Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul
Apakah Pinjaman Daerah Harus Dituangkan dalam Peraturan Daerah? yang dibuat oleh
Amrie Hakim, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 04 Oktober 2010.
Intisari :
Seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pinjaman daerah dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (“APBD”) dan yang namanya ABPD ini memang ditetapkan dengan peraturan daerah. Jadi, mengenai pinjaman daerah, pada dasarnya tidak ada ketentuan secara eksplisit yang mengharuskannya dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Namun segala pinjaman daerah harus dicantumkan dalam APBD, yang mana APBD itu ditetapkan dengan peraturan daerah. Adapun pinjaman daerah yang wajib ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah adalah obligasi daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum kepada masyarakat di pasar modal. Lalu bagaimana dengan pinjaman daerah yang berasal dari Bank Pembangunan Daerah (BPD)? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pinjaman Daerah
Yang dimaksud dengan pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
[1]
Seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pinjaman daerah dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (“APBD”). Keterangan yang memuat rincian penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pinjaman daerah dituangkan dalam lampiran dokumen APBD.
[2]
APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
[3]
Menurut Pasal 11 PP 30/2011 pinjaman daerah ada tiga jenis yaitu;
Pinjaman jangka pendek, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman jangka pendek meliputi pokok pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lainnya seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang berkenaan.
[4]
Pinjaman jangka pendek bersumber dari:
[5]Pemerintah daerah lain;
lembaga keuangan bank; dan
lembaga keuangan bukan bank.
Pinjaman jangka pendek digunakan hanya untuk menutup kekurangan arus kas.
[6]
Pinjaman jangka menengah, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu
yang tidak melebihi sisa masa jabatan gubernur bupati, atau walikota yang bersangkutan.
[7]
Pinjaman jangka menengah bersumber dari:
[8]Pemerintah;
Pemerintah daerah lain;
lembaga keuangan bank; dan
lembaga keuangan bukan bank.
Pinjaman jangka menengah digunakan untuk membiayai pelayanan publik yang tidak menghasilkan penerimaan.
[9]
Pinjaman jangka panjang, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan/atau kewajiban lain yang seluruhnya harus dilunasi pada tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.
[10]
Mengenai sumber pinjaman jangka panjang, selain dari 4 sumber yang sama seperti pinjaman jangka menengah, untuk pinjaman jangka panjang dapat juga bersumber dari masyarakat.
[11]
Kembali ditekankan bahwa pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman daerah yang bersumber dari pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga keuangan bukan bank
sepanjang memenuhi persyaratan pinjaman.
[12]
Dalam melakukan pinjaman daerah, pemerintah daerah wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
[13]jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
memenuhi ketentuan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman yang ditetapkan oleh Pemerintah; dan
persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh calon pemberi pinjaman.
Pinjaman jangka menengah dan pinjaman jangka panjang wajib mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”).
[14]
Persetujuan DPRD termasuk dalam hal pinjaman tersebut diteruspinjamkan, dihibahkan, dan/atau dijadikan penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah.
[15]
PP 30/2011 tidak menjelaskan lebih lanjut apa bentuk dari persetujuan DPRD yang disyaratkan dalam Pasal 15 ayat (3) di atas. Tapi, persetujuan DPRD dimaksud boleh jadi berbentuk surat persetujuan DPRD.
Pinjaman Daerah dalam Bentuk Obligasi Daerah
Selain itu, pinjaman daerah juga dapat bersumber dari masyarakat berupa obligasi daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum kepada masyarakat di pasar modal.
[16] Rencana penerbitan obligasi daerah wajib disampaikan pada Menteri dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan DPRD yang diterbitkan pada saat penetapan APBD.
[17]
Penerbitan obligasi daerah ditetapkan dengan peraturan daerah.
[18] Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat keterbukaan dan pertanggungjawaban yang jelas kepada masyarakat tentang segala kewajiban dari obligasi tersebut. Peraturan daerah dimaksud ditetapkan dengan persetujuan pleno DPRD. Persetujuan pleno DPRD dimaksud digunakan sebagai syarat penandatanganan perjanjian pinjaman.
[19]
Jadi menjawab pertanyaan Anda, mengenai pinjaman daerah, tidak ada ketentuan secara eksplisit yang mengharuskannya dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Namun harus dicantumkan dalam APBD yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Pinjaman daerah yang wajib secara langsung ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah adalah obligasi daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum kepada masyarakat di pasar modal.
Dalam melakukan pinjaman daerah, pemerintah daerah wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Selain itu pihak yang memberikan pinjaman (dalam hal ini bank yang dimaksud adalah Bank Pembangunan Daerah/BPD) juga dapat menetapkan persyaratan lainnya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 1 angka 1 PP 30/2011
[3] Pasal 1 angka 10 PP 30/2011
[4] Pasal 12 ayat (1) dan (2) PP 30/2011
[5] Pasal 12 ayat (3) PP 30/2011
[6] Pasal 12 ayat (4) PP 30/2011
[7] Pasal 13 ayat (1) dan (2) PP 30/2011
[8] Pasal 13 ayat (3) PP 30/2011
[9] Pasal 13 ayat (4) PP 30/2011
[10] Pasal 14 ayat (1) dan (2) PP 30/2011
[11] Pasal 14 ayat (3) PP 30/2011
[13] Pasal 15 ayat (1) PP 30/2011
[14] Pasal 15 ayat (3) PP 30/2011
[15] Penjelasan Pasal 15 ayat (3) PP 30/2011
[16] Pasal 1 angka 11 PP 30/2011
[17] Pasal 44 ayat (1) dan (3) PP 30/2011
[18] Pasal 44 ayat (6) PP 30/2011
[19] Penjelasan Pasal 44 ayat (6) PP 30/2011