Perusahaan kami adalah cabang dari perusahaan Singapura yang dimiliki sepenuhnya oleh pengusaha Singapura yang mempunyai kantor pusat di Singapura. Kantor kami di Jakarta berstatus PMA (terdaftar dan memiliki SIUP, NPWP dan TDP). Pengusaha memutuskan untuk mengadakan PHK pada sebagian besar karyawannya dengan alasan efisiensi dan penciutan operasi perusahaan di Indonesia. Dalam PHK ini, pimpinan lokal kami dengan jabatan General Manager (GM) ikut serta. GM kami (WNI) pada saat bergabung membuat perjanjian kerja dengan kop surat kantor pusat Singapura, yang di dalamnya dijelaskan tentang penempatan di kantor Jakarta sebagai GM, gaji, bonus dan tidak diberikan THR, tetapi tidak ada pernyataan bahwa perjanjian itu tunduk pada hukum tenaga kerja Singapura. Pertanyaannya: Apakah GM kami itu berhak untuk mendapatkan kompensasi PHK (pesangon dll.) berdasarkan UU Tenaga Kerja Indonesia? Hal ini dikarenakan ada indikasi bahwa pengusaha akan mengenakan perjanjian tersebut atas dasar hukum Singapura dan pada akhirnya terbebas dari kewajiban membayar pesangon sesuai hukum Indonesia. Mohon penjelasan dari Bapak dan sekaligus dasar hukumnya pasal berapa? Sehingga kami dapat membuktikan di depan pengusaha asing tersebut apabila memang GM kami berhak menerima kompensasi sesuai hukum tenaga kerja Indonesia. Terima kasih atas jawabannya yang cepat.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Pertama-tama, perlu kami menjelaskan secara singkat bahwa cabang perusahaan (branch office) adalah merupakan bagian integral dari suatu perusahaan (head office), baik perusahaan lokal maupun perusahaan lintas negara atau Trans National Company (“TNC”) dan Multy National Company (MNC). Demikian juga, suatu cabang perusahaan adalah entitas yang merupakan salah satu institusi pemberi kerja (employer = pengusaha/perusahaan) sepanjang entitas dimaksud mempekerjakan pekerja/buruh (karyawan) sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 6 jo angka 5 UU No. 13 Tahun 2003).
Sehubungan dengan penjelasan di atas, penggunaan kop surat di suatu cabang perusahaan (Indonesia) yang sama seperti di kantor pusat (Singapura) tentunya tidak menjadi persoalan bagi TNC/MNC, karena suatu cabang adalah merupakan bagian integral dari pusat (TNC/MNC). Walaupun sejatinya, suatu perjanjian kerja (“PK”) tidak sepatutnya dibuat di atas kertas yang beridentitas salah satu pihak (dengan kop surat) guna menjaga independensi perjanjian dimaksud.
Untuk menjawab permasalahan Sdr/(i), ada beberapa informasi yang Sdr/(i) sampaikan sebagai bahan/data bagi kami menjelaskan (khususnya terkait Pasal 54 ayat [1] huruf a s/d huruf f UU No. 13/2003), yakni –antara lain–, bahwa pimpinan lokal (Branch Office Manager) dengan –sebutan– jabatan General Manager(“GM”) termasuk salah seorang yang kena lay off (PHK massal) dengan alasan efisiensi (down sizing). Kemudian, dalam PK GM disebutkan penempatannya di kantor Jakarta, dengan gajiplusbonus, tanpa THR. Tetapi (dalam PK) tidak ada pernyataan mengenai governing law, yang menyatakan penundukan pada Hukum Ketenagakerjaan Singapura.
Berdasarkan informasi yang minim tersebut, pertama-tama kami menjelaskan mengenai hukum yang berlaku bagi GM yang bersangkutan (the proper law of contract), bahwa menurut Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam buku “Hukum Perdata Internasional” (Jilid III Bag. 2 Buku ke-8 Cetakan ke-3, Alumni Bandung, 2002, hal.4), pilihan hukum (choice of law) hanya boleh di bidang hukum kontrak dengan beberapa pengecualian, antara lain kontrak kerja (employment agreement). Artinya, dalam hukum perjanjian (perdata) dimungkinkan adanya pilihan hukum (applicable law) kecuali beberapa perjanjian tertentu (yang tidak boleh ada pilihan hukum), seperti –dicontohkan– perjanjian kerja.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Sehubungan dengan tidak adanya pilihan hukum dalam perjanjian kerja, maka menurut hemat kami, hukum yang berlaku pada suatu perjanjian kerja, adalah hukum di mana karyawan ditempatkan dan –secara nyata– melakukan pekerjaan. Dengan demikian, terkait dengan pertanyaan Sdr/(i), apabila GM dimaksud ditempatkan di Jakarta/Indonesia dan entitas-nya berada di Indonesia, kemudian di-PHK (lay off) di Indonesia, maka tentunya berlaku Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (UU No. 13 Tahun 2003). Oleh karena itu, bilamana yang bersangkutan di-PHK karena efisiensi, maka berhak atas kompensasi PHK sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) jo Pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003.