KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bagaimana Pelaksanaan Putusan MK yang Membatalkan Norma?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Bagaimana Pelaksanaan Putusan MK yang Membatalkan Norma?

Bagaimana Pelaksanaan Putusan MK yang Membatalkan Norma?
Ndaru Hidayatulloh, S.H. Indonesian Center for Legislative Drafting
Indonesian Center for Legislative Drafting
Bacaan 10 Menit
Bagaimana Pelaksanaan Putusan MK yang Membatalkan Norma?

PERTANYAAN

Bagaimana status suatu pasal yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK)? Apakah berdasarkan putusan MK itu kita dapat langsung mengabaikan pasal tersebut atau putusan MK harus diakomodasikan dalam perubahan UU terlebih dulu?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Secara singkat, terdapat 2 jenis putusan MK dalam judicial review. Pertama, putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan. Kedua, putusan yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut oleh DPR atau Presiden.

    Oleh karenanya, apakah berdasarkan putusan MK dapat langsung mengabaikan bunyi pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat?

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibuat oleh Ali Salmande, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 31 Mei 2010.

    KLINIK TERKAIT

    Mengenal 7 Hubungan Presiden dengan Mahkamah Konstitusi

    Mengenal 7 Hubungan Presiden dengan Mahkamah Konstitusi

     

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Sifat Putusan MK

    Mahkamah Konstitusi (“MK”) merupakan salah satu lembaga negara Indonesia yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Salah satu kewenangan MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang disebut juga dengan judicial review. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.[1] Hal ini berarti putusan MK telah memiliki kekuatan hukum mengikat sejak dibacakan dalam persidangan MK.

    Kewenangan MK untuk membatalkan norma dalam undang-undang menjadikan MK juga disebut sebagai negative legislator, yakni lembaga yang berwenang menghapus atau membatalkan norma dalam undang-undang apabila bertentangan dengan UUD 1945.[2] MK tidak berwenang untuk membentuk norma baru karena hal tersebut merupakan kewenangan lembaga legislatif atau positive legislator. Oleh karenanya, apabila terdapat putusan MK yang menyatakan suatu bagian, pasal, atau ayat dalam undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maka bagian, pasal, atau ayat itu tidak memiliki daya guna (efficacy) tapi tetap berlaku/tertulis.[3]

    Menurut Maria Farida Indrati S, dalam hal putusan judicial review dikabulkan oleh MK, maka bagian, pasal, atau ayat yang bertentangan dengan UUD 1945 masih memiliki daya laku (validity) sampai dinyatakan dicabut oleh lembaga yang berwenang tetapi tidak memiliki daya guna (efficacy).[4] Tidak memiliki daya guna dapat diartikan bahwa pasal tersebut tidak lagi efektif digunakan atau tidak dapat digunakan lagi. Oleh karenanya, pasal yang bertentangan dapat diabaikan dengan mendasarkan pada putusan MK.

    Sejalan dengan hal tersebut, Pasal 57 ayat (1) UU 7/2020 menyebutkan putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

     

    Tindak Lanjut Putusan MK

    Lebih lanjut, Muchamad Ali Safa’at menjelaskan bahwa pelaksanaan putusan MK dapat dibagi menjadi 2 yaitu pertama, putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan serta kedua, putusan yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu.[5]

    Putusan yang dapat dilaksanakan langsung (self-executing) adalah putusan membatalkan norma tertentu yang tidak mengganggu sistem norma yang ada dan tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut. Contohnya adalah Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan pasal penghinaan presiden atau wakil presiden dalam KUHP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya pasal ini dapat langsung diabaikan meski masih berlaku dalam undang-undang. Kemudian, terdapat pula putusan yang pelaksanaannya membutuhkan aturan lebih lanjut (self-implementing), yaitu putusan yang membatalkan suatu norma tertentu yang mempengaruhi sistem norma yang ada sehingga memerlukan pengaturan lebih lanjut.[6] Contohnya adalah Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang memutuskan bahwa UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

    Kendati demikian, Pasal 10 ayat (1) huruf d UU 12/2011 mengatur bahwa salah satu materi muatan yang harus diatur oleh undang-undang adalah berisi tindak lanjut atas putusan MK, yang mana harus dilakukan oleh DPR atau Presiden.

    Oleh karenanya untuk menjamin kepastian hukum, DPR atau Presiden sebagai lembaga negara yang berwenang membentuk undang-undang harus menindaklanjuti putusan MK. DPR atau Presiden seyogyanya harus mengakomodir putusan MK dengan melakukan perubahan undang-undang sebagai upaya penyesuaian substansi undang-undang yang terdampak dari putusan MK.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang dan diubah ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
    3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

    Putusan:

    1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006;
    2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

     

    Referensi:

    1. Adena Fitri Puspitasari dan Purwono Sungkono Raharjo, Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator, Souvereignty: Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Vol. 1, No. 4, 2022;
    2. Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2020;
    3. Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, dan Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), Jurnal Konstitusi Vol. 10 No. 4, 2013;
    4. Muchamad Ali Safa’at, Kekuatan Mengikat dan Pelaksanaan Putusan MK, yang diakses pada 3 Mei 2023, pukul 11.02 WIB.

    [1] Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945                

    [2] Adena Fitri Puspitasari dan Purwono Sungkono Raharjo, Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator, Souvereignty: Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Vol. 1, No. 4, 2022, hal. 682

    [3] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2020, hal. 42  

    [4] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2020, hal. 42  

    [5] Muchamad Ali Safa’at, Kekuatan Mengikat dan Pelaksanaan Putusan MK, yang diakses pada 3 Mei 2023, pukul 11.02 WIB

    [6] Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, dan Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), Jurnal Konstitusi Vol. 10 No. 4, 2013, hal. 676

    Tags

    hakim konstitusi
    mahkamah konstitusi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Konversi Utang Jadi Setoran Saham, Ini Caranya

    14 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!