Bolehkah Tidak Menafkahi Mantan Istri Pasca Bercerai?
PERTANYAAN
Apakah suami berhak tidak menafkahi istri setelah perceraian, karena yang berkemauan perceraian dari pihak istri? Terima kasih
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Apakah suami berhak tidak menafkahi istri setelah perceraian, karena yang berkemauan perceraian dari pihak istri? Terima kasih
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Jadi, kewajiban mantan suami menafkahi mantan istri itu ditentukan oleh pengadilan. Hal ini bergantung pada pertimbangan hakim. Jadi, jika perceraian merupakan kehendak istri, bisa saja hakim tidak mewajibkan mantan suami untuk menafkahi mantan istrinya itu. Dapat pula hakim menghukum mantan suami untuk menafkahi mantan istrinya meskipun perceraian itu merupakan kehendak mantan istrinya. Tapi jika hakim telah memutuskan mantan suami berkewajiban menafkahi mantan istrinya pasca bercerai namun ia menolaknya, maka ini termasuk pembangkangan atas putusan pengadilan dan ada langkah hukum yang dapat dilakukan oleh mantan istrinya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Kewajiban Mantan Suami Menafkahi Mantan Istrinya Pasca Perceraian
Kewajiban mantan suami pasca memberi nafkah pasca perceraian merupakan salah satu akibat perceraian yang pengaturannya dapat kita lihat dalam Pasal 41 c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa kewajiban mantan suami menafkahi mantan istri itu ditentukan oleh pengadilan. Hal ini bergantung pertimbangan hakim. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, jika pengadilan tidak mewajibkan mantan suami untuk menafkahi mantan istrinya, maka mantan suami itu tidak menafkahi mantan istrinya.
Lebih khusus lagi, dalam Islam diatur bahwa bila perkawinan putus karena talak (karena kehendak suami), maka bekas suami wajib memberi nafkah dan kiswah (pakaian) kepada bekas istri selama dalam iddah. Kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in (talak yang tidak bisa rujuk sebelum istri menikah dengan orang lain terlebih dulu) atau nusyuz (istri durhaka kepada suami) dan dalam keadaan tidak hamil.[1]
Ini artinya, secara a contrario, jika memang perceraian karena kehendak istri, hakim dapat saja memutus untuk tidak mewajibkan suami memberi nafkah kepada bekas istrinya. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Agama Lamongan Nomor 1110/Pdt.G/2012/PA.Lmg. Penggugat (istri) menggugat cerai suaminya selaku Tergugat karena alasan kurangnya nafkah yang diberikan suami kepada istrinya. Tergugat kurang mampu memberi nafkah belanja Penggugat, Tergugat bekerja namun Penggugat tidak pernah merasakan hasil kerja Tergugat. Keadaan ini menimbulkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang tidak dapat didamaikan lagi antara keduanya. Hakim dalam putusannya tidak menghukum tergugat untuk menafkahi penggugat. Hakim akhirnya mengabulkan gugatan Pengugat dan menjatuhkan talak satu ba'in sughro Tergugat terhadap Penggugat.
Sementara, ada pula putusan pengadilan yang menghukum mantan suami untuk memberikan nafkah kepada mantan istrinya pasca bercerai meskipun perceraian itu merupakan kehendak istrinya, seperti sebagaimana yang dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Agama Samarinda12/Pdt.G/2012/PTA. Smd. Penggugat (istri) menggugat cerai suaminya selaku Tergugat. Tergugat selama lebih 2 (dua) tahun ini tidak memberi nafkah kepada Penggugat, Tergugat sering melontarkan kata-kata kotor kepada Penggugat padahal ia seorang guru, dan Tergugat apabila bertengkar dengan Penggugat sering mengancam Penggugat dengan senjata tajam. Hakim akhirnya menghukum Tergugat untuk memberikan nafkah/biaya pemeliharaan dan pendidikan kepada ketiga orang anaknya.
Hakim juga menghukum Tergugat untuk membayar nafkah selama masa iddah kepada Penggugat sebesar Rp. 30 juta dan membayar mut’ah kepada Penggugat sebesar Rp. 50 juta rupiah. Putusan ini dikuatkan di tingkat banding.
Jika Menolak Putusan Pengadilan untuk Menafkahi Mantan Istri
Namun, apabila pengadilan telah mewajibkan mantan suami untuk menafkahi mantan istrinya namun ia menolaknya, maka hal itu merupakan bentuk pembangkangan atas putusan pengadilan. Terkait hal ini, Pasal 196 HIR menyebutkan bahwa:
“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.”
Jadi, apabila mantan suami tidak mau menjalankan putusan Pengadilan Agama, maka langkah yang dapat dilakukan adalah mantan istri mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Agama tersebut agar Ketua Pengadilan memanggil dan memperingatkan mantan suami agar memenuhi isi putusan tersebut dan bukan dengan somasi. Karena berdasarkan Pasal 195 HIR, pelaksanaan putusan di pengadilan tingkat pertama adalah atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan yang dalam prakteknya dijalankan oleh panitera.
Sebagai referensi, Anda dapat juga membaca artikel-artikel berikut:
¾ Masalah Pemberian Nafkah Selama Proses Perceraian
¾ Langkah Hukum Jika Mantan Suami Menolak Menafkahi Mantan Istri
¾ Kejarlah Nafkah Sampai ke Pengadilan
Putusan:
[1] Pasal 149 huruf b Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?