Apakah WNA dapat menjadi debitur di bank di Indonesia?
Apakah WNI yang menikah dengan WNA (pernikahan dilakukan di luar negeri dan belum didaftarkan di Catatan Sipil) dapat menjadi debitur di bank di Indonesia?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pada dasarnya, menurut PBI 24/7/2022, bank dilarang untuk memberikan cerukan serta kredit dan/atau pembiayaan dalam rupiah atau valuta asing kepada bukan penduduk.
Namun, terdapat pengecualian atas larangan terhadap pemberian kredit tersebut. Apa dasar hukumnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Apakah WNA Boleh Menjadi Debitur Bank di Indonesia?yang dibuat oleh Dr. Flora Dianti, S.H., M.H.dari DPC AAI Jakarta Pusatdan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 29 Juli 2011.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pengertian Kreditor dan Debitur
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kredit, yaitu penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.[1] Dalam kata lain, kredit adalah perjanjian pinjam meminjam uang antara bank sebagai kreditor dan nasabah sebagai debitur. Dalam perjanjian tersebut, bank sebagai pemberi kredit percaya terhadap nasabahnya dalam jangka waktu yang disepakatinya akan dikembalikan atau dibayar lunas.[2]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Sebagaimana pengertian di atas, perlu diketahui dalam hal ini bank merupakan pemberi kredit atau sebagai kreditor, dan debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk melunasi utang jika utang tersebut telah jatuh tempo atau waktu dan dapat ditagih.[3]
Aturan Hukum Pemberian Kredit kepada Bukan Penduduk
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 17 ayat (1) PBI 24/7/2022, bank dilarang melakukan transaksi:
transfer rupiah ke luar negeri;
transaksi non-deliverable forward valuta asing terhadap rupiah di luar negeri;
memberikan cerukan serta kredit dan/atau pembiayaan untuk transaksi valuta asing terhadap rupiah;
memberikan cerukan serta kredit dan/atau pembiayaan dalam rupiah atau valuta asing kepada bukan penduduk;
membeli surat berharga dalam rupiah yang diterbitkan oleh Bukan Penduduk;
melakukan investasi dalam rupiah kepada bukan penduduk; dan
transaksi lain yang ditetapkan Bank Indonesia
Bukan penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang tidak berdomisili di Indonesia atau berdomisili di Indonesia kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik negara lain di Indonesia.[4]
Bank yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenai sanksi administratif berdasarkan Pasal 17 ayat (3) PBI 24/7/2022 yaitu:
teguran tertulis; dan
kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari nominal transaksi yang dilanggar untuk setiap pelanggaran, dengan jumlah sanksi kewajiban membayar paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Namun, terdapat juga pengecualian atas larangan terhadap pemberian kredit tersebut di atas meliputi:[5]
kegiatan tertentu untuk penyelesaian transaksi menggunakan mata uang lokal (local currency settlement);
cerukan intrahari untuk transaksi valuta asing terhadap rupiah;
pemberian kredit atau pembiayaan kepada bukan penduduk dengan persyaratan kegiatan ekonomi tertentu di Indonesia;
pembelian surat berharga yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi tertentu di Indonesia; dan
transaksi lain yang ditetapkan Bank Indonesia
Berkaitan dengan kegiatan ekonomi tertentu di Indonesia, pada dasarnya Bank Indonesia memberikan insentif bagi bank yang melakukan penyediaan dana untuk kegiatan ekonomi tertentu dan inklusif.[6] Sehubungan dengan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi guna pemulihan ekonomi nasional, Bank Indonesia perlu melakukan penguatan kebijakan. Namun, karena terdapat tantangan dari sisi global maupun domestik terhadap pemulihan ekonomi Indonesia, maka diperlukan dukungan otoritas untuk menjaga kondisi perekonomian yang kondusif. Oleh karena itu, peningkatan penyediaan dana pada kegiatan ekonomi tertentu dan inklusif diperlukan. Dalam hal ini, Bank Indonesia menerapkan kebijakan berupa pemberian insentif bagi bank yang menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada sektor prioritas, pencapaian Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensia (“RPIM”), dan/atau pembiayaan lainnya yang ditetapkan bank.[7]
pemberian Kredit atau Pembiayaan kepada sektor prioritas;
pencapaian RPIM; dan/atau
pembiayaan lainnya yang ditetapkan Bank Indonesia.
Kemudian, ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur.[9]
Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah Warga Negara Asing (“WNA”) yang menikah dengan Warga Negara Indonesia (“WNI”) dapat menjadi debitur di bank di Indonesia, pada dasarnya, menurut Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Namun, menurut hemat kami, setelah pernikahan didaftarkan di Indonesia serta jika tidak terdapat perjanjian pra-nikah, terjadilah persatuan harta, yang disebut harta bersama. Oleh karena itu, kredit yang akan diterima oleh pasangan yang berkewarganegaraan Indonesia tersebut harus dianggap sebagai harta bersama yang juga merupakan hak pasangan yang berkewarganegaraan asing.
Ishak. Upaya Hukum Debitor Terhadap Putusan Pailit. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 65, Vol. 17, 2015;
Sri Redjeki Slamet. Perlindungan Hukum dan Kedudukan Kreditor Separatis dalam Hal Terjadi Kepailitan Terhadap Debitor. Lex Jurnalica, Vol. 13, No. 2, 2016.
[2] Sri Redjeki Slamet. Perlindungan Hukum dan Kedudukan Kreditor Separatis dalam Hal Terjadi Kepailitan Terhadap Debitor. Lex Jurnalica, Vol. 13, No. 2, 2016, hal. 106.
[3] Ishak. Upaya Hukum Debitor Terhadap Putusan Pailit. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 65, Vol. 17, 2015, hal. 190.