KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Curiga Anak Mirip Mantan Pacar Istri, Bisakah Menuntut?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Curiga Anak Mirip Mantan Pacar Istri, Bisakah Menuntut?

Curiga Anak Mirip Mantan Pacar Istri, Bisakah Menuntut?
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Curiga Anak Mirip Mantan Pacar Istri, Bisakah Menuntut?

PERTANYAAN

Saya mencintai seorang wanita (C) yang waktu itu sedang punya pacar (A) yang sudah beristri. Lalu karena usaha saya, saya mampu mengambil hati C sehingga dia bersedia berpacaran dengan saya. Kemudian kami merencanakan menikah, tetapi terjadi hubungan badan pranikah antara saya dan C. Pernikahan kami dipercepat karena C hamil. Setelah berjalan satu tahun, C jujur pernah berhubungan badan dengan A sebelum kami menikah, setelah pernah berhubungan badan dengan saya. Setelah saya amati anak kami, sepertinya anak ini adalah keturunan dari A.

Pertanyaannya, apakah saya bisa menuntut A atau C? Upaya hukum apa yang bisa saya lakukan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Penggunaan tes Deoxyribonucleic Acid (”DNA”) dalam kasus hukum di Indonesia bukan hal baru. Salah satunya, melalui pembuktian dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti dengan cara tes DNA, dapat diketahui siapa yang merupakan orang tua kandung dari seorang anak.

    Lantas, apa dasar hukumnya? Kemudian, apa upaya hukum yang bisa dilakukan suami jika anak merupakan akibat dari perzinaan istri dengan orang lain?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. pada Selasa, 19 Februari 2013.

    KLINIK TERKAIT

    Jika Suami Tidak Memenuhi Nafkah Istri setelah Bercerai

    Jika Suami Tidak Memenuhi Nafkah Istri setelah Bercerai

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Dasar Hukum Tes DNA di Indonesia

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami, untuk mengetahui dengan pasti apakah Anda adalah ayah biologis dari anak tersebut atau bukan, tidak cukup hanya dengan mengamati ciri-ciri fisik atau sifat-sifat anak tersebut. Anda perlu membuktikan siapa ayah biologis dari anak tersebut menggunakan bantuan teknologi seperti tes Deoxyribonucleic Acid (”DNA”). Disarikan dari artikel Ini Beberapa Kasus yang Dipecahkan dengan Tes DNA, tes DNA untuk menentukan siapa orangtua dari seorang anak sudah sering digunakan. Dalam artikel tersebut, ahli DNA Forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Djaja S. Atmadja menjelaskan bahwa penggunaan tes DNA dalam kasus hukum di Indonesia bukan hal baru. Djaja S. Atmadja memberikan beberapa contoh kasus yang telah berhasil diselesaikan dengan bantuan tes DNA, antara lain:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
    1. Kasus seorang anak berusia 13 tahun di Purwokerto yang hamil dan melahirkan.

    Anak tersebut mengalami kelainan mental dan tidak bisa dimintai keterangan di persidangan karena ia adalah anak di bawah umur. Si anak hanya mengatakan “main kuda-kudaan dengan kakek”. Sementara, si kakek yang disebut sudah pikun, sehingga tidak bisa dimintai keterangan juga. Pada akhirnya, pengadilan meminta untuk dilakukan tes DNA. Lalu, terbukti bahwa anak itu adalah anak si kakek. Hal ini merupakan kasus incest antara kakek dan cucunya.

    1. Kasus seorang gadis berusia 12 tahun ditemukan hamil delapan bulan.

    Berdasarkan pengakuan si gadis, dia diperkosa oleh tetangganya yang berusia 20 tahun. Karena si gadis masih anak-anak, maka sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, keterangannya tidak bisa dipertimbangkan di pengadilan. Kemudian, menurut pemeriksaan DNA dari tersangka, janin itu adalah benar anak tersangka. DNA ini awalnya satu-satunya bukti. Namun, hukum Indonesia membutuhkan minimal dua alat bukti di persidangan. Akhirnya, tersangka mengakui perbuatannya, sehingga terdapat dua alat bukti berupa hasil tes DNA dan pengakuan tersangka.

