Perusahaan ekspor hasil bumi tempat saya bekerja mempekerjakan buruh tetap dan kontrak. Tapi, ada satu golongan buruh yang statusnya tidak jelas dan perusahaan juga masih bingung. Sekitar 30 orang buruh (lingkungan sekitar) yang melakukan kegiatan bongkar muat (barang masuk dan barang keluar). Barang masuk (hasil bumi dari kampung) upahnya dibayar oleh si penjual barang (pedagang pembawa barang) dan upah barang keluar (hasil bumi ready ekspor) dibayar oleh perusahaan. Di samping itu mereka juga melakukan kegiatan penjemuran, buang debu dan sebagainya. Semua pengupahan dihitung borongan dan dibayarkan sore harinya kepada ketua mereka untuk dibagikan diantara anggotanya. Misalnya, total pekerjaan hari ini 50.000 kg dikali upah Rp. 25 per kg = total 1.250.000. Uang ini dibayarkan ke ketuanya dan mereka membagi rata-rata Rp. 40.000 per orang, tergantung berapa orang hari ini yang masuk/bekerja. Perusahaan tidak mengatur berapa orang yang bekerja, kadang 20, kadang 25, kadang 30 orang, tergantung suka-suka yang hadir. Akan tetapi, tarif upah tetap 25/kg. Perusahaan dalam hal ini serba salah karena jika dianggap karyawan tetap, tetapi: 1. Perusahaan tidak dapat mengatur absensi mereka sehingga pekerjaan yang dapat dilakukan sangat tergantung kehadiran mereka. Kalau sedikit yang hadir, maka ekspor bisa tertunda. 2. Juga pekerjaan tidak selalu ada tiap hari (tergantung barang masuk dari kampung/propinsi dan tergantung kontrak ekspor jangka pendek, juga tergantung panen di daerah) 3. Mereka melamar kerja bukan melalui perusahaan tetapi ke ketua mereka (bukan perusahaan yang menerima mereka bekerja). Dan jika dianggap karyawan lepas: 1. Mereka rata-rata telah bekerja 5 tahun ada yang 10 tahun. Juga pernah kasus ada yang bermasalah dan tidak boleh masuk lagi, ia menuntut uang PHK dan saat itu menjadi masalah. 2. Ada upah per hari yang dibayarkan (tidak langsung ke pribadi, tetapi ke pemimpin mereka untuk dibagikan di antara anggotanya) 3. Ada perintah kerja (kadang melalui ketua, kadang langsung) 4. Ada pekerjaan. Terima kasih atas penjelasannya.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Pengantar dan Permasalahan
Pertama-tama kami sampaikan, bahwa uraian Saudara di atas cukup panjang dan berbelit, tetapi tidak jelas: apa yang Saudara tanyakan, dan apa yang harus kami jelaskan. Kebetulan ada dua potongan kalimat yang Saudara sebutkan dan dapat kami tangkap sebagai permasalahan yang mungkin menjadi pertanyaan Saudara, yakni:
-bahwa ada satu golongan buruh yang melakukan kegiatan bongkar-muat (plus kegiatan penjemuran dan buang debu) yang statusnya tidak jelas, dan (sebaliknya) perusahaan bingung (dengan status tersebut).
-kemudian, pernah ada kasus: ada –buruh bongkar muat– yang bermasalah dan tidak boleh masuk lagi (“ter-PHK”), ia menuntut “uang PHK”, dan saat itu menjadi masalah (di perusahaan yang bersangkutan).
Berdasarkan cuplikan kalimat tersebut, asumsi kami bahwa yang perlu dijelaskan, adalah ketentuan mengenai buruh bongkar muat, khususnya terkait dengan status, hubungan hukumnya dan konsekwensi bila terjadi pemutusan hubungan hukum terhadapnya (“ter-PHK”).
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Perjanjian-perjanjian Melakukan Pekerjaan
Pertama-tama perlu kami sampaikan, bahwa perjanjian melakukan pekerjaan dengan pihak lain, tidak selalu harus didasarkan perjanjian kerja atau dalam hubungan kerja (dienstverhouding), tetapi dapat dilakukan dengan berbagai macam perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan lainnya. Hal itu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk Burgerlijke Wetboek (nominaat contract) atau yang berkembang dalam praktik di masyarakat (innominaat contract).
