Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Perhitungan Masa Kerja Pekerja Outsourcing (Alih Daya)

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Perhitungan Masa Kerja Pekerja Outsourcing (Alih Daya)

Perhitungan Masa Kerja Pekerja Outsourcing (Alih Daya)
Umar KasimINDOLaw
INDOLaw
Bacaan 10 Menit
Perhitungan Masa Kerja Pekerja Outsourcing (Alih Daya)

PERTANYAAN

Dear Tim Rubrik Hukum Online, Saya hendak bertanya, apakah pekerja offsourcing yang tidak pernah putus kontrak (selalu diperpanjang) dan kemudian langsung diangkat menjadi pegawai tetap dapat menghitung masa kerja offsourcing-nya sebagai masa bakti ke perusahaan? Karena saya sudah bekerja sebagai pekerja offsourcing selama 2,5 tahun dan kemudian lanjut menjadi pekerja tetap selama 2 tahun, apakah masa kerja saya dianggap lebih dari 3 tahun dan berhak uang atas uang penghargaan saat saya mengundurkan diri karena keinginan saya sendiri? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

     Sebelum menjawab inti permasalahan Saudara, pada bagian awal saya perlu meluruskan dan menjelaskan sedikit, bahwa dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13/2003”) sebenarnya tidak dikenal istilah “outsourcing“ (yang Saudara sebut dengan kata “offsourcing”).

     

    Dalam Pasal 64 UU No. 13/2003, praktik “outsourcing” seperti maksud Saudara, secara resmi (dalam undang-undang) disebut dengan istilah “penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan (suatu perusahaan/user) kepada perusahaan lain (service provider/vendor)” yang dapat dilakukan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan, atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh (vide Pasal 64 dan Pasal 65 ayat [1] serta Pasal 66 ayat [1] UU No. 13/2003 jo Pasal 3 dan Pasal 17 Permenakertrans No. 19 Tahun 2012).

     

    Walaupun demikian, sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat (khususnya para stakeholder dari kalangan “buruh”) menggunakan istilah “outsourcing” untuk menyebut penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain seperti dimaksud dalam Pasal 64 UU No. 13/2003. Dan sekarang lebih dipopulerkan dengan istilah “alih daya tenaga kerja” atau “perusahaan alih daya” (Kompas, 17 Nopember 2012 hal. 1).

    KLINIK TERKAIT

    Ini Cara Menghitung Masa Kerja untuk Hitung THR dan Bonus

    Ini Cara Menghitung Masa Kerja untuk Hitung THR dan Bonus
     

    Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas, dalam peraturan perundang-undangan, ada 2 macam jenis perusahaan alih daya (“perusahaan outsourcing”), yakni:

    -      perusahaan penerima pemborongan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 2 Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 dan diatur dalam Pasal 65 UU No. 13/2003 serta Bab II (Pasal 3 s/d Pasal 16) Permenakertrans No. 19 Tahun 2012; dan

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    -      perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tersebut dalam Pasal 1 angka 3 Permenakertrans. No. 19 Tahun 2012 dan diatur dalam Pasal 66 UU No. 13/2003 serta Bab III (Pasal 17 s/d Pasal 32) Permenakertrans. No. 19 Tahun 2012.

     

    Berkenaan dengan permasalahan Saudara, dapat kami jelaskan sebagai berikut:

    1.   Berdasarkan Pasal 65 ayat (7) jo Pasal 59 ayat (1) UU No. 13/2003, hubungan kerja antara pekerja (buruh) dengan perusahaan lain (dalam hal ini perusahaan penerima pemborongan), dapat didasarkan PKWTT (perjanjian kerja waktu tidak tertentu), atau -dapat juga didasarkan- PKWT (perjanjian kerja waktu tertentu) apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 59 UU No. 13/2003.

     

    Artinya, bahwa hubungan kerja antara seseorang pekerja dengan perusahaan “outsourcingpenerima pemborongan pada prinsipnya didasarkan/diperjanjikan melalui PKWTT (istilah Saudara: “pekerja tetap” atau permanen). Namun, jika memenuhi syarat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, dapat didasarkan (diperjanjikan) melalui PKWT (yang Saudara sebut dengan istilah “kontrak”).

     

    Sebaliknya, berdasarkan Pasal 66 ayat (2) huruf b jo Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 13/2003, hubungan kerja antara pekerja (buruh) dengan perusahaan alih daya (dalam hal perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh), adalah PKWT yang (sepanjang) memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 UU No. 13/2003, dan/atau PKWTT yang dibuat (diperjanjikan) secara tertulis dan ditanda-tangani para pihak.

