Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Prosedur Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur

Share
copy-paste Share Icon
Pertanahan & Properti

Prosedur Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur

Prosedur Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur
Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn.Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn.
Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn.
Bacaan 10 Menit
Prosedur Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur

PERTANYAAN

Yth. Hukum Online, Saya ingin menanyakan prosedur pembelian tanah yang telah bersertifikat maupun yang belum mempunyai sertifikat oleh perusahaan (PT) untuk keperluan pembangunan infrastruktur. Apakah pembelian harus mengatasnamakan perusahaan? Apakah dalam transaksi tersebut tersebut wajib dibuatkan Perjanjian Jual Beli juga? Apakah wajib perusahaan meningkatkan status tanah awal dari pemilik sebelumnya? Terima kasih sebelumnya atas jawaban yang diberikan. Salam,

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

     Untuk menjawab pertanyaan Anda, ada beberapa komponen penting yang harus diperhatikan. Dalam setiap transaksi jual beli tanah, sebelum memutuskan untuk melaksanakan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, yang paling penting diketahui adalah:

     

    1.      Tujuan penggunaan tanah tersebut, termasuk seberapa luas nantinya tanah yang akan dibeli.

    KLINIK TERKAIT

    Syarat Mengubah HGB Rumah Tinggal Menjadi Hak Milik

    Syarat Mengubah HGB Rumah Tinggal Menjadi Hak Milik

     

    Sebab hal ini akan berakibat kepada permohonan perizinan untuk penggunaan tanah dimaksud.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Jika memang peruntukannya untuk pabrik misalnya, dengan luas tanah lebih dari 5.000-m2 sebaiknya memang atas nama perusahaan. Karena nantinya akan diwajibkan untuk mengurus berbagai perizinan yang terkait dengan usaha perusahaan tersebut, seperti: Izin lokasi yang harus dilengkapi pula dengan UKL, UPL, Amdal, dan lain sebagainya, dan juga harus mengajukan permohonan rekomendasi dari pemerintah yang terkait (bupati atau gubernur bergantung dari luas tanah yang diajukan).

     

    Namun, dalam praktik memang terkadang pengadaan tanah yang tidak terlalu luas menggunakan nama-nama perorangan dari pemegang saham atau nama direksi perseroan, dengan alasan: “Sayang apabila tanah yang sudah berstatus Hak Milik harus terpaksa diturunkan haknya atau dilepas ke Negara kemudian diajukan menjadi Hak Guna Bangunan/Hak Guna Usaha.”

     

    Untuk keadaan demikian, yang harus dicermati dan dipertimbangkan oleh perusahaan adalah:

     

    a.      Risiko pembukuan dan perpajakan.

    Dalam pembukuan, tanah tersebut tidak dapat dicatatkan sebagai asset Perseroan, melainkan asset perorangan; dan hal tersebut juga akan membebani pajak dari pemegang saham atau Direksi yang namanya digunakan (“dipinjam”) sebagai pemilik tanah tersebut.

     

    b.      Risiko pemegang saham yang namanya dipakai oleh Perseroan

    meninggal dunia. Apabila hal tersebut terjadi, dalam hal ini adanya kemungkinan apabila pemegang saham tersebut meninggal dunia, maka tanah tersebut masuk dalam boedel waris dari pemegang saham yang bersangkutan. Dalam praktik, memang akan di-back up dengan berbagai surat, tapi biasanya tetap akan merepotkan bagi perusahaan di kemudian hari.

    c.      Risiko perselisihan di antara para pemegang saham, yang mengakibatkan keluarnya pemegang saham yang namanya dipinjam (dalam bahasa awamnya “pecah kongsi”). Hal ini akan berisiko jika yang bersangkutan tidak memiliki iktikad baik terhadap penguasaan tanah tersebut.

     

    Serta berbagai risiko lain yang mungkin saja terjadi. Oleh karena itu, berbagai risiko tersebut juga harus dipertimbangkan masak-masak oleh Perseroan yang akan melakukan pengadaan tanah sebelum memutuskan untuk “meminjam” nama.

     

    2.      Status tanah hak yang akan dibeli.

     

    Dari pertanyaan Anda, peralihan haknya apakah perlu dengan jual beli atau tidak, jawabannya jelas: PERLU.

     

    Karena peralihan hak atas tanah secara teori hanya dapat dilakukan dengan akta van transport (akta peralihan: jual beli, hibah, dll) yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.  Namun, untuk pertanyaan Anda: “Apakah harus ditingkatkan atau tidak?” Ini kembali lagi bergantung pada keperluan perusahaan.

     

    Dalam hal ini, bentuk akta apa yang digunakan untuk melakukan peralihan haknya, bergantung pada:

     

    1.      Status tanah dimaksud dikaitkan dengan status pembeli (apakah nama perorangan ataukah nama PT).

    2.      Dalam hal status tanahnya adalah Hak Guna Bangunan(HGB) atau Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pakai (HP), maka harus diketahui apakah jangka waktu haknya masih ada ataukah sudah berakhir

     

    Dari pertanyaan tersebut, timbul berbagai variasi kemungkinan:

    a.      Jika status tanahnya adalah Hak Milik,

    sedangkan pembelinya:

    a.1. Peorangan

    (dalam hal ini salah satu pemegang saham sebagaimana diuraikan di atas), maka peralihannya cukup dilakukan dengan cara jual beli biasa di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang.

    a.2.  Perseroan, maka pembeliannya dapat dilakukan dengan cara:

     

    a.2.1. penurunan hak menjadi HGB/HGU/HP, yang dilanjutkan dengan jual beli (setelah menjadi HGB/HGU/HP)

     

    a.2.2. pelepasan hak ke Negara dengan menggunakan akta pelepasan hak secara notariil, yang dilanjutkan dengan permohonan hak oleh badan hukum yang bersangkutan. Pelepasan ke Negara tersebut juga dapat dilakukan jika tanah tersebut belum bersertifikat.

     

    b.      jika status tanahnya adalah HGB/HGU/HP

     

    b.1. jangka waktunya masih berlaku: pembelinya baik perorangan
           maupun badan hukum bisa langsung melakukan akta jual beli biasa.

     

    b.2. jangka waktunya sudah berakhir:

    b.2.1. mengajukan permohonan hak kembali atas nama pembeli, setelah haknya timbul, baru dilakukan jual beli biasa.

           b.2.2. dibuatkan akta jual beli bangunan dan pengoperan hak secara
                     notariil, baru diajukan hak baru oleh pembeli.

                   

    Alternatif lain:

    Jika status tanah adalah HGB, jangka waktunya masih berlaku dan pembelinya adalah perorangan, maka anda dapat memilih untuk tetap pada status tanah HGB tersebut (untuk itu cukup dilakukan jual beli dan balik nama), ataukah Anda ingin berstatus Hak Milik (yang dapat dilanjutkan dengan proses peningkatan status tanah tersebut).

     

    Mengenai uraian lengkapnya tentang prosedur dan tata caranya bisa dibaca di buku saya berjudul “Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak dalam Memahami Masalah Hukum Pertanahan (Kaifa, 2010).” Atau Anda bisa menghubungi notaris terdekat sekitar Anda untuk mengetahui lebih jelasnya. Karena tanpa membaca dokumen, tentunya tidak mudah untuk memberikan arahan yang tepat sesuai kebutuhan Anda.

     

    Semoga uraian saya cukup jelas dan bermanfaat.

     

    Salam hangat dan persahabatan.

     

     

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Menghitung Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana

    3 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!