Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Merekam Video Telanjang dan Dikirim ke Pacar, Dapatkah Dipidana?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Merekam Video Telanjang dan Dikirim ke Pacar, Dapatkah Dipidana?

Merekam Video Telanjang dan Dikirim ke Pacar, Dapatkah Dipidana?
Muhammad Arief, S.H.Indonesia Cyber Law Community (ICLC)
Indonesia Cyber Law Community (ICLC)
Bacaan 10 Menit
Merekam Video Telanjang dan Dikirim ke Pacar, Dapatkah Dipidana?

PERTANYAAN

Wanita bernama A berpacaran dengan pria bernama B. Wanita A di bawah umur, dengan selang 4 tahun dari pria. A merekam diri telanjang dan mengirimkan ke B. Setelah berpacaran 2 tahun lebih, mereka putus karena hal sepele. Ibu si A ingin menuntut B atas pelecehan anak di bawah umur. Siapakah yang dikenakan sanksi? Apakah si A terkena sanksi membuat video porno, dan ibu si A yang menuduh B tanpa bukti? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Sayangnya, Anda tidak menjelaskan lebih detail berapa usia A yang menurut Anda merupakan “anak di bawah umur”.

    KLINIK TERKAIT

    Ragam Ketentuan Usia Dewasa di Indonesia

    Ragam Ketentuan Usia Dewasa di Indonesia
     

    Sebelum kami membahas lebih jauh tentang pertanyaan Anda, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tentang siapa yang dimaksud dengan “Anak”. Ada beberapa pengertian tentang “Anak” dalam hukum positif di Indonesia. Dengan pendekatan atas kasus pidana yang Anda tanyakan, kami akan menjelaskan beberapa definisi tentang “Anak” berdasarkan peraturan perundang-undangan.

     

    Seseorang dikatakan sebagai “Anak” dalam hukum pidana adalah anak yang belum berusia 18 (delapan belas tahun). Hal tersebut sebagaimana diatur didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”).

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     
    Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak menyebutkan :

    Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

     

    Pasal 1 angka 1 dan angka 2 UU Pengadilan Anak menyebutkan bahwa:

    1.    Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.

    2.    Anak Nakal adalah:

    a.    Anak yang melakukan tindak pidana; atau

    b.    Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang – undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

     

    Terkait dengan proses peradilan bagi seorang “Anak”, Pasal 4 UU Pengadilan Anak menyebutkan bahwa:

    1.    Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang – kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.

    2.    Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur 8 tahun sampai 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur tersebut tetapi belum mencapai 21 tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.

     

    Berdasarkan deskripsi tersebut, kami akan menjawab pertanyaan Anda dengan asumsi bahwa wanita bernama A dalam pertanyaan Anda sebagai “Anak” sebagaimana ketentuan perundangan.

     

    Tindakan A merekam diri telanjang apakah dapat dikenakan sanksi?

    Pada prinsipnya, tiap-tiap orang dilarang untuk membuat atau menyediakan informasi yang mengandung muatan pornografi. Di dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”) disebutkan bahwa:

     

    ”Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

    a.    persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;

    b.    kekerasan seksual;

    c.    masturbasi atau onani;

    d.    ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

    e.    alat kelamin; atau

    f.     pornografi anak.”

     

    Pengertian “membuat” sebagaimana dimaksud di dalam pasal atas adalah membuat dengan tujuan untuk menyebarluaskan hasil buatannya tersebut kepada pihak lain, bukan untuk digunakan atau dikonsumsi untuk kepentingan sendiri si pembuat. Ketentuan ini bisa dilihat di dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi yang berbunyi:

     

    Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.”

     

    Oleh karena itu, perbuatan seseorang membuat atau mendokumentasikan informasi yang mengandung muatan kecabulan atau eksploitasi seksual seperti merekam aktivitas pribadi dengan telanjang sepanjang dokumentasi tersebut disimpan dan digunakan untuk kepentingan sendiri bukan sebuah tindak pidana.

     

    Meskipun demikian, ada baiknya kita mencermati bahwa sampai saat ini adalah masih banyak perdebatan tentang batasan apakah yang dimaksud “kepentingan sendiri” dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi dapat diartikan sebagai “kepentingan pribadi” yang dapat digunakan sesuai kehendak pemilik “rekaman pribadi” termasuk mengirimkannya kepada individu terbatas yang dikehendaki, ataukah “kepentingan sendiri” yang dimaksud adalah hanya digunakan untuk kepentingan perseorangan pemilik “rekaman pribadi” semata.

     

    Terkait pertanyaan Anda, apakah wanita bernama A dapat dikenakan sanksi akibat membuat video porno, tentu hal itu tergantung apakah wanita bernama A itu dapat membuktikan atau tidak bahwa “rekaman pribadi” tersebut memang hanya digunakan untuk kepentingan sendiri. Jika hal tersebut dapat dibuktikan maka dipastikan wanita bernama A terlepas dari jeratan pasal “membuat pornografi”.

