Mengenai istilah moratorium, lembaga apa yang berwenang mengeluarkan moratorium atas ketentuan pasal yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan? Mohon berikan contohnya juga supaya lebih mudah dipahami.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Moratorium merupakan salah satu tindakan dari pemerintah. Oleh karenanya, lembaga yang dapat mengeluarkan moratorium adalah pejabat atau lembaga yang memiliki kewenangan. Apa yang menjadi dasar hukumnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Lembaga yang Berwenang Mengeluarkan Kebijakan Moratorium yang dibuat oleh Kartika Febryanti, S.H., M.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 17 November 2011.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Kewenangan Melakukan Moratorium
Moratorium dalam KBBI dimaknai sebagai penangguhan pembayaran utang agar dapat mencegah krisis keuangan atau dapat pula diartikan sebagai penundaan atau penangguhan. Jika dikaitkan dengan pertanyaan Anda, kami menganggap bahwa moratorium yang Anda maksud adalah tindakan dari pemerintah untuk melakukan penundaan. Sehingga, kami akan menjelaskan terlebih dahulu sumber kewenangan pemerintah dan menghubungkan dengan UU 30/2014 sebagai dasar hukum.
Setiap lembaga yang bertindak sebagai penyelenggara pemerintahan pasti bertindak berdasarkan kewenangan yang didapatkan dari peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan ini secara teori didapatkan pemerintah melalui atribusi, delegasi, dan mandat.[1] Selain itu, pemerintah pun memiliki kewenangan diskresi untuk melakukan tindakan yang tidak terikat dengan peraturan perundang-undangan.[2]
Menurut Dworkin, kewenangan diskresi ada sebagai ruang kebebasan bagi pejabat pemerintahan yang berasal lubang dalam peraturan perundang-undangan.[3] Sadjijono mengutip pendapat Philipus M. Hadjon yang menyatakan bahwa, kebebasan pemerintah dibagi menjadi kebebasan dalam kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid).[4]
Lebih lanjut, terdapat perbedaan antara istilah kewenangan dan wewenang. Prajudi memberikan pengertian bahwa kewenangan merupakan kekuasaan formal atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu.[5] Sedangkan, wewenang merupakan bagian dari kewenangan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik.[6]
Sedangkan berdasarkan Pasal 175 angka 1 Perppu 2/2022 yang mengubah Pasal 1 angka 5 UU 30/2014, wewenang adalah hak yang dimiliki oleh badan dan/atau pejabat pemerintah atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintah.
Kemudian yang dimaksud dengan kewenangan adalah kekuasaan badan dan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.[7]
Berdasarkan kedua definisi tersebut, pemerintah sebagai penyelenggara pemerintahan dapat mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam ranah hukum publik termasuk melakukan moratorium atau penundaan yang berada dalam kewenangannya.
Tindakan moratorium erat kaitannya dengan kebijakan yang hendak dijalankan oleh pemerintah. Secara teori, kebijakan publik merupakan hal yang diusulkan dan arah tindakan yang akan dilakukan oleh pemerintah.[8] Kebijakan pemerintah tidak hanya tindakan yang dituangkan dalam produk hukum. Namun, pada umumnya kebijakan ada pada saat diumumkan ke publik. Oleh karenanya, kebijakan publik memiliki dua bentuk yaitu:
Kebijakan yang terkodifikasi atau dituangkan dalam peraturan.
Kebijakan yang hanya berbentuk pernyataan pejabat publik di depan umum dalam bentuk pidato, lisan, atau pernyataan terhadap media massa.[9]
Dapat pula moratorium merupakan kebijakan yang dilaksanakan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Kebijakan moratorium sebagai tindakan diskresioner pemerintah yang tidak didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan, namun didasarkan pada kebijaksanaan dan penilaian pemerintah terhadap suatu kejadian tertentu. Karena kewenangan mengeluarkan kebijakan tersebut berasal dari diskresi, maka kewenangan melakukan moratorium tidak selalu tertulis secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan.
Guna memberikan gambaran Anda terkait kebijakan moratorium, berikut kami berikan salah satu contohnya. Merujuk bunyi Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal tersebut kemudian menjadi dasar bagi presiden sebagai kepala pemerintahan untuk bertindak berdasarkan diskresi. Presiden dengan kewenangan diskresi melakukan tindakan hukum dengan menerbitkan peraturan kebijakan yakni Inpres 6/2013 pada diktum ketiga angka 7, menyebutkan:
Para Gubernur melakukan penundaan penerbitan rekomendasi dari izin lokasi baru pada kawasan hutan dan lahan gambut serta areal penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru.
Dari instruksi tersebut, presiden memberikan kewenangan secara delegatif kepada gubernur untuk melakukan penundaan/moratorium. Berdasarkan kewenangan delegatif yang diberikan, gubernur dapat mengeluarkan peraturan gubernur untuk melaksanakan instruksi tersebut. Salah satu contoh peraturan yang melaksanakan instruksi tersebut adalah Pergub Kalimantan Timur 1/2018.
Farid Wajdi dan Andryan, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta: Sinar Grafika, 2022;
Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994;
Ridwan HR, Hukum Administrasi Pemerintahan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2018;
Ronald Dworkin, Is Law a System of Rule? In Daniel Kanstrom “Surrounding the Hole in the Doughnut: Discretion and Defence in U.S. Immigration Law, Tulane Law Review71, 1997;
Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. 1, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2008;
[2]Ridwan HR, Hukum Administrasi Pemerintahan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2018,hal. 167
[3]Ronald Dworkin, Is Law a System of Rule? In Daniel Kanstrom “Surrounding the Hole in the Doughnut: Discretion and Defence in U.S. Immigration Law, Tulane Law Review71, 1997, hal. 711
[4] Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. 1, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2008, hal. 53-54
[5] Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hal. 78
[6] Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hal. 78