Wajibkah mencantumkan tanggal kedaluwarsa pada produk yang dijual ke masyarakat? Lalu apakah pencantuman tanggal kedaluwarsa pada suatu produk dapat dikatakan sebagai perjanjian?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pencantuman tanggal kedaluwarsa adalah sebuah kewajiban bagi para pelaku usaha. Jika tidak dicantumkan, ada sanksi pidana dan hukuman tambahan yang dapat menjerat si pelaku usaha yang bersangkutan. Lantas apakah pencantuman tanggal kedaluwarsa pada suatu produk dapat dikatakan sebagai perjanjian?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul produk pangan kadaluwarsa yang dibuat oleh Si Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 20 Oktober 2008.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Kewajiban Mencantumkan Tanggal Kedaluwarsa
Jika ditelusuri dalam UU Perlindungan Konsumen, kewajiban itu timbul dari sebuah larangan bagi pelaku usaha. Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen menyebutkan:
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
Pelanggaran kewajiban pencantuman tanggal kedaluwarsa diancam pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.[1] Selain sanksi pidana, bisa juga dijatuhi hukuman tambahan berupa perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabutan izin usaha.[2]
Kami mencontohkan misalnya untuk produk pangan, yang mana pengertiannya sebagai berikut dalam Pasal 64 angka 1 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 1 UU Pangan:
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan,kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yangdiperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahanPangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan,dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Dalam UU Pangan juga disebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan. Pencantuman label ditulis atau dicetak menggunakan bahasa Indonesia serta memuat keterangan salah satunya tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa.[3]
Bagi yang dengan sengaja menghapus, mencabut, menutup, mengganti label, melabel kembali, dan/atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa pangan yang diedarkan dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp4 miliar.[4]
Dengan demikian, benar bahwa pencantuman tanggal kedaluwarsa adalah kewajiban bagi pelaku usaha apabila produk yang diedarkan memang ada batas waktu atau jangka waktu penggunaannya.
Apakah Tanggal Kedaluwarsa Merupakan Perjanjian?
Apakah pencantuman tanggal kedaluwarsa pada suatu produk dapat dikatakan sebagai perjanjian? Perlu Anda pahami, suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai sesuatu perjanjian, apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Dalam hal ini bisa kita lihat ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur syarat-syarat sahnya perjanjian, yaitu:
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu hal tertentu;
suatu sebab yang halal.
Dari syarat-syarat tersebut di atas, ada unsur kesepakatan yang mengandung arti adanya perbuatan yang dilakukan lebih dari satu pihak.
Hal mengenai perjanjian juga jelas dinyatakan dalam Pasal 1313 KUH Perdata:
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Sementara itu, pencantuman tanggal kedaluwarsa tidak perlu dilakukan atas dasar kesepakatan. Untuk mencantumkan tanggal kedaluwarsa, produsen tidak harus menanyakan lebih dulu kepada konsumen. Sehingga, sudah cukup jelas, bahwa pencantuman tanggal kedaluwarsa tidak dapat dikualifikasikan sebagai perjanjian menurut KUH Perdata.
Meski begitu, bukan berarti produsen boleh semaunya saja mencantumkan tanggal kedaluwarsa, karena ada peraturan yang membatasinya. Merujuk dari PP 69/1999, tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa dicantumkan secara jelas pada label setelah tulisan “baik digunakan sebelum”. Jika produk pangan yang kedaluwarsa lebih dari 3 bulan, diperbolehkan untuk mencantumkan bulan dan tahun kedaluwarsa saja.[5]
Pangan yang sudah melampaui tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa sebagaimana dicantumkan pada label dilarang untuk diperdagangkan.[6]