    1. Kasus perselingkungan, dimana seorang wanita yang hamil tiba-tiba menggugurkan kandungannya. Suami wanita ini curiga dengan sikap istrinya yang mengaborsi janin tanpa persetujuannya. Setelah tes DNA dilakukan, hasilnya janin bayi itu bukan anak dari suami sahnya.

    Lebih lanjut, Putusan MK 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan juga mengatur mengenai pembuktian hubungan anak dengan orang tuanya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan harus dibaca sebagai berikut:

    Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

    Berdasarkan putusan MK tersebut, melalui pembuktian dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti dengan cara tes DNA, dapat diketahui siapa yang merupakan ayah kandung dari anak Anda tersebut.

    Kemudian penting untuk diketahui, menurut Achmad S. Soemadipradja dalam buku berjudul Pokok-pokok Hukum Acara Pidana Indonesia, pembuktian melalui tes DNA dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang keotentikannya tergolong cukup akurat, sehingga tidak perlu lagi diragukan. Walau demikian, tes DNA tidak bisa menjadi satu-satunya bukti yang dipakai. Alat bukti pengakuan dan kesaksian tetap diperlukan di persidangan sebagai langkah awal untuk mengetahui ada tidaknya tindak pidana. Sehingga, posisi tes DNA hanya sebagai alat bukti penguat atau alat bukti sekunder, bukan alat bukti primer.[1]

    Sebagai informasi, dalam hukum positif Indonesia, tes DNA adalah bagian dari Visum et Repertum (“VeR”), yang dalam undang-undang masuk dalam kategori alat bukti surat.[2] Hasil pemeriksaan DNA juga tergolong sebagai keterangan ahli yang diberikan oleh seseorang karena memiliki keahlian khusus untuk mengungkap identitas korban dan pelaku tindak pidana. Maka dari itu, hasil pemeriksaan DNA tidak dapat berdiri sendiri sebagai bukti surat, tetapi harus diikuti dengan pemberian keterangan ahli di depan persidangan.[3]

    Upaya Hukum

    Menjawab pertanyaan Anda mengenai upaya hukum apa yang bisa dilakukan, berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU Perkawinan, sebagai seorang suami, Anda dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istri Anda, bilamana Anda dapat membuktikan bahwa istri Anda telah berzina dan anak tersebut adalah akibat dari perzinaan. Kemudian, yang memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan adalah pengadilan.[4]

    Sedangkan, dalam hal Anda dan istri Anda beragama Islam, berlaku ketentuan Pasal 102 KHI sebagai berikut:

    1. Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
    2. Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.

    Tindak Pidana Penipuan

    Kemudian mengenai penuntutan, apabila yang Anda maksud adalah penuntutan pidana, pada dasarnya tidak ada ketentuan dalam hukum pidana yang mengatur hal tersebut. Namun, jika Anda ingin menuntut berdasarkan tindak pidana penipuan, kami akan menjelaskan pasal dalam KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[5] yaitu tahun 2026. Unsur-unsur tindak pidana penipuanpun harus dipenuhi.

    KUHPUU 1/2023

    Pasal 378

    Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

     

    Pasal 492

    Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

    Berdasarkan Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023, kategori V adalah Rp500 juta.

