan ini bukan penganiayaan ringan, karena B terhalang dalam pekerjaannya.

    Baca juga: Perbedaan Pasal Penganiayaan Ringan dan Penganiayaan Berat

    Tindak Pidana Penipuan dalam KUHP dan UU 1/2023

    Selain pendapat yang menyatakan bahwa kejahatan menggunakan hipnotis termasuk dalam penganiayaan ringan, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kejahatan dengan hipnotis termasuk dalam delik penipuan. Hal ini karena tindakan hipnotis tersebut dimaksudkan untuk mengambil keuntungan dari korban, dengan menggunakan tindakan yang menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu. Pendapat ini dikemukakan oleh Arsil, peneliti senior di Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (“LeIP”).

    Menurut Arsil, pada tindakan hipnotis tujuannya adalah untuk menggerakkan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang, untuk menguntungkan diri sendiri (pelaku). Menggerakkannya dilakukan dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, yang membuat korbannya melakukan sesuatu. Jadi, unsur tujuan dan unsur cara dalam hal ini memenuhi untuk dikategorikan sebagai delik penipuan, sehingga kejahatan dengan hipnotis tersebut dapat dijerat dengan pasal penipuan.

    Berikut adalah bunyi pasal penipuan dalam KUHP dan UU 1/2023:

    KUHPUU 1/2023

    Pasal 378

    Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

    Pasal 492

    Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[6]

    Disarikan dari Jika Orang yang Direkomendasikan Terlibat Pasal Penipuan, R. Soesilo dalam bukunya yang sama, menerangkan ada sejumlah unsur-unsur tindak pidana penipuan, yaitu (hal. 261):

    1. membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;
    2. maksud pembujukan itu ialah: hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
    3. membujuknya itu dengan memakai:
      1. nama palsu atau keadaan palsu;.
      2. akal cerdik (tipu muslihat);
      3. karangan perkataan bohong.

    Kemudian, berdasarkan Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023, perbuatan materiil dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara, untuk memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian, perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pelaku tindak pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pelaku.

    Barang yang diberikan, tidak harus secara langsung kepada pelaku tindak pidana tetapi dapat juga dilakukan kepada orang lain yang disuruh pelaku untuk menerima penyerahan itu. Penipuan adalah tindak pidana terhadap harta benda. Tempat tindak pidana adalah tempat pelaku melakukan penipuan, walaupun penyerahan dilakukan di tempat lain. Dengan kata lain, saat dilakukannya tindak pidana adalah saat pelaku melakukan penipuan.[7]

    Baca juga: Perbedaan Penipuan dan Penggelapan

    Sehingga menurut hemat kami, pelaku kejahatan dengan hipnotis lebih tepat jika dijerat dengan delik penipuan yaitu Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023. Apabila menggunakan delik penganiayaan ringan dalam hal membuat sakit orang, maka tindakannya yang mengambil keuntungan dari korbannya tidak tercakup dalam delik tersebut. Oleh karena itu, delik penipuan bisa dikenakan pada pelaku kejahatan yang menghipnotis korbannya dan menggerakan korban untuk menyerahkan barang kepada pelaku.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    3. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

    Referensi:

    1. Bhakti Prasetyo. Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Dengan Hypnosis (Studi kasus di Pengadilan Negeri Surabaya). DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 7. No. 13, 2011;
    2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1991;
    3. Kamus Besar Bahasa Indonesia, hipnotis, diakses pada Rabu, 1 November 2023, pukul 09.23 WIB;
    4. Kamus Besar Bahasa Indonesia, hipnotis, diakses pada Rabu, 1 November 2023, pukul 09.25 WIB.

    [1] Bhakti Prasetyo. Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Dengan Hypnosis (Studi kasus di Pengadilan Negeri Surabaya). DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 7. No. 13, 2011, hal. 38.

    [2] Bhakti Prasetyo. Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Dengan Hypnosis (Studi kasus di Pengadilan Negeri Surabaya). DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 7. No. 13, 2011, hal. 43.

    [3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).

    [4] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, denda dilipatgandakan 1.000 kali.

    [5] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023.

    [6] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023.

    [7] Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023

    Tags

    penganiayaan
    penipuan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Somasi: Pengertian, Dasar Hukum, dan Cara Membuatnya

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!