Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Perceraian karena Orang Ketiga dan Status Anak Luar Kawin

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Perceraian karena Orang Ketiga dan Status Anak Luar Kawin

Perceraian karena Orang Ketiga dan Status Anak Luar Kawin
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Perceraian karena Orang Ketiga dan Status Anak Luar Kawin

PERTANYAAN

Menginjak bulan ke-11 saya belajar di LN, saya mendengar berita bahwa pacar suami saya telah tiga bulan hamil. Suami ingin mengajukan cerai agar dapat menikahi pacarnya tersebut. Surat kawin kami dan akta kelahiran dan KTP saya disimpan oleh orangtua saya, dan tidak ada gejala bahwa suami saya akan datang secara baik-baik untuk mengambil surat-surat tersebut. Apakah perceraian itu dapat dilaksanakan tanpa kehadiran/persetujuan saya? Bagaimana status hukum anak mereka? Apa sanksinya jika mereka tetap menikah secara diam-diam?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul perceraian & anak di luar nikah yang dibuat oleh Bung Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 03 September 2009.

     

    Intisari:

     

     

    Memang pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, terutama pada sidang perdamaian, baik suami ataupun istri harus datang secara pribadi. Meskipun keduanya dapat mewakilkan kepada kuasanya, namun untuk kepentingan pemeriksaan, hakim dapat memerintahkan keduanya untuk hadir sendiri.

     

    Apakah perceraian itu dapat dilaksanakan tanpa kehadiran/persetujuan Anda? Jika yang dimaksudkan adalah Anda (sebagai tergugat) sama sekali tidak datang dan juga tidak mewakili sama sekali kepada kuasanya, maka hakim dapat menjatuhkan putusan verstek.

     

    Mengenai status hukum anak dari suami Anda dan kekasihnya, setidaknya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi yaitu kekasih suami Anda melahirkan sebelum menikah atau melahirkan setelah menikah:

     

    Kemungkinan pertama, jika yang bersangkutan melahirkan anaknya sebelum melangsungkan perkawinan, maka secara hukum, anak-anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

     

    Kemungkinan kedua adalah kawin hamil. Menurut hukum, seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Anak yang terlahir dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah dari keduanya.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Jika Tergugat Tidak Hadir dalam Proses Persidangan Cerai

    Pada prinsipnya, dalam proses sidang perceraian yang berlaku di Indonesia, kedua belah pihak (suami dan istri) harus hadir dalam persidangan agar dapat dilakukan usaha perdamaian di antara mereka. Hal ini telah diatur dalam Pasal 130 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (HIR) jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undag Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”).

     

    Namun, suami atau istri diperbolehkan untuk tidak hadir dalam sidang perceraian dengan memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mewakili yang bersangkutan dalam sidang perceraian.[1]

     

    Namun jika Anda beragama Islam, maka ketentuan proses persidangan cerainya mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 7/1989”) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (“UU 3/2006”) dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 (“UU 50/2009”).

     

    Pasal 82 ayat (1) dan (2) UU 7/1989 mengatur:

     

    (1)  Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.

    (2)  Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

    (3)  Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaiantersebut harus menghadap secara pribadi.

    (4)  Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

     

    Masih berkaitan dengan kehadiran suami istri dalam persidangan, pada Pasal 142 ayat (2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) juga disebutkan bahwa dalam hal suami istri mewakilkan kepada kuasanya, untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.

     

    Jadi, dapat kita ketahui bahwa memang pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, terutama pada sidang perdamaian, baik suami ataupun istri harus datang secara pribadi. Meskipun keduanya dapat mewakilkan kepada kuasanya, namun untuk kepentingan pemeriksaan, hakim dapat memerintahkan keduanya untuk hadir sendiri.

     

    Apakah perceraian itu dapat dilaksanakan tanpa kehadiran/persetujuan Anda? Jika yang dimaksudkan adalah Anda (sebagai tergugat) sama sekali tidak datang dan juga tidak mewakili sama sekali kepada kuasanya, maka berdasarkan Pasal 125 HIR hakim dapat menjatuhkan putusan verstek.

     

    Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan apabila tergugat tidak hadir atau tidak juga mewakilkan kepada kuasanya untuk menghadap meskipun ia sudah dipanggil dengan patut. Apabila tergugat tidak mengajukan upaya hukum verzet (perlawanan) terhadap putusan verstek itu, maka putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Penjelasan lebih lanjut mengenai putusan ini dapat Anda simak dalam artikel Putusan Verstek dan Uang Panjar Pengadilan.

     

    Alasan-Alasan Perceraian

    Untuk mengajukan perceraian, harus mempunyai cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) beserta penjelasannya dan Pasal 19 PP 9/1975 sebagai berikut:

     

     

     

    a.    Salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar untuk disembuhkan;

    b.    Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

    c.    Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

    d.    Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

    e.    Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

    f.     Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

     

    Bagaimana Status Hukum si Anak?

    Setidaknya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi yaitu kekasih suami Anda melahirkan sebelum menikah atau melahirkan setelah menikah:

     

    Kemungkinan pertama, jika yang bersangkutan melahirkan anaknya sebelum melangsungkan perkawinan, maka secara hukum, anak-anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.[2]

     

    Kemungkinan kedua adalah kawin hamil. Menurut hukum, seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.[3] Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.[4] Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Anak yang terlahir dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah dari keduanya.[5]

     

    Apa Akibat Hukum Pernikahan Diam-Diam?

    Kami berasumsi yang Anda maksudkan dengan menikah diam-diam adalah suami Anda belum bercerai dengan Anda, tetapi menikah diam-diam dengan kekasihnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan, pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri. Akan tetapi, Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.[6]

     

    Apabila suami tersebut akan menikah lagi, adapun yang menjadi persyaratan adalah:

    1.    Suami tersebut harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya;[7]

    2.    Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan, seorang suami harus memperoleh persetujuan dari istri, suami dapat memastikan bahwa ia dapat menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak, serta menjamin bahwa ia sebagai suami dapat berlaku adil;[8]

    3.    Pengadilan hanya memberikan izin apabila:[9]

    a)    istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai istri,

    b)    istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,

    c)    istri tidak dapat melahirkan keturunan.

     

    Dengan adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suami apabila akan menikah lagi, maka hal tersebut haruslah dilakukan atas persetujuan dari istri. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi dan ternyata suami Anda melakukan perkawinan secara diam-diam dan tanpa persetujuan dari Anda sebagai istri pertama, maka perkawinan yang mereka lakukan tidak mempunyai kekuatan hukum.[10] Oleh karena itu, Anda sebagai istri pertama dapat meminta untuk dilakukannya pembatalan perkawinan.[11]

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Herzien Inlandsch Reglement;

    2.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    3.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009;

    4.    Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undag Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

    5.       Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

     

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

     

     



    [1] Pasal 30 PP 9/1975

    [2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 tentang Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan

    [3] Pasal 53 ayat (1) KHI

    [4] Pasal 53 ayat (2) KHI

    [5] Pasal 42 UU Perkawinan

    [6] Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan

    [7] Pasal 4 ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal 56 ayat (1) KHI

    [8] Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan

    [9] Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan

    [10] Pasal 56 ayat (3) KHI

    [11] Pasal 71 huruf a KHI

    Tags

    hukumonline
    hukum

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Cara Upload Terjemahan Novel Agar Tak Langgar Hak Cipta

    20 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!