Saat ini di cluster perumahan tempat saya tinggal diterapkan ‘sistem parkir’ (Boom Gate) seperti di area publik mall atau gedung perkantoran, sebagai penghuni diwajibkan mendapatkan ‘smart card’ sebagai kartu akses dengan mendepositokan sejumlah uang. Apakah saya masih mempunyai hak untuk menolak ‘smart card’ ini? Tanpa ‘smart card’ penghuni akan diperlakukan sama seperti tamu pada saat memasuki cluster diwajibkan untuk menyerahkan identitas seperti KTP untuk kemudian diberikan ‘karcis parkir’. Apakah saya masih mempunyai hak untuk menolak menyerahkan identitas mengingat saya adalah penghuni dan sifatnya bukan berkunjung ke suatu tempat, pada kenyataannya ada saja kemungkinan saya membutuhkan identitas tersebut untuk suatu urusan saat berada di rumah. Jika menyerahkan identitas pada malam hari lalu keluar pagi hari, terjadi pergantian shift petugas, bagaimana kalau sampai terjadi identitas tersebut hilang. Tanpa menunjukkan ‘smart card’ atau ‘karcis parkir’ saat hendak keluar cluster, saya tidak diperbolehkan untuk keluar oleh petugas tanpa adanya toleransi, pada kenyataannya kadang-kadang ‘smart card’ atau ‘karcis parkir’ tersebut tertinggal ataupun terselip dan pada saat itu saya ada keperluan lain di luar dalam keadaan mendadak tidak mempunyai kesempatan untuk mencari. Dikarenakan hal ini saya menjadi lebih takut untuk tidak membawa ataupun kehilangan ‘smart card’ atau ‘karcis parkir’ dibandingkan KTP, SIM atau identitas lain. Sebagai seorang penghuni yang membayar iuran keamanan dan lingkungan setiap bulannya saya merasa tidak diperlakukan baik sebagaimana layaknya seorang penghuni dengan aturan-aturan yang dibuat tanpa mengindahkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Sekiranya hak apa yang saya miliki untuk saya perjuangkan di sini? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Sehubungan dengan permasalahan Anda, maka menurut kami Anda harus terlebih dahulu mengerti dasar pengaturan terhadap pemberlakuan sistem parkir dengan smart card tersebut. Untuk hal tersebut, Anda dapat memeriksa tata tertib perumahan maupun Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) antara Anda dan developer (pengembang perumahan, ed.). Pada kebiasaannya, pengaturan mengenai sistem perparkiran diatur dalam tata tertib perumahan. Adapun pemberlakuan tata tertib tersebut merujuk pada kesepakatan antara Anda dan developer di dalam PPJB, yakni pembeli akan tunduk pada tata tertib perumahan, sebagaimana yang terlampir di dalam PPJB. Apabila terdapat pengaturan tersebut dan telah disetujui oleh Anda, maka tentunya secara keperdataan, Anda harus tunduk kepada pengaturan sistem perparkiran tersebut. Pemberlakuan tata tertib tersebut merujuk pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Namun, pelaku usaha, dalam hal ini pengembang atau pengelola juga dibatasi oleh peraturan perundang-undangan, khususnya yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”), sebagai berikut:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen di atas, maka dapat disimpulkan bahwa si pelaku usaha, dalam hal ini developer, tidak boleh mencantumkan klausula yang menyatakan bahwa pembeli akan tunduk kepada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh developer. Lebih lanjut, apabila terbukti pengembang (developer) mencantumkan klausula baku dalam PPJB maupun tata tertib yang melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf g UU Perlindungan Konsumen, maka pengembang (developer) tersebut dapat dikenakan sanksi pidana yang diatur pada Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen dengan pidana penjara paling lama 5 (lima tahun) atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar Rupiah). Selain itu, klausula baku yang ditetapkan pada dokumen atau perjanjian sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen dinyatakan batal demi hukum, berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen.
Demikian jawaban dan penjelasan kami atas pertanyaan Anda. Atas perhatian dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000