Saya ingin mengetahui lebih detail lagi masalah surat dakwaan sebagai dasar pertimbangan putusan hakim (Pasal 182 ayat 3 KUHAP). Dengan melihat ketentuan Pasal 183 yaitu hakim bisa memutuskan perkara hanya dengan berbekal keyakinannya saja, ini berarti esensi Pasal 182 ayat (3) menjadi kabur. Sebenarnya bagaimana sih kedudukan surat dakwaan sebagai landasan putusan hakim baik secara tekstual sebagai sebuah ketentuan dan secara sosiologis (pelaksanaannya)? Dan sejauh manakah hakim harus mempertimbangkan sebuah surat dakwaan sebelum merumuskan putusannya?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda,
Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) tidak memberikan definisi atau pengertian mengenai Surat Dakwaan, maka saya akan mengutip pendapat dari Ramelan (mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus), dalam bukunya Hukum Acara Pidana(Teori dan Implementasi), pada halaman 162, yaitu:
“Dengan memperhatikan ketentuan undang-undang mengenai syarat-syarat surat dakwaan maupun pengalaman praktek, dapat dikatakan bahwa surat dakwaan adalah suatu surat atau akte (dalam bahasa Belanda disebut “acte van verwizing”) yang memuat uraian perbuatan atau fakta-fakta yang terjadi, uraian mana akan menggambarkan atau, menjelaskan unsur-unsur yuridis dari pasal-pasal tindak pidana (delik) yang dilanggar.”
Lebih lanjut, masih menurut pendapat dari Ramelan, fungsi dari Surat Dakwaan mengandung 3 (tiga) dimensi yaitu dimensi pihak kejaksaan (Penuntut Umum), dimensi pihak Terdakwa dan dimensi pihak Hakim. Dalam relevansinya dengan pertanyaan Anda, maka bagi pihak Majelis Hakim, surat dakwaan akan menjadi dasar bagi pemeriksaan di persidangan dan mengambil keputusan. Surat dakwaan juga akan memperjelas aturan-aturan hukum mana yang dilanggar oleh terdakwa. Dengan demikian, hakim tidak boleh memutuskan atau mengadili perbuatan pidana yang tidak didakwakan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Menjawab pertanyaan Anda yang menanyakan dan menyatakan bahwa esensi dari Pasal 182 ayat (3) KUHAP menjadi kabur, maka saya perlu mengingatkan kita semua bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak boleh dibaca secara parsial (sebagian) saja. Artinya, dalam membaca Pasal 182 ayat (3) KUHAP juga harus memperhatikan pasal-pasal di bawahnya, misalnya memperhatikan Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang berbunyi:
“Musyawarah tersebut pada ayat 3 (baca: Pasal 182 ayat 3 KUHAP) harus didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.”
Dengan kata lain, maka berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP di atas, Majelis Hakim akan bermusyawarah dalam membuat suatu putusan, dengan memperhatikan 2 (dua) hal berikut ini:
1.Surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum
2.Segala yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan (apabila ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang meyakinkan hakim atas suatu tindak pidana dan pelaku tindak pidana tersebut, vide Pasal 183 KUHAP)
Sebagai penutup, saya juga perlu mengingatkan bahwa teori pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif (negatief wettelijk), yang artinya meskipun terdapat cukup bukti yang sah menurut undang-undang (ketentuan minimum pembuktian terdapat dua alat bukti yang sah), tetapi jika hakim tidak memperoleh keyakinan bahwa seorang terdakwa bersalah, maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, yang dikenal sebagai adagium “in dubio pro reo” atau dengan istilah “beyond a reasonable doubt” dalam konsep common law.
Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.