    Lebih lanjut, R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.261) menerangkan sejumlah unsur-unsur tindak pidana penipuan, yaitu:

    1. membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;
    2. maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
    3. membujuknya itu dengan memakai:
      1. nama palsu atau keadaan palsu;
      2. karangan perkataan bohong.
      3. akal cerdik (tipu muslihat);

    Serupa dengan unsur-unsur dalam KUHP lama, unsur-unsur tindak pidana penipuan apabila dilihat menurut Pasal 492 UU 1/2023 adalah:

    1. menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang;
    2. maksud menggerakkan orang itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum;
    3. menggerakkannya dengan cara:
    1. memakai nama palsu atau kedudukan palsu,
    2. menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong

    Baca juga: Jika Orang yang Direkomendasikan Terlibat Pasal Penipuan

    Contoh Kasus :

    Sebagai contoh, Anda dapat lihat dalam Putusan PA Wonosobo 969/PDT.G/2020/PA.WSB. Pada kasus ini, penggugat melakukan penyangkalan terhadap keabsahan seorang anak laki-laki yang dilahirkan oleh tergugat (mantan istri) di Taiwan, pada tanggal 15 Desember 2015. Tergugat melahirkan anak di Taiwan ketika bekerja di Negara Taiwan, sementara antara penggugat dan tergugat tidak melakukan hubungan suami dan istri. Berdasarkan hasil identifikasi melalui DNA, anak tersebut bukanlah anak yang didapatkan dari hasil pembuahan antara penggugat dan tergugat.

    Penggugat mengajukan gugatan pengingkaran anak ke Pengadilan Agama pada tanggal 17 Juni 2020. Sebelumnya, antara penggugat dan tergugat menikah pada tanggal 31 Mei 2004 dan bercerai pada 27 Juli 2016. Sedangkan anak yang diingkari penggugat lahir pada tanggal 15 Desember 2015. Maka, dapat diartikan bahwa anak yang diingkari penggugat lahir pada saat penggugat dan tergugat masih terikat dalam perkawinan sah atau belum bercerai.

    Jika dikaitkan dengan KHI, Majelis Hakim berpendapat bahwa jangka waktu pengingkaran anak sudah terlampau jauh, yakni sekitar 4 tahun, sementara penggugat sudah mengetahui dan mengingkari sejak lahirnya anak tersebut pada 15 Desember 2015 yang lalu. Ditinjau dari Pasal 102 ayat (2) KHI, gugatan pengingkaran anak yang diajukan penggugat tidak dapat diterima karena diajukan sesudah lampau waktu.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan  Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor   1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
    3. Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

    Putusan:

    1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;
    2. Putusan Pengadilan Agama Wonosobo Nomor 969/PDT.G/2020/PA.WSB.

    Referensi:

    1. Adi Rais Patanra (et.al). Pembuktian Perkara Pidana Berdasarkan Hasil Tes DNA (Deoxyribo Nucleis Acid). Jurnal Halu Oleo Legal Research, Vol. 2, No. 3, 2020;
    2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991;
    3. Tommy Masoara. Kajian Hukum Tes DNA (Deoxyribo Nucleis Acid) Sebagai Alat Bukti Petunjuk dalam Persidangan Perkara Pidana. Jurnal Lex Crimen, Vol. V, No. 4, 2016.

    [1] Tommy Masoara. Kajian Hukum Tes DNA (Deoxyribo Nucleis Acid) Sebagai Alat Bukti Petunjuk dalam Persidangan Perkara Pidana. Jurnal Lex Crimen, Vol. V, No. 4, 2016, hal. 143.

    [2] Tommy Masoara. Kajian Hukum Tes DNA (Deoxyribo Nucleis Acid) Sebagai Alat Bukti Petunjuk dalam Persidangan Perkara Pidana. Jurnal Lex Crimen, Vol. V, No. 4, 2016, hal. 143.

    [3] Adi Rais Patanra (et.al). Pembuktian Perkara Pidana Berdasarkan Hasil Tes DNA (Deoxyribo Nucleis Acid). Jurnal Halu Oleo Legal Research, Vol. 2, No. 3, 2020, hal. 219.

    [4] Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [5] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    Tags

    penipuan
    perkawinan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Catat! Ini 3 Aspek Hukum untuk Mendirikan Startup

    9 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!