     

    Namun, yang patut menjadi perhatian adalah terkait perbuatan wanita bernama A yang mengirimkan fail “rekaman pribadi”-nya kepada pria bernama B. Tindakan wanita yang bernama A mengirimkan fail “rekaman pribadi” kepada pihak-pihak lain (bukan untuk kepentingan sendiri semata) dapatdijeratsebagai perbuatan “menyebarluaskan” pornografi sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Atas pidana tersebut diancam dengan penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Ketentuan pidana ini diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi yang berbunyi:

     

    Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”

     

    Disamping itu, terkait pengiriman fail “rekaman pribadi”, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) juga melarang setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang mengandung muatan yang melanggar kesusilaan.

     

    Bunyi Pasal 27 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:

    Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”

     

    Perbuatan yang disebutkan di dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Demikian sebagaimana diatur di dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE.

     

    Dengan menggunakan pendekatan hukum Pasal 27 ayat (1) UU ITE, perbuatan wanita yang bernama A mengirim “rekaman pribadi” kepada pria bernama B masuk dalam kriteria “mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya” Informasi Elektronik yang mengandung muatan yang melanggar kesusilaan.

     

    Dari alasan-alasan hukum tersebut, apa yang telah dilakukan oleh wanita bernama A dapat dikenakan sanksi pidana (dengan asumsi bahwa pengiriman “rekaman pribadi” tersebut dilakukan atas inisiatif A dan tidak ada bentuk paksaan, bujukan atau dorongan dari B). Jika misalkan dapat dibuktikan bahwa terdapat unsur paksaan dari B, maka wanita bernama A dapat dibebaskan dari tuduhan “mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya“ Informasi Elektronik yang mengandung muatan yang melanggar kesusilaan karena adanya unsur paksaan dari pihak lain. Hal ini seseuai dengan Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan bahwa:

    Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”

     

    Jika unsur paksaan tidak terpenuhi atau tidak dapat dibuktikan, maka wanita bernama A tetap dapat dikenakan pidana. Meski demikian, karena wanita yang bernama A ini masih di bawah umur (“Anak”) perlakuannya akan berbeda dengan orang dewasa. Karena undang-undang memberikan perlindungan kepada anak-anak yang melakukan tindak pidana.

     

    Adapun beberapa bentuk perlindungan undang-undang terhadap anak yang menghadapi permasalahan di dalam hukum sebagai mana di atur di dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU Perlindungan Anak yakni:

    1.    Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

    2.    Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

    3.    Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

     

    Apakah pria bernama B yang menerima “rekaman pribadi” A dapat dikenakan sanksi?

    Menurut pendapat kami, fail “rekaman pribadi” wanita A yang diterima oleh pria bernama B selama dapat dibuktikan tidak ditemukannya unsur paksaan atau pidana lain yang dilakukan oleh pria B terhadap wanita A dalam “pembuatan” maupun “pengiriman” fail “rekaman pribadi” tersebut dan tidak disebarkan kepada pihak lain maka ia tidak melanggar hukum. Jika fail “rekaman pribadi” tersebut disebarkan, maka pria bernama B dapat dikenakan Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. jika ditemukan unsur paksaan, pria B juga dapat dijerat Pasal 55 ayat (1) KUHP jo Pasal 27 ayat (1) UU ITE dan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi terkait perbuatan “menyuruh lakukan sebuah tindak pidana”.

     
     

    Tuduhan tanpa bukti?

    Tidak mudah memang menemukan bukti adanya sebuah tindak pidana dalam kasus pembuatan dan pengiriman fail “rekaman pribadi”. Hal tersebut dikarenakan sifat sebuah dokumen/informasi elektronik yang sangat mudah disembunyikan, dihilangkan atau di-delete sehingga tidak tampak lagi secara kasat mata. Dibutuhkan uji digital forensik untuk mengetahui apakah fail tersebut memang ada atau pernah ada dalam sebuah perangkat elektronik.

     

    Terkait tuduhan ibu dari wanita yang bernama A yang tanpa bukti, jika benar demikian, ibu dari wanita yang bernama A dapat dikenakan tuduhan “pencemaran nama baik” oleh B sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, yang berbunyi.

     

    “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

     

    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

     
    Catatan editor:

    -      Di dalam Pasal 106 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) dinyatakan bahwa UU Pengadilan Anak dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada saat mulai berlakunya UU tersebut. Namun, di dalam Pasal 108 UU SPPA dinyatakan bahwa UU tersebut baru berlaku 2 tahun setelah 2 tahun sejak tanggal diundangkan atau 2 tahun sejak 30 Juli 2012 (sekitar Agustus 2014).

    -      Mengenai batas usia anak untuk dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya, MK berdasarkan Putusan MK No. 1/PUU-VIII/2010 Tahun 2010 menaikkan batas minimal usia anak yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana dari 8 tahun menjadi 12 Tahun.

     

    Dasar Hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    2.    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

    3.    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

    4.    Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

    5.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

     

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Balik Nama Sertifikat Tanah karena Jual Beli

    24 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!