Intisari:
Tentunya tidak tepat jika dikatakan bahwa ‘secara otomatis terkena pengalihan hak atas perolehan paten’ tersebut. Melainkan, Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten mengatur pihak yang berhak untuk pertama kali memperoleh paten atas invensi yang dihasilkan dalam hubungan kerja adalah yang memberikan pekerjaan, atau bisa juga diperjanjikan lain antara pemberi kerja dan tenaga kerja tersebut, sehingga yang memperoleh paten atas invensinya adalah tenaga kerjanya. Perlu digarisbawahi juga bahwa hal tersebut bukanlah tahap/proses pengalihan hak dalam paten. Jadi memang perlu diperjanjikan terlebih dahulu dalam perjanjian kerja apabila yang akan menjadi pemegang paten adalah tenaga kerjanya. Berbeda apabila yang akan menjadi pemegang paten adalah pemberi kerja, hal tersebut tidak perlu diperjanjikan lagi karena undang-undang sudah mengatur demikian. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pengalihan Hak atas Paten
Hak atas paten sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) UU Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena:
pewarisan;
hibah;
wasiat;
wakaf;
perjanjian tertulis; atau
sebab lain yang dibenarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengalihan hak atas paten harus disertai dokumen asli paten berikut hak lain yang berkaitan dengan Paten. Segala bentuk pengalihan hak atas paten harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya.
[1]
Sebagai hak eksklusif, paten dapat dialihkan oleh Inventornya atau oleh yang berhak atas Invensi itu kepada perorangan atau kepada badan hukum. Yang “dapat beralih atau dialihkan” adalah hanya hak ekonomi, sedangkan hak moral tetap melekat pada diri Inventor. Pengalihan Hak atas Paten harus dilakukan secara notaril (akta otentik).
[2]
Subjek Paten
Inventor adalah seorang atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi.
[3]
Pasal 10 UU Paten menjelaskan bahwa:
Pihak yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau Orang yang menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan.
Jika Invensi dihasilkan oleh beberapa orang secara bersama-sama, hak atas Invensi dimiliki secara bersama-sama oleh para Inventor yang bersangkutan.
Orang yang menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan misalnya adalah anak dari Pemegang Paten melalui pewarisan.
[4]
Pemegang Paten dalam Hubungan Kerja
Arti Pemegang Paten dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6 UU Paten sebagai berikut:
Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten, pihak yang menerima hak atas Paten tersebut dari pemilik Paten, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak atas Paten tersebut yang terdaftar dalam daftar umum Paten.
Sehubungan dengan pertanyaan Anda, Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU Paten mengatur mengenai pemegang paten dalam hubungan kerja sebagai berikut:
Pemegang Paten atas Invensi yang dihasilkan oleh Inventor dalam hubungan kerja merupakan pihak yang memberikan pekerjaan, kecuali diperjanjikan lain.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku terhadap Invensi yang dihasilkan, baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya.
Menjawab pertanyaan Anda, apakah seorang tenaga kerja yang berhasil menghasilkan invensi secara otomatis terkena pengalihan hak? Tentunya tidak tepat jika dikatakan bahwa ‘secara otomatis terkena pengalihan hak atas perolehan paten’ tersebut. Melainkan, Pasal 12 ayat (1) UU Paten mengatur pihak yang berhak untuk pertama kali memperoleh paten atas invensi yang dihasilkan dalam hubungan kerja adalah yang memberikan pekerjaan, atau bisa juga diperjanjikan lain antara pemberi kerja dan tenaga kerja tersebut, sehingga yang memperoleh paten atas invensinya adalah tenaga kerjanya. Perlu digarisbawahi juga bahwa hal tersebut bukanlah tahap/proses pengalihan hak dalam paten.
Jadi memang perlu diperjanjikan terlebih dahulu dalam perjanjian kerja apabila yang akan menjadi pemegang paten adalah tenaga kerjanya. Berbeda apabila yang akan menjadi pemegang paten adalah pemberi kerja, hal tersebut tidak perlu diperjanjikan lagi karena undang-undang sudah mengatur demikian.
Imbalan untuk Inventor
Sebagai tambahan, apabila pemegang paten yang berhak untuk memperoleh paten atas invensi yang dihasilkan dalam hubungan kerja adalah yang memberikan pekerjaan (dalam hal ini perusahaan), maka inventor atau tenaga kerja berhak mendapatkan imbalan berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh pihak pemberi kerja dan Inventor, dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari invensi dimaksud.
[5]
Imbalan yang didapatkan oleh inventor dapat dibayarkan berdasarkan:
[6]jumlah tertentu dan sekaligus;
persentase;
gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus; atau
bentuk lain yang disepakati para pihak.
Walaupun pemegang paten dalam hubungan kerja adalah si pemberi kerja, dan inventor telah diberikan imbalan, hal tersebut tidak menghapuskan hak Inventor untuk tetap dicantumkan namanya dalam sertifikat Paten.
[7] Pencantuman nama Inventor dalam sertifikat pada dasarnya adalah lazim. Hal ini merupakan hak moral (
moral rights) yang dimiliki oleh inventor.
[8]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
[1] Pasal 74 ayat (2) dan (3) UU Paten
[2] Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU Paten
[3] Pasal 1 angka 3 UU Paten
[4] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Paten
[5] Pasal 12 ayat (3) UU Paten
[6] Pasal 12 ayat (4) UU Paten
[7] Pasal 12 ayat (6) UU Paten
[8] Penjelasan Pasal 12 ayat (6) UU Paten