Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Aspek Hukum tentang Surrogate Mother (Ibu Pengganti)

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Aspek Hukum tentang Surrogate Mother (Ibu Pengganti)

Aspek Hukum tentang <i>Surrogate Mother</i> (Ibu Pengganti)
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Aspek Hukum tentang <i>Surrogate Mother</i> (Ibu Pengganti)

PERTANYAAN

Apakah perjanjian sewa menyewa rahim tidak diperbolehkan di Indonesia? Salah seorang saudara saya berniat untuk melakukan perjanjian sewa menyewa rahim dengan seseorang namun khawatir dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, upaya hukum apa yang dapat dilakukan apabila Ibu Pengganti tersebut berniat untuk tidak menyerahkan bayi hasil pembuahan saudara saya dengan pasangannya tersebut? Terima kasih.

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung.
     
    Metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia.
     
    Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah harus memiliki sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Sedangkan, praktik ibu pengganti bukan merupakan upaya kehamilan yang ”dapat dilakukan” menurut UU Kesehatan. Dengan demikian syarat sebab yang halal ini tidak terpenuhi.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan Surrogate Mother (Ibu Pengganti) yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pernah dipublikasikan pada Senin, 09 Agustus 2010.
     
    Intisari:
     
     
    Yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung.
     
    Metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia.
     
    Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah harus memiliki sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Sedangkan, praktik ibu pengganti bukan merupakan upaya kehamilan yang ”dapat dilakukan” menurut UU Kesehatan. Dengan demikian syarat sebab yang halal ini tidak terpenuhi.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
     
    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    1. Surrogate mother, menurut Black's Law Dictionary 9th Edition adalah:
     
    1. A woman who carries out the gestational function and gives birth to a child for another; esp. a woman who agrees to provide her uterus to carry an embryo throughout pregnancy, typically on behalf of an infertile couple, and who relinquishes any parental rights she may have upon the birth of the child. 2. A person who performs the role of a mother.
     
    Kami asumsikan yang Anda maksudkan dengan surrogate mother adalah definisi pertama dalam Black's Law Dictionary, yaitu a woman who carries out the gestational function and gives birth to a child for another.
     
    Selain itu, sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Status Hukum Anak Hasil Sewa Rahim, merujuk pada penjelasan Dr. H. Desriza Ratman, MH.Kes dalam bukunya “Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia?”, surrogate mother adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami-isteri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami isteri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat. Perjanjian ini lazim disebut gestational agreement (hal. 3). Intinya, surrogate mother adalah perempuan yang menampung pembuahan suami isteri dan diharapkan melahirkan anak hasil pembuahan. Dalam bahasa sederhana berarti ‘ibu pengganti’ atau ‘ibu wali’ (hal. 35). Dari sisi hukum, perempuan penampung pembuahan dianggap ‘menyewakan’ rahimnya.
     
    Praktik surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu pengganti tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah. Dalam hukum Indonesia, praktik ibu pengganti secara implisit tidak diperbolehkan.
     
    Dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
    1. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
    2. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
    3. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
     
    Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung.
     
    Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam Pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia.
     
    Sebagai informasi tambahan, sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Status Hukum Anak Hasil Sewa Rahim, dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3, ulama besar Mesir Dr. Yusuf Qaradhawi antara lain menulis bahwa semua ahli fiqih tidak membolehkan penyewaan rahim dalam berbagai bentuknya (hal. 660). Menurutnya, para ahli fiqih dan para pakar dari bidang kedokteran telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan suami-istri atau salah satunya untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan demi membantu mereka mewujudkan kelahiran anak. Namun, mereka syaratkan spermanya harus milik sang suami dan sel telur milik sang istri, tidak ada pihak ketiga di antara mereka. Misalnya, dalam masalah bayi tabung.
     
    1. Seperti telah kami jelaskan di atas, praktik ibu pengganti atau sewa menyewa rahim belum diatur di Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada perlindungan hukum bagi para pelaku perjanjian ibu pengganti ataupun sewa menyewa rahim.
     
    Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) memang diatur mengenai kebebasan berkontrak, di mana para pihak dalam kontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya:
     
    Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
     
    Akan tetapi, asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
    1. Kesepakatan para pihak;
    2. Kecakapan para pihak;
    3. Mengenai suatu hal tertentu; dan
    4. Sebab yang halal.
     
    Berdasarkan uraian di atas, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah harus memiliki sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum.[1] Sedangkan, seperti dijelaskan di atas, praktik ibu pengganti bukan merupakan upaya kehamilan yang ”dapat dilakukan” menurut UU Kesehatan. Dengan demikian syarat sebab yang halal ini tidak terpenuhi.
     
    Dalam konteks masalah yang Anda tanyakan, tidak dipenuhinya syarat yang menyangkut syarat yang melekat pada objek perjanjian (sebab yang halal) bisa berakibat antara lain:
    1. menjadi dasar atau alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut kebatalan demi hukum perjanjian tersebut karena perjanjian tidak memenuhi syarat sebab atau kausa yang halal, dan
    2. tidak ada landasan hukum bagi saudara Anda untuk menuntut si ibu pengganti dalam hal ia tidak mau menyerahkan bayi yang dititipkan dalam rahimnya tersebut.
     
    Hal lain yang penting diperhatikan dalam masalah ini adalah hak-hak anak yang terlahir dari ibu pengganti tidak boleh terabaikan, khususnya hak identitas diri yang dituangkan dalam akta kelahiran. Ini diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut:
     
    1. Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak kelahirannya.
    2. Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.
    3. Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
    4. Dalam hal Anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan Orang Tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk Anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya dan dilengkapi berita acara pemeriksaan kepolisian.
     
    Apabila terjadi perselisihan antara saudara Anda dengan si ibu pengganti, maka penyelesaiannya harus mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi si anak.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
     
     

    [1] Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata

    Tags

    hukumonline
    hukum

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Jika Menjadi Korban Penipuan Rekber

    1 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!