Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Honorarium Advokat dari Pelaku Pencucian Uang

Share
copy-paste Share Icon
Profesi Hukum

Honorarium Advokat dari Pelaku Pencucian Uang

Honorarium Advokat dari Pelaku Pencucian Uang
Ilman Hadi, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Honorarium Advokat dari Pelaku Pencucian Uang

PERTANYAAN

Di dalam hubungan antara advokat dengan Kliennya itu ada hubungannya masalah dengan pemberian Honorarium klien kepada seorang Advokat. Yang ingin saya tanyakan : 1. Apakah advokat dapat dijadikan subjek pidana karena menerima legal fee/honorarium dari tersangka tindak pidana pencucian uang ? 2. Apa yg menjadi kriteria honorarium (legal fee) bagi advokat yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang? 3. Apakah terdapat konflik UU dalam pengaturan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU No.18 Tahun 2003 tentang advokat dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang? Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas jawaban permasalahan yang saya dapatkan ini.

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    1.  Menerima honorarium merupakan hak dari advokat dalam menjalankan profesinya sebagai penasihat hukum, sebagaimana tersebut dalam Pasal 21 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”). Masih dalam UU Advokat, disebutkan pula dalam Pasal 16 UU Advokat bahwa:

     

    “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.”

     

    Terkait dengan yang Saudara tanyakan bisa kita lihat pada kasus Wa Ode terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) Tahun Anggaran 2011.

    KLINIK TERKAIT

    Konsultasi Hukum oleh Mahasiswa, Memang Boleh?

    Konsultasi Hukum oleh Mahasiswa, Memang Boleh?
     

    Mengutip pemberitaan Hukumonline dalam artikel DK Peradi Minta Pengacara Wa Ode Jelaskan Aliran Dana, dua pengacara Wa Ode Nurhayati, Arbab Paproeka dan Wa Ode Nur Zainab disebut menerima aliran dana ratusan juta rupiah.

     

    Terkait aliran dana itu, Ketua Dewan Kehormatan PERADI Leonard Simorangkir beranggapan bahwa advokat yang menerima uang atau transfer dari kliennya tidak dapat dianggap melakukan TPPU, asalkan sebagai pembayaran fee atau biaya advokat.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Dalam hal ini menurut Leonard, pembayaran fee tentu dilakukan dalam jumlah yang wajar dan transparan. Dalam hal jumlah pembayaran sangat besar dan fantastis, advokat patut mempertanyakan, walaupun tidak ada ketentuan yang mengatur besaran fee advokat. Selain itu, advokat harus menjelaskan aliran dana itu.


    Namun, jika ternyata transfer uang itu adalah fee advokat yang dikirimkan dalam jumlah yang wajar dan transparan, uang tersebut harus dianggap berasal dari sumber yang halal. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 16 UU Advokat bahwa jika advokat menjalankan profesinya dengan iktikad baik, tidak dapat dituntut baik pidana maupun perdata.

     

    Selain itu, berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UU Advokat, Advokat tidak dapat diidentikan dengan kliennya oleh pihak berwenang atau masyarakat.


    Namun, pendapat yang berseberangan disampaikan oleh pengamat hukum pidana, Gandjar L Bondan. Menurut Gandjar, Pasal 5 UU UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
    (“UUTPPU”) melarang setiap orang menerima atau menguasai penempatan, berdasarkan hubungan transaksi apapun harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil tindak pidana.


    Dengan demikian, Ganjar berpendapat jasa pengacara termasuk sebagai salah satu bentuk “menerima” atau “menguasai”. Bila kliennya adalah pengusaha dan berpotensi memiliki kekayaan yang besar, seorang advokat dapat menafsirkan uang jasa pengacaranya berasal dari pendapatan sang klien. Tapi bila kliennya adalah seorang pegawai negeri, dia patut menduga harta kliennya berasal dari tindak pidana.‎​Bila dia tetap berkeinginan membela sang klien, mestinya dia menerima pembayaran dalam jumlah yang wajar berdasarkan kepatutan besarnya kekayaan si pegawai negeri.

     

    Jadi, selama advokat itu menjalankan profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan kliennya dan menerima pembayaran fee dalam jumlah yang wajar, dia tidak dapat dituntut atas honorarium yang memang menjadi haknya dan tidak dapat diidentikan sama dengan perilaku atau tindak pidana yang dipersangkakan pada kliennya.

     

    2.    Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, perlu kami jabarkan terlebih dahulu yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang berdasarkan Pasal 3, 4, dan 5 UU TPPU:

     

    Pasal 3

    Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)  dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan.

     
    Pasal 4
     

    Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).

     
    Pasal 5
     

    (1)  Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    (2)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

     
     

    Sedangkan yang dimaksud hasil tindak pidana dalam pasal-pasal tersebut di atas adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana berikut (Pasal 2 ayat [1] UU TPPU):

    a.    korupsi;

    b.    penyuapan;

    c.    narkotika;

    d.    psikotropika;

    e.    penyelundupan tenaga kerja;

    f.     penyelundupan migran;

    g.    di bidang perbankan;

    h.    di bidang pasar modal;

    i.      di bidang perasuransian;

    j.     kepabeanan;

    k.    cukai;

    l.      perdagangan orang;

    m. perdagangan senjata gelap;

    n.    terorisme;

    o.    penculikan;

    p.    pencurian;

    q.    penggelapan;

    r.     penipuan;

    s.    pemalsuan uang;

    t.     perjudian;

    u.    prostitusi;

    v.    di bidang perpajakan;

    w.   di bidang kehutanan;

    x.    di bidang lingkungan hidup;

    y.    di bidang kelautan dan perikanan; atau

    z.    tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebihyang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

     

    Jika dilihat dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, memang advokat sebagai pihak yang menerima honorarium dari kliennya, dapat dipersangkakan dengan Pasal 5 ayat (1) UUTPPU. Tapi, untuk dapat mengkategorikan honorarium advokat sebagai uang hasil tindak pidana harus dipenuhi unsur “patut diduganya” sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUTTPU bahwa:

     

    “Yang dimaksud dengan "patut diduganya" adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya Transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.”

     

    Dengan demikian, jika advokat sudah menduga atau mengetahui sumber honorariumnya adalah memang berasal dari hasil tindak pidana barulah advokat tersebut dapat ditindak karena selain melanggar UUTPPU, juga bertentangan dengan Pasal 3 Kode Etik Advokat.

     

    Namun, merujuk pada uraian kami sebelumnya (nomor 1), bila advokat menerima pembayaran yang wajar sebagai imbalan jasa yang dilakukannya dengan iktikad baik, Advokat tidak dapat diidentikan dengan kliennya meskipun kliennya adalah terdakwa pencucian uang.

     

    3.    Menjawab apakah ada konflik antara Pasal 21 ayat (1) UU Advokat dengan Pasal 5 ayat (1) UU TPPU, berdasarkan pejelasan yang telah disebutkan sebelumnya, dalam penerapan dua pasal tersebut, tidak seharusnya ada konflik di dalamnya. Karena Honorarium advokat merupakan hak advokat atas jasa hukum yang diberikannya, sedangkan Pasal 5 ayat (1) UU TPPU merupakan ketentuan agar setiap orang (dalam hal ini advokat) berhati-hati dalam menerima uang (dalam hal ini Honorarium) dari kliennya ketika diduga uang pembayaran fee advokat berasal dari tindak pidana pencucian uang.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     
    Dasar hukum:
     

    1.    Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

    2.    Undang-Undang Nomor  8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Catat! Ini 3 Aspek Hukum untuk Mendirikan Startup

    9 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!