Dalam Bab Ketujuh A (Buku Kedua) Burgerlijke WetboektentangPerjanjian-perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan -khususnya Pasal 1601-, telah disebutkan secara garis besar, yang intinya bahwa selain perjanjian melakukan jasa-jasa, ada dua macam perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk melakukan pekerjaan bagi pihak lainnya dengan imbalan upah, yakni perjanjian perburuhan (atau yang sekarang lazim disebut Perjanjian Kerja), dan perjanjian pemborongan pekerjaan.
Dengan perkataan lain, hubungan hukum melakukan pekerjaan (overeenkomsten aan het werk te doen) tidak hanya dapat dilakukan melalui perjanjian kerja (arbeids overeenkomst), namun dapat juga dilakukan melalui perjanjian melakukan jasa-jasa (overeenkomst tot het verrichten van enkelediensten) atau perjanjian pemborongan pekerjaan (aanneming van werk). Bahkan, pada beberapa peraturan perundang-undangan dan dalam perkembangan praktik berikutnya dikenal hubungan hukum melakukan pekerjaan bentuk lainnya (innominaat contract), seperti:
-perjanjian kemitraan (partnership agreement) dengan berbagai macam varian, perjanjian korporasi (business relationship), perjanjian pelayanan publik (publiekrechtelijk verhouding atau social relationship) yang kesemuanya pada hakikatnya adalah bentuk-bentuk perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan oleh dan di antara dua pihak atau lebih.
Masing-masing bentuk perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan tersebut berbeda syarat dan ketentuan serta konsekuensi hukumnya. Demikian juga, berbeda –substansi– hak-hak dan kewajiban para pihak secara bertimbal-balik, serta jika terjadi dispute berbeda cara penyelesaian perselisihannya (jadi, case by case). Permasalahannya; bagaimana perlindungan hukum bagi tenaga kerjanya, terutama bila secara sosial ekonomi salah satu pihak kedudukannya lemah?
Hubungan Kerja dan Hubungan Industrial
Sayangnya, ketentuan hukum dan bentuk perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan saat ini (khususnya, UU No. 13 Tahun 2003). Hampir seluruh isinya (Bab Hubungan Industrial) hanya mengaturperjanjian perburuhan saja, yakni: perjanjian kerja atau hubungan kerja, yang lebih dikenal dengan disebutan hubungan industrial. Bahkan dapat dikatakan tidak ada ketentuan yang mengatur hubungan hukum melakukan pekerjaan bagi tenaga kerja di luar hubungan kerja (“TKLHK”), walaupun UU Jaminan Sosial (UU No. 3 Tahun 1992) telah mengamanatkan untuk mengatur jaminan soasial tenaga kerja (jamsostek) bagi TKLHK tersebut. Namun, hingga saat ini ketentuan (TKLHK) dimaksud tidak operasional, karena belum terbit peraturan pelaksanaannya seperti yang dimanatkan (videPasal 4 ayat [2] UU No. 3/1992).
Sedangkan, bagi tenaga kerja dalam hubungan kerja (yang disebut pekerja/buruh) diatur secara detail dalam UU Ketenagakerjaan dimaksud, baik jenis perjanjian kerjanya, syarat-syarat hubungan kerjanya, sampai apa hak/kewajibannya para pihak, serta bagaimana mekanisme penyelesaian perselisihannya (industrial relation disputes settlement).
Berdasarkan Pasal 50 UU No. 13/2003, disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan hukum melakukan pekerjaan yang didasarkan atas perjanjian kerja, yang unsur-unsurnya, meliputi adanya pekerjaan, ada perintah, dan ada upah serta waktu tertentu (Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU No. 13/2003 jo Pasal 1601a BW).
-Yang dimaksud dengan pekerjaan, adalah pekerjaan yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja, khususnya jenis pekerjaan (pada jabatan apa) dan di mana tempat pekerjaan dilakukan (Pasal 54 ayat [1] huruf c dan dUU No. 13/2003);
-Yang dimaksud dengan perintah, adalah perintah yang tidak menimbulkan tanggung-jawab langsung, atau vicarious liability (videPasal 1603b BW). Artinya, jika pekerja melakukan pekerjaan sesuai ketentuan dan standar (intra vires) dan ternyata hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, maka tidak ada tanggung-jawab pekerja/buruh atas hasil pekerjaan dimaksud (Prof. Iman Soepomo, hal.102);
-Yang dimaksud upah, adalah imbalan dari “majikan“ sebagai contra prestasi dari pekerjaan yang dilakukan yang harus sesuai dengan standar dan ketentuan peraturan perundang-undangan (videPasal 1 angka 30 jo Pasal 90 ayat [1] dan Pasal 91 ayat [1] UU No. 13/2003).
