KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hak Korban KDRT Atas Perlindungan dari LPSK

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Hak Korban KDRT Atas Perlindungan dari LPSK

Hak Korban KDRT Atas Perlindungan dari LPSK
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hak Korban KDRT Atas Perlindungan dari LPSK

PERTANYAAN

Bagaimanakah sinkronisasi bentuk perlindungan hukum terhadap korban KDRT dengan perlindungan saksi dan korban?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Maharani Siti Shopia, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 26 Maret 2013.

     

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Bisakah Pasangan Abusive Dilaporkan atas Dasar KDRT?

    Bisakah Pasangan <i>Abusive</i> Dilaporkan atas Dasar KDRT?

     

     

    Setiap saksi dan korban dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, berhak memperoleh hak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 dalam UU 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dan tentunya juga berhak mendapat perlindungan dari LPSK, terutama saksi dan korban kekerasan dalam rumah tangga yang menghadapi situasi yang sangat mengancam jiwanya.

     

    Dalam praktiknya, penanganan korban KDRT menjadi salah satu program kerja LPSK. 

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Ketentuan Perlindungan Saksi dan Korban

    Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.[1]

     

    Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 31/2014”) menyebutkan hak-hak seorang saksi dan korban, yaitu:

    a.    memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

    b.    ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

    c.    memberikan keterangan tanpa tekanan;

    d.    mendapat penerjemah;

    e.    bebas dari pertanyaan yang menjerat;

    f.     mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

    g.    mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

    h.    mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

    i.      dirahasiakan identitasnya;

    j.     mendapat identitas baru;

    k.    mendapat tempat kediaman sementara;

    l.      mendapat tempat kediaman baru;

    m.  memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

    n.    mendapat nasihat hukum;

    o.    memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau

    p.    mendapat pendampingan.

     

    Hak sebagaimana tersebut di atas diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”).[2]

     

    Selain mendapatkan hak-hak di atas, korban pelanggaran hak asasi manusia (“HAM”) yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, juga berhak mendapatkan:[3]

    a.    bantuan medis; dan

    b.    bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.

    Bantuan-bantuan ini diberikan berdasarkan Keputusan LPSK.[4]

     

    Bagi korban pelanggaran HAM yang berat dan korban tindak pidana terorisme juga berhak atas kompensasi.[5] Kompensasi ini diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya kepada Pengadilan HAM melalui LPSK. Pelaksanaan pembayaran kompensasi diberikan oleh LPSK berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[6]

     

    Perlindungan Saksi dan Korban Terkait Kekerasan Dalam Rumah Tangga

    Seperti diketahui, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“KDRT”) telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ketentuan undang-undang tersebut telah mengatur sejumlah delik pidana yang dapat terjadi dalam tindakan KDRT.

     

    Dengan demikian, sinkronisasi dalam hal ini adalah terkait, setiap saksi dan korban dalam tindak pidana KDRT, berhak memperoleh hak sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 dalam UU 31/2014, dan tentunya berhak mendapat perlindungan dari LPSK, terutama saksi dan korban kekerasan dalam rumah tangga yang menghadapi situasi yang sangat mengancam jiwanya.

     

    Koordinator ECPAT Indonesia (sebuah jaringan global yang bekerja untuk menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak) Ahmad Sofyan mengatakan banyak kasus melibatkan anak yang ditangani LPSK, mulai dari KDRT, penganiayaan, prostitusi, dan tindak pidana perdagangan orang. Demikian informasi yang disampaikan dalam artikel LPSK: Political Will Pemerintah Lindungi Anak Sudah Optimal.

     

    Dalam Laporan Pelaksanaan Rapat Koordinasi Pemangku Kepentingan Pemenuhan Hak-Hak Korban Kejahatan Dengan Tema “Membangun Sinergitas Dalam Layanan Pemenuhan Hak-Hak Korban Kejahatan” yang kami akses dari laman LPSK disebutkan bahwa salah satu rekomendasi dari rapat koordinasi ini adalah dalam hal penanganan korban KDRT, yakni LPSK harus lebih serius melindungi korban KDRT dimana pelakunya adalah pejabat/aparat.

     

    Gubernur Kaltim H Awang Faroek Ishak dalam artikel Gubernur Dukung Kehadiran LPSK di Kaltim yang kami akses dari laman Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mengatakan antara lain bahwa keberadaan LSPK di Kaltim, dapat membantu program-program Pemprov Kaltim yang pro rakyat, bukan saja menangani masalah narkoba, tentu masalah lainnya seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), maupun penjualan manusia (trafficking).

     

    Masih bersumber dari laman yang sama, Kepala LPSK Pusat Abdul Haris Semendawai memaparkan program-program LSPK untuk memberikan perlindungan terhadap saksi maupun korban, baik itu korban KDRT, korban pemerkosaan, penganiayayan anak, maupun korban penjualan manusia.

     

    Dasar hukum:

    1.    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

    2.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

     

    Referensi:

    1.    LPSK, diakses pada 13 April 2016 pukul 13.48 WIB

    2.    Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, diakses pada 13 April 2016 puku; 13.53 WIB.

     



    [1] Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban (“UU 13/2006”)

    [2] Pasal 5 ayat (2) UU 31/2014

    [3] Pasal 6 ayat (1) UU 31/2014

    [4] Pasal 6 ayat (2) UU 31/2014

    [5] Pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 5 dan Pasal 6 UU 31/2014

    [6] Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU 31/2014

    Tags

    perlindungan saksi dan korban
    lpsk

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    19 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!