     

    Maksudnya, bahwa dalam konteks perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh, hubungan kerja antara seseorang pekerja dengan perusahaan “outsourcingpenyedia jasa pekerja/buruh, dapat diperjanjikan melalui PKWT (sebagai pekerja kontrak) sepanjang memenuhi syarat pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Sebaliknya, kalau tidak memenuhi syarat tersebut, seharusnya diperjanjikan melalui PKWTT.

     

    Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dengan demikian, apabila Saudara bekerja pada perusahaan alih daya (baik perusahaan penerima pemborongan maupun perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh) dan dipekerjakan pada pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, maka sah-sah saja Saudara direkrut (di-hire) sebagai pekerja kontrak (melalui PKWT). Akan tetapi, apabila Saudara bekerja pada perusahaan alih daya (perusahaan penerima pemborongan maupun perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh) dan dipekerjakan pada pekerjaan yang bersifat tetap (sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat [2] UU No. 13/2003), maka seharusnya sejak awal Saudara direkrut (di-hire) sebagai pekerja tetap (melalui PKWTT).

     

    Sayangnya, Saudara tidak menjelaskan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan perusahaan Saudara, apakah pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (temporer), atau pekerjaan yang bersifat tetap (berkelanjutan).

     

    2.   Terkait dengan perhitungan masa bakti, jika Saudara dipekerjakan pada pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (temporer), maka perhitungan masa kerja Saudara baru mulai dihitung sejak diangkat menjadi “pegawai tetap” (vide Pasal 15 ayat [2] dan ayat [3] Kepmenakertrans No. Kep-100/Men/VI/2004). Dengan demikian, masa kerja Saudara adalah baru 2 (dua) tahun (yakni sejak pegawai tetap atau PKWTT tersebut).

     

    Namun, jika Saudara dipekerjakan pada pekerjaan yang memang bersifat tetap (berkelanjutan), maka perhitungan masa kerja Saudara dihitung sejak (awal) diangkat menjadi “pekerja kontrak” (vide Pasal 15 ayat [5] Kepmenakertrans No. Kep-100/Men/VI/2004). Dalam hal ini, masa kerja Saudara adalah 4,5 tahun (atau empat tahun dan enam bulan), komulatif sejak PKWT (kontrak) selama 2,5 tahun (maksudnya, dua tahun dan enam bulan) ditambah saat PKWTT (permanen) 2 (dua) tahun.

     

    3.   Berdasarkan Pasal 162 ayat (1) UU No. 13/2003, bahwa bagi pekerja yang (di-PHK dengan alasan) mengundurkan diri atas kemauan sendiri, haknya adalah (hanya) uang penggantian hak (UPH) sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003, yang meliputi:

    a)     cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

    b)     biaya/ongkos pulang ke tempat di mana pekerja diterima;

    c)     penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15% dari uang pesangon (UP) dan uang penghargaan masa kerja (UPMK) jika memenuhi syarat;

    d)     hal-hal lain yang (telah) diperjanjikan.

    Di samping itu, berdasarkan Pasal 162 ayat (2) UU No. 13/2003, bahwa bagi pekerja yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung (non management committe), selain menerima uang penggantian hak, (juga) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

     

    Dengan demikian, berapapun lamanya masa bakti Saudara (walaupun selalu diperpanjang dan kemudian diangkat menjadi pegawai tetap) apabila Saudara mengundurkan diri atas kemauan sendiri, maka Saudara  tidak berhak atas uang penghargaan (maksudnya “uang penghargaan masa kerja” sebagaimana dimaksud Pasal 156 ayat [3] UU No. 13/2003). Demikian juga, Saudara tidak berhak atas uang pesangon (sebagaimana dimaksud Pasal 156 ayat [2] UU No. 13/2003). Akan tetapi, hanya berhak uang penggantian hak dan uang pisah (jika Saudara dikatagorikan non-management commitee).

     

    Terkait dengan itu, apabila uang pisah di perusahaan alih daya –di mana Saudara bekerja- didasarkan pada masa bakti, maka ketentuan (masa kerja) tersebut di atas dapat menjadi dasar penentu besaran uang pisah yang akan Saudara peroleh.

     

    Demikian penjelasan dan opini kami, semoga dapat dipahami.

     
    Dasar Hukum:

    1.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

    2.      Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu;

    3.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi. Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain

     

    Tags

    outsourcing

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perhatikan Ini Sebelum Tanda Tangan Kontrak Kerja

    20 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!