-Sedangkan yang dimaksudkan waktu tertentu, adalah waktu yang ditentukan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan pola WKWI (waktu kerja dan waktu istirahat) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan (videPasal 77 ayat [2] dan Pasal 79 ayat [2] huruf a dan huruf b jo Pasal 78 ayat [2] UU No. 13/2003)
Permasalahannya, memenuhi syaratkah (unsur-unsur hubungan kerja tersebut) untuk buruh bongkar muat yang Saudara maksud?
Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM)
Berkenaan dengan uraian ketentuan tersebut di atas, dan terkait dengan permasalahan yang Saudara kemukakan, yakni buruh yang melakukan pekerjaan bongkar muat atau yang lebih dikenal dengan istilah tenaga kerja bongkar muat (“TKBM”) dapat kami jelaskan, bahwa TKBM adalah merupakan salah satu jenis TKLHK. Lebih spesifik lagi, TKBM adalah salah satu bentuk hubungan hukum atau perjanjian melakukan pekerjaan melalui pemborongan (paket) pekerjaan yang –nota bene– bukan hubungan kerja, sehingga tidak di-cover dalam UU Ketenagakerjaan.
Peraturan dan ketentuan mengenai TKBM tersebut sejak awal –memang– diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan sebagai bagian dari pelaksanaan ketentuan mengenai Kepelabuhanan (saat ini PP No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, pengganti dari PP No. 69 Tahun 2001).
Dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 14 Tahun 2002 (“Kepmenhub”) disebutkan, bahwa TKBMadalah semua tenaga kerja yang terdaftar pada pelabuhan setempat yang melakukan pekerjaan bongkar muat di pelabuhan (Pasal 1 angka 16 Kepmenhub).
Para TKBM ini bernaung di bawahKoperasi TKBM - yang dulunya diwadahi dengan Yayasan Usaha Karya (YUKA). Pembentukan Koperasi TKBM berawal dari Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja, dan Direktur Jenderal Bina Lembaga Koperasi Nomor: UM 52/1/9-89, KEP.103/BW/89, 17/SKD/BLK/VI/1989 tentang Pembentukan dan Pembinaan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (“SKB-1989”) yang merupakan pelaksanaan dari Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.
Kemudian, SKB-1989 tersebut dicabut dan (saat ini) digantikan dengan Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Deputi Bidang kelembagaan Koperasi dan UKM Nomor: AL.59/II/12-02, -. No.300/BW/2002 - No.113/SKB/Dep-S/VIII/2002 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi TKBM di Pelabuhan tertanggal 27 Agustus 2002 (“SKB-2002”).
Sebagai tindak lanjut dari SKB-1989 tersebut, terbit Instruksi Bersama Menteri Perhubungan dan Menteri Tenaga Kerja Nomor: INS.2/HK.601/Phb-89 dan Nomor: INS-03/Men/89 tanggal 14 Januari 1989 tentang Pembentukan Koperasi di Tiap Pelabuhan sebagai pengganti Yayasan Usaha Karya (YUKA), yang sebelumnya mengelola TKBM.
Walaupun anggota Koperasi, akan tetapi para buruh TKBM itu bukan dan tidak merupakan “karyawan” dari Koperasi TKBM. Praktik pelaksanaan pekerjaan mereka persis seperti yang Saudara ceritakan dalam uraian di atas, bahwa mereka dibayar (mendapat bagian dari upah borongan) hanya ketika mereka datang dan bekerja, dan bayarannya sesuai tarif yang ditentukan Menteri Perhubungan (videPasal 2 jo Pasal 4 ayat (4) dan Lampiran III Kepmenhub No. 25 Thn. 2002).
Selain itu, mereka tidak terikat dengan daftar hadir (presensi) dan tidak ada waktu kerja yang ditentukan, karena tidak -dapat dipastikan- setiap hari ada pekerjaan. Demikian juga, tidak ada perintah atas pelaksanaan pekerjaan borongan, kemudian risiko serta tanggung-jawabnya langsung terhadap pekerjaan tersebut (strict liability).
