Apakah seseorang yang telah menjadi seorang terpidana, sudah berada dalam lembaga pemasyarakatan, tetap dapat melakukan perbuatan hukum, terpidana tersebut tetap dapat melakukan suatu perjanjian kerja sama secara notariil? Apakah akta perjanjian tersebut sah?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Narapidana yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan tidak serta merta kehilangan hak-hak yang melekat pada dirinya. Kecuali jika hak tersebut secara tegas dicabut berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sebagai bentuk pidana tambahan.
Lalu, apakah pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu termasuk untuk membuat suatu perjanjian perdata?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul hukum pidana/hak-hak keperdataan seorang terpidana yang dibuat oleh Si Pokrol, dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 9 Juni 2009.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Hak-hak Narapidana
Kami asumsikan bahwa yang Anda tanyakan adalah berkaitan dengan keabsahan perjanjian kerja sama yang dibuat oleh seorang narapidana. Namun, sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian narapidana adalah terpidana yang sedang menjalani pidana penjara untuk waktu tertentu dan seumur hidup atau terpidana mati yang sedang menunggu pelaksanaan putusan yang sedang menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan.[1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Sesuai dengan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa narapidana kehilangan sebagian hak-hak kemerdekaannya karena dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan sanksi pidana yang dijatuhkan terhadapnya harus berada dalam lembaga pemasyarakatan (“lapas”) dan tidak bisa keluar kecuali dalam keadaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Namun demikian, berdasarkan Pasal 9 UU Pemasyarakatan, narapidana dalam tahanan masih berhak untuk:
menjalankan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
mendapatkan perawatan, baik jasmani maupun rohani;
mendapatkan pendidikan, pengajaran, dan kegiatan rekreasional serta kesempatan mengembangkan potensi;
mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak sesuai dengan kebutuhan gizi;
mendapatkan layanan informasi;
mendapatkan penyuluhan hukum dan bantuan hukum;
menyampaikan pengaduan dan/atau keluhan;
mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak dilarang;
mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dilindungi dari tindakan penyiksaan, eksploitasi, pembiaran, kekerasan, dan segala tindakan yang membahayakan fisik dan mental;
mendapatkan jaminan keselamatan kerja, upah. atau premi hasil bekerja;
mendapatkan pelayanan sosial; dan
menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat.
Artinya, narapidana yang sedang menjalani hukuman badaniah di lapas tidak serta merta kehilangan hak-hak yang melekat pada dirinya, kecuali secara tegas dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) ditetapkan pidana tambahan.
Pidana tambahan diatur di dalam Pasal 10 huruf b KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 66 ayat (1) UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[2] yaitu tahun 2026 berupa:
Pasal 10 huruf b KUHP
Pasal 66 ayat (1) UU 1/2023
pencabutan hak-hak tertentu;
perampasan barang-barang tertentu;
pengumuman putusan hakim.
pencabutan hak tertentu;
perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
pengumuman putusan hakim;
pembayaran ganti rugi;
pencabutan izin tertentu; dan
pemenuhan kewajiban adat setempat.
Lebih lanjut, hak-hak yang dapat dicabut dengan putusan hakim hanyalah terbatas pada hak-hak yang diatur di dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP dan Pasal 86 UU 1/2023 sebagai berikut.
Pasal 35 ayat (1) KUHP
Pasal 86 UU 1/2023
Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kuhp, atau dalam aturan umum lainnya ialah:
hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
hak memasuki angkatan bersenjata;
hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
hak menjalankan mata pencaharian tertentu.
Pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf a UU 1/2023 dapat berupa:
hak memang jabatan publik pada umumnya atau jabatan tertentu;
hak menjadi anggota TNI dan Polri;
hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
hak menjadi wali, wali pengawas, pengampui, atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anaknya sendiri;
hak menjalankan kekuasaan ayah, menjalankan perwalian, atau mengampu atas anaknya sendiri;
hak menjalankan profesi tertentu; dan/atau
hak memperoleh pembebasan bersyarat
Berdasarkan ketentuan di atas, hak-hak narapidana untuk melakukan perbuatan hukum perdata tidak termasuk hak yang dapat dicabut. Sehingga, menurut hemat kami, narapidana yang berada dalam lapas tetap berhak melakukan suatu perbuatan hukum perdata seperti membuat perjanjian jual beli, utang piutang, dan perbuatan perdata lainnya.
Keabsahaan Perjanjian yang Dibuat Narapidana
Sebagai penegasan seorang narapidana berhak melaksanakan perbuatan perdata juga dapat dilihat dalam Pasal 3 KUH Perdata yang berbunyi:
Tiada suatu hukuman pun yang mengakibatkan kematian perdata, atau hilangnya segala hak-hak kewargaan.
Berdasarkan pasal tersebut, hukuman apapun yang termasuk hukuman badaniah yang dijatuhkan kepada narapidana tidak serta merta menghilangkan hak-hak keperdataannya.
Maka dari itu, status narapidana tidak menjadi penentu sah atau tidaknya sebuah perjanjian. Hal ini karena keabsahan sebuah perjanjian dinilai berdasarkan syarat sah yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
Lebih lanjut, terkait dengan kecakapan para pihak, pada dasarnya setiap orang dianggap cakap untuk membuat perikatan kecuali ia dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang.[3] Lantas apakah narapidana termasuk orang yang tidak cakap untuk melakukan suatu perjanjian?
Berdasarkan Pasal 1330 KUH Perdata orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
Orang yang belum dewasa;
Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (seperti dungu, gila atau gelap mata[4]);
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Namun, patut dicatat bahwa ketentuan ke 3 mengenai orang-orang perempuan tersebut dihapus dengan berlakunya UU Perkawinan.[5]
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda apakah seorang narapidana dapat membuat perjanjian kerja sama di hadapan notaris, menurut hemat kami, bisa. Narapidana yang sedang menjalani hukuman di lapas berhak membuat suatu perjanjian kerja sama dan tetap sah secara hukum, sepanjang yang bersangkutan adalah orang yang sudah dewasa (minimal berumur 18 tahun atau telah menikah) dan cakap melakukan perbuatan hukum[6] atau tidak di bawah pengampuan.
Danang Wirahutama, Widodo Tresno Novianti, Noor Saptanti. Kecakapan Hukum dan Legalitas Tanda Tangan Seorang Terpidana dalam Menandatangani Akta Otentik. Masalah-masalah Hukum Jilid 47 No. 2 April 2018.
[5] Danang Wirahutama, Widodo Tresno Novianti, Noor Saptanti. Kecakapan Hukum dan Legalitas Tanda Tangan Seorang Terpidana dalam Menandatangani Akta Otentik. Masalah-masalah Hukum Jilid 47 No. 2 April 2018, hal. 119