Jika Pihak dalam Perjanjian Beriktikad Buruk
PERTANYAAN
Mohon penjelasan, apakah setiap perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak itu tetap berkekuatan mengikat, sekalipun salah satu pihak telah melakukan iktikad buruk?
Pro
Pusat Data
Koleksi terlengkap dan terkini berisi peraturan putusan pengadilan preseden serta non-preseden
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab tentang berbagai persoalan hukum, mulai dari hukum pidana hingga perdata, gratis!
Berita
Informasi terkini tentang perkembangan hukum di Tanah Air, yang disajikan oleh jurnalis Hukumonline
Jurnal
Koleksi puluhan ribu artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk berbagai penelitian hukum Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Mohon penjelasan, apakah setiap perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak itu tetap berkekuatan mengikat, sekalipun salah satu pihak telah melakukan iktikad buruk?
Berdasarkan Pasal 1320 BurgerlijkWetboekĀ (BW atau KUH Perdata), ada 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan āpara pihakā untuk membuat perjanjian; (3) āmengenaiā suatu hal tertentu (ada objeknya); dan ada suatu sebab (causa) yang halal.
Ā
Dengan demikian, apabila suatu perjanjian sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian (termasuk telah disepakati oleh para pihak), maka sepanjang syarat lainnya juga terpenuhi (jika ada), perjanjian dimaksud tentu mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (beginzel dercontract vrijheid). Demikian juga perjanjian tersebut mengikat sebagai -dan merupakan- undang-undang (pacta sun servanda) bagi mereka yang membuatnya (vide Pasal 1338 BW).
Ā
Sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian, yang dimaksud dengan sepakat (Prof. Subekti, hal. 17), adalah konsensus untuk seia sekata (consensual) di antara para pihak. Dalam arti, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lainnya. Tidak ada āunsur-unsurā kehilafan (dwaling), tidak karena paksaan (dwang) dan juga bukan karena penipuan (bedrog) dari satu pihak terhadap pihak lainnya secara bertimbal-balik (Pasal 1321 BW).
Ā
Oleh karena itu, suatu perjanjian harus disertai dengan iktikad baik atau goodfaith, (vide Pasal 1338 ayat [3] BW). Apabila salah satu pihak mempunyai niat buruk (istilah Saudara: salah satu pihak telah melakukan iktikad buruk), maka menurut hemat kami, pihak yang bersangkutan telah sejak awal ada niat buruk (untuk melakukan penipuan) terhadap pihak lainnya sehingga tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian. Artinya, perjanjian yang mengandung unsur penipuan yang dilakukan ādan diniatkanā oleh salah satu pihak, atau mungkin ājuga- oleh kedua belah pihak dalam konteks yang sebaliknya, tentu tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Ā
Dengan perkataan lain, bilamana secara umum syarat sepakat tersebut tidak terpenuhi (dengan adanya penipuan), maka perjanjian dimaksud dapat dibatalkan (voidable). Namun, karena syarat yang diabaikan adalah syarat subjektif (yakni unsur āsepakatā), maka apabila salah satu pihak tidak berkenan dengan perjanjian yang mengandung unsur penipuan dimaksud, pihak lainnya dapat membatalkan (voidable). Maksudnya, pihak yang tidak suka dengan perjanjian (yang mengandung unsur penipuan) tersebut, dapat melakukan upaya pembatalan, dan tidak batal dengan sendirinya (null and void).
Ā
Demikian opini kami, mudah-mudahan dapat menambah wawasan Saudara.
Ā
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
Ā Ā
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?