Dengan demikian, bagi TKBM tidak memenuhi unsur-unsur hubungan kerja sebagaimana tersebut di atas. Dalam arti, hubungan hukum TKBM dengan Koperasi TKBM dan/atau perusahaan lainnya (termasuk Perusahaan Penyedia Jasa Bongkar Muat) bukan merupakan hubungan kerja, karena memang juga tidak ada perjanjian kerja, baik lisan maupun tertulis. Oleh karena itu -menurut hemat kami- ini (lebih mendekati) pada -hubungan hukum- pemborongan pekerjaan (aanneming van werk). Bentuk hubungan hukum (pemborongan pekerjaan oleh TKBM) semacam ini tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan (labour law). Walaupun demikian, jika dicermati, bentuk ini agak mirip seperti “outsourcing” yang dalam (Pasal 64) UU Ketenagakerjaan disebut sebagai penyerahan sebagian pelaksaaan pekerjaan suatu perusahaan kepada perusahaan lainnya, walau hakikatnya bukan outsourcing.
Kesimpulannya, hubungan hukum TKBM dengan Koperasi TKBM tersebut lebih tepat disebut sebagai hubungan hukum korporasi (corporate law), karena setiap buruh TKBM adalah anggota (owners) Koperasi TKBM, dan setiap mereka –hanya- boleh menjadi buruh bongkar muat dengan syarat dan ketentuan harus tergabung dalam keanggotaan Koperasi TKBM.
Pemutusan Hubungan Kerja TKBM
Mengenai kasus: adanya -buruh- yang tidak boleh masuk lagi (“ter-PHK”), dan kemudian menuntut uang PHK, sebagaimana uraian tersebut di atas, menurut hemat kami harus dikembalikan kepada hubungan hukumnya, yakni sebagai anggota Koperasi TKBM, yang nota bene hubungan hukum korporasi. Dengan perkataan lain, karena TKBM bukan hubungan kerja dan tidak didasarkan pada perjanjian kerja, maka tidak dapat diselesaikan menurut ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, khususnya yang berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja (“ter-PHK”) dan hak pesangon atau “uang PHK”.
Namun jika Saudara yang mengetahui persis, dan jika –memang- Saudara melihat ada kecenderungan pada (unsur-unsur) hubungan kerja, terlebih apabila misalnya –mereka- tidak tergabung sebagai karyawan TKBM dan bukan anggota Koperasi TKBM, serta mereka juga melakukan kegiatan penjemuran dan buang debu, menurut pendapat kami, bisa saja diselesaikan dengan cara (sesuai ketentuan) hubungan kerja (vide Pasal 1601c BW). Tinggal melihat mana yang lebih memenuhi unsur yang paling mendekati (semacam the most characteristic connection).
Berdasarkan Pasal 1601c BW, bilamana suatu hubungan hukum melakukan pekerjaan dapat dipastikan sebagai dan mengandung unsur-unsur hubungan kerja (berdasarkan perjanjian kerja), maka dapat diberlakukan ketentuan UU Ketenagakerjaan (maksudnya perjanjian perburuhan). Demikian juga apabila ada alasan PHK yang mewajibkan pengusaha membayar kompensasi atau istilah Saudara membayar “uang PHK” (uang pesangon/uang penghargaan masa kerja serta uang penggantian hak) sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, tentunya pekerja/buruh berhak atas kompensasi uang PHK dimaksud.
Selain itu, apabila unsur-unsur hubungan kerja terpenuhi, namun hak pekerja/buruh tetap tidak diindahkan, maka tentu saja ia (para buruh bongkar muat) berhak menuntut sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku (videPasal 3 UU No. 2 Tahun 2004).
Demikian opini dan penjelasan kami, semoga penjelasan tersebut yang Saudara maksud.
g.Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.
h.Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pedoman Dasar Perhitungan Tarif Pelayanan Jasa Bongkar Muat dari dan ke Kapal di Pelabuhan
i.Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 14 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat dari dan Ke Kapal di Pelabuhan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri No. 42 tahun 2008;
j.Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja, serta Direktur Jenderal Bina Lembaga Koperasi Nomor : UM 52/1/9-89, KEP.103/BW/89, 17/SKD/BLK/VI/1989 tentang Pembentukan dan Pembinaan Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat sebagaimanatelah dicabut dan digantikan dengan Keputusan Bersama Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan dan Deputi Bidang kelembagaan Koperasi dan UKM Nomor : AL.59/II/12-02, No. 300/BW/2002 dan No. 113/SKB/Dep-S/VIII/2002 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi TKBM di Pelabuhan;
k.Instruksi Bersama Menteri Perhubungan dan Menteri Tenaga Kerja No. INS.2/HK.601/Phb-89 dan No. INS-03/Men/89 tanggal 14 Januari 1989 tentang Pembentukan Koperasi di tiap Pelabuhan sebagai Penganti Yayasan Usaha Karya (YUKA)