Dalam peraturan disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) yang diatur dalamPP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri (“PP 53/2010”) tidak terdapat larangan bagi PNS untuk memiliki penghasilan melalui usaha sampingan selain dari gaji sebagai PNS.
Larangan bagi PNS diatur dalam Pasal 4 PP 53/2010 yang menyebutkan bahwa:
Setiap PNS dilarang:
1. menyalahgunakan wewenang;
2. menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain; 3. tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional; 4. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing; 5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah; 6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; 7. memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan; 8. menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya; 9. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya; 10.melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani; 11.menghalangi berjalannya tugas kedinasan; 12.memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara: a) ikut serta sebagai pelaksana kampanye; b) menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS; c) sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau d) sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; 13.memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara: a) membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau b) mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; 14.memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan; dan 15.memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara: a) terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; b) menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; c) membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau d) mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. |
Dari ketentuan tersebut di atas, PNS tidak dilarang untuk memiliki usaha/pekerjaan sampingan sepanjang usaha sampingan tersebut bukanlah sebagaimana disebut dalam Pasal 4 ayat (2) s/d ayat (6) PP 53/2010.
Di samping itu, menurut Irma Devita Purnamasari dalam artikel Lagi, Ketentuan Apakah PNS Bisa Menjadi pengusaha? di irmadevita.com, jika PNS ingin menjadi pengusaha, bisa saja, namun tetap harus dengan seizin atasan. Hal ini karena dalam Sistem Administrasi Badan Hukum/SABH (sebagai proses permohonan untuk pengesahan badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM RI) untuk memasukkan nama pemegang saham atau direksi yang pegawai negeri harus memakai surat izin dari atasannya. Lebih lanjut simak artikel Bolehkah PNS Menjadi Direksi/Komisaris PT?
Semakin maraknya PNS yang diketahui memiliki rekening gendut dan terindikasi tindak pidana, memang dapat menimbulkan keraguan di masyarakat akan integritas PNS. Oleh karena itu, di awal tahun 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memerintahkan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk menyusun dua peraturan penting terkait Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diantaranya adalah mengenai sanksi pegawai negeri sipil (PNS) yang memiliki kekayaan tidak wajar. Lebih jauh simak artikel Sanksi Bagi Pemilik Kekayaan Tak Wajar.
Untuk memastikan bahwa dana di rekening gendut PNS bukanlah dari hasil tindak pidana (misal: korupsi), Pasal 5 angka 3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menentukan bahwa seorang PNS sebagai penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat sebagai PNS.
Selain itu diatur pula dalam Pasal 13 huruf a UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“KPK”) dalam upaya pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan dengan cara melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara Negara.
Dengan demikian, memang seorang PNS diharuskan untuk membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (“LHKPN”) kepada KPK yang bertujuan untuk mengetahui asal-usul dari pendapatan yang ia peroleh sebelum, selama dan setelah menjabat sebagai PNS.
Beberapa kementerian memiliki peraturan tersendiri untuk mengatur tata cara pelaporan harta kekayaan ini contohnya diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.04/Men/2007 Tahun 2007 Tentang Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk kementerian kelautan dan perikanan dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun 2011 tentang Perubahan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di Lingkungan Badan Pertanahan.
Jadi, untuk membuktikan bahwa kekayaan yang Anda peroleh dari usaha/pekerjaan sampingan tersebut bukanlah diperoleh dari hasil tindak pidana, Anda harus melaporkan harta kekayaan Anda sebagaimana telah diuraikan di atas dan menyimpan bukti-bukti transaksi yang mendukungnya, termasuk jika ada persetujuan dari atasan.
2. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001;
3. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
4. Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri;
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.04/Men/2007 Tahun 2007 Tentang Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan;
6. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun 2011 tentang Perubahan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di Lingkungan Badan Pertanahan.
Apabila Anda menggunakan Private Browsing dalam Firefox, "Tracking Protection" akan muncul pemberitahuan Adblock. Anda dapat menonaktifkan dengan klik “shield icon” pada address bar Anda.
Terima kasih atas dukungan Anda untuk membantu kami menjadikan hukum untuk semua