Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Haruskah Wali Kota yang Jadi Cawapres Mundur dari Jabatannya?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Haruskah Wali Kota yang Jadi Cawapres Mundur dari Jabatannya?

Haruskah Wali Kota yang Jadi Cawapres Mundur dari Jabatannya?
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Haruskah Wali Kota yang Jadi Cawapres Mundur dari Jabatannya?

PERTANYAAN

Wali Kota Surakarta, Gibran jadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Banyak orang memperbincangkan ini sedari putusan MK cawapres yang memutus soal batas usia capres dan cawapres. Saya ingin menanyakan, apakah kepala daerah yang maju ke Pemilu/Pilkada harus mundur dari jabatannya?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Untuk mempermudah pemahaman Anda, akan kami jabarkan satu per satu persyaratan calon kepala daerah, calon wakil kepala daerah, calon presiden dan calon wakil presiden. Lalu apakah dalam persyaratan tersebut kepala daerah yang tengah menjabat harus mengundurkan diri dari jabatannya jika mencalonkan atau dicalonkan dalam pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Apakah Kepala Daerah yang Ikut Pilkada Harus Mundur dari Jabatannya? yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 28 Agustus 2013, yang pertama kali dimutakhirkan pada Selasa, 22 November 2016.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres, Ini Alasan MK

    Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres, Ini Alasan MK

    Jika Kepala Daerah Mencalonkan Diri dalam Pilkada

    Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda tentang seputar pendaftaran capres cawapres serta kepala daerah yang mengikuti pemilu atau pilkada, berikut kami jabarkan satu per satu persyaratannya.

    Pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota atau yang biasanya disebut pemilihan kepala daerah (“pilkada”) adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota secara langsung dan demokratis.[1]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Untuk dapat menjadi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, yang pasti adalah orang tersebut harus Warga Negara Indonesia. Kemudian, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah tersebut harus memenuhi persyaratan:[2]

    1. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
    2. setia kepada Pancasila, UUD 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
    3. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat;
    4. berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota;
    5. mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim;
    6. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;[3]
    7. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
    8. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian;
    9. menyerahkan daftar kekayaan pribadi;
    10. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
    11. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
    12. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan memiliki laporan pajak pribadi;
    13. belum pernah menjabat sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon wali kota, dan calon wakil wali kota;
    14. belum pernah menjabat sebagai gubernur untuk calon wakil gubernur, atau bupati/wali kota untuk calon wakil bupati/calon wakil wali kota pada daerah yang sama;
    15. berhenti dari jabatannya bagi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon;
    16. tidak berstatus sebagai penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota;
    17. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota dewan perwakilan rakyat, anggota dewan perwakilan daerah, dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan;
    18. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan pegawai negeri sipil serta kepala desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan; dan
    19. berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon.

    Sehingga patut digarisbawahi, bagi calon kepala daerah yang masih menjabat (petahana) sebagai kepala daerah setempat tidaklah harus mengundurkan diri dari jabatannya itu. Namun, apabila ia mencalonkan diri di daerah lain, maka ia harus berhenti dari jabatannya sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak ditetapkan sebagai calon.

    Sebagai tambahan informasi, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, pejabat negara lainnya, serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye.[4]

    Sedangkan bagi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan:[5]

    1. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan
    2. dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.

    Jika Kepala Daerah Dicalonkan Jadi Capres Cawapres dalam Pemilu

    Pendaftaran capres cawapres untuk pemilu 2024 pada saat artikel ini diterbitkan kini tengah berlangsung. Berikut ini sejumlah persyaratan menjadi calon presiden (“capres”) dan calon wakil presiden (“cawapres”) adalah:[6]

    1. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
    2. WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri;
    3. suami atau istri calon presiden dan suami atau istri calon wakil presiden adalah WNI;
    4. tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya;
    5. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden serta bebas dari penyalahgunaan narkotika;
    6. bertempat tinggal di wilayah NKRI;
    7. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara;
    8. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
    9. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
    10. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
    11. tidak sedang dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD;
    12. terdaftar sebagai pemilih;
    13. memiliki NPWP dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama lima tahun terakhir yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi;
    14. belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
    15. setia kepada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
    16. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
    17. berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah;[7]
    18. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat;
    19. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan
    20. memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia.

    Menyambung pertanyaan Anda mengenai apakah kepala daerah yang dicalonkan menjadi capres cawapres harus mengundurkan diri dari jabatannya? Hal ini telah diatur secara tegas dalam Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu.

    Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu atau gabungan partai politik sebagai capres atau cawapres harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, menteri dan pejabat setingkat menteri, dan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.[8]

    Seseorang yang sedang menjabat sebagai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota yang akan dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebagai capres atau cawapres harus meminta izin kepada presiden. Jika dalam waktu 15 hari setelah menerima surat permintaan izin, presiden belum memberikan izinnya, izin dianggap sudah diberikan.[9]

    Selain itu, surat permintaan izin tersebut disampaikan kepada KPU oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai dokumen persyaratan capres atau cawapres.[10] Adapun permintaan izin ini dalam rangka untuk menegakkan etika penyelenggaraan pemerintahan.[11]

    Kemudian kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan:[12]

    1. tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara; dan
    2. menjalani cuti di luar tanggungan negara.

    Perihal cuti dan jadwal cuti tersebut di atas dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.[13]

    Dengan demikian, dalam kasus yang Anda tanyakan, Wali Kota Surakarta yaitu Gibran yang diusung menjadi cawapres tidak perlu mengundurkan diri dari jabatan Wali Kota Surakarta.

    Sebagai tambahan informasi, baru saja diterbitkan putusan MK yang berkaitan dengan persoalan penentuan berapa batas usia capres dan cawapres. Adapun putusan MK cawapres dan capres ini telah kami ulas tersendiri dalam Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres, Ini Alasan MK.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diubah ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang;
    2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023.

    Putusan:

    1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019;
    2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.

    [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

    [2] Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (“UU 10/2016”)

    [3]Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019

    [4] Pasal 70 ayat (2) UU 10/2016

    [5] Pasal 70 ayat (3) UU 10/2016

    [6] Pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”)

    [7]Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023

    [8] Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu

    [9] Pasal 171 ayat (1), (2), dan (3) UU Pemilu

    [10] Pasal 171 ayat (4) UU Pemilu

    [11] Penjelasan Pasal 171 ayat (1) UU Pemilu

    [12] Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu

    [13] Pasal 281 ayat (2) UU Pemilu

     

    Tags

    kepala daerah
    pilkada

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Pasal Penipuan Online untuk Menjerat Pelaku

    27 Des 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!