Pro
Pusat Data
Koleksi terlengkap dan terkini berisi peraturan putusan pengadilan preseden serta non-preseden
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab tentang berbagai persoalan hukum, mulai dari hukum pidana hingga perdata, gratis!
Berita
Informasi terkini tentang perkembangan hukum di Tanah Air, yang disajikan oleh jurnalis Hukumonline
Jurnal
Koleksi puluhan ribu artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk berbagai penelitian hukum Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Mengenai hukum acara pidana pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 memang terdapat beberapa kejanggalan, khususnya mengenai apakah ketentuan-ketentuan dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) mengikat juga bagi hukum acara pidana pemilu. Dalam UU 10/2008 memang terdapat pengaturan yang seolah-olah menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUHAP berlaku juga untuk penegakkan pidana pemilu, yaitu dalam pasal 254 ayat (1).
Namun, jika dicermati lebih jauh lagi pasal 254 ayat (1) UU No. 10/2008 tersebut, maka terkesan seolah-olah ketentuan KUHAP yang berlaku bagi penegakkan hukum pidana pemilu hanya yang terkait dengan proses acara di pengadilan negeri atau pengadilan tingkat pertama. Secara lengkap rumusan pasal 254 ayat (1) UU tersebut berbunyi:
Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Dengan bunyi rumusan seperti pasal 254 ayat (1) UU No. 10/2008 tersebut maka berarti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHAP hanya mengikat sepanjang ketentuan-ketentuan yang mengatur proses pemeriksaan perkara di tingkat pertama atau pengadilan negeri, dan tidak diatur dalam UU No. 10/2008 tersebut. Sementara itu, ketentuan-ketentuan dalam KUHAP lainnya yang mengatur hal-hal di luar pemeriksaan di tingkat Pengadilan Negeri atau peradilan tingkat pertama, seperti tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, upaya-upaya paksa, upaya hukum dan lain sebagainya tidak mengikuti KUHAP.
Pengaturan sebagaimana pasal 254 ayat (1) UU No. 10/2008 di atas sangatlah tidak lazim. Umumnya pengaturan mengenai pengecualian atas KUHAP dalam pidana-pidana tertentu diletakkan pada bagian awal pengaturan hukum acara pidana tertentu tersebut, dengan rumusan yang intinya menyatakan bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini (bandingkan dengan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD yang lama, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KRDT serta seluruh undang-undang lainnya yang di dalamnya mengatur ancaman pemidanaan). Dengan model pengaturan seperti ini maka KUHAP menjadi lex generali dari hukum acara dari hukum acara pidana tertentu/ khusus, sementara ketentuan-ketentuan yang mengatur juga hukum acara dalam undang-undang yang mengatur pidana tertentu/khusus tersebut menjadi lex specialis.
Jika dilihat secara sistematis maka walaupun ketentuan yang menyatakan KUHAP sebagai lex generali dalam UU No. 10/2008 diletakkan pada pasal 254 ayat (1), atau seakan hanya berlaku dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri. Namun, kami berpendapat bahwa ketentuan tersebut harus dibaca bahwa KUHAP berlaku sebagai lex generali pada semua tahapan acara pemeriksaan, tak hanya pada tahapan pemeriksaan di tingkat pengadilan negeri semata.
Hal tersebut di atas karena pengaturan hukum acara yang diatur dalam UU No. 10/2008 tidak mencukupi untuk mengatur semua hal layaknya pengaturan hukum acara pidana. Sebagai contoh, pengaturan penyidikan dalam pasal 253 UU No. 10/2008 tidak mengatur mengenai kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik seperti yang diatur dalam pasal 7 KUHAP. Begitu juga halnya dengan kewenangan penuntut umum dalam tindak pidana pemilu ini tidak diatur dengan cukup dalam UU No. 10/2008. Dari tidak diaturnya hal-hal tersebut dalam UU No. 10/2008 ini secara memadai maka kuat dugaan kami bahwa memang pembuat undang-undang ini tetap bermaksud menjadikan KUHAP sebagai lex generali dari hukum acara pidana pemilu, tak hanya khusus untuk pemeriksaan di tingkat pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pasal 254 ayat (1) UU No. 10/2008, atau boleh jadi pengaturan sebagaimana pasal 254 ayat (1) UU tersebut merupakan kesalahan teknis legal drafting semata.
Dengan penafsiran sebagaimana di atas maka mengingat dalam UU No. 10/2008 ini tidak diatur mengenai apakah putusan pengadilan tingkat pertama yang membebaskan terdakwa, sebagaimana yang diatur dalam pasal 67 KUHAP jo. Pasal 233 KUHAP, maka berarti pasal 67 jo. 233 KUHAP tersebut tetap berlaku, atau dengan kata lain putusan pengadilan negeri yang membebaskan atau melepaskan terdakwa dalam pidana pemilu tidak dapat diajukan banding.
Permasalahan hukum selanjutnya adalah, apakah jika ternyata atas suatu putusan bebas dalam pidana pemilu Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding dan kemudian diterima oleh Pengadilan Tinggi, apakah Terdakwa/Terpidana dapat mengajukan upaya hukum?
KLINIK TERBARU
Cara Mendapatkan Akta Cerai Jika Tidak Hadir saat Sidang
Apakah Karyawan yang Resign Berhak Mendapatkan THR?
Bunyi Pasal Pencemaran Nama Baik KUHP Pasca Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023
Ragam Putusan MK tentang Sengketa Hasil Pemilu
Aturan Penggunaan Nama Perseroan Terbatas
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?
Perusahaan Anda Di Sini!