Terkait perubahan komposisi saham (mayoritas dan minoritas) dalam PT, jika sebelumnya si A menjadi dewan komisaris dengan saham minoritas, apakah jika dia menjadi pemilik saham mayoritas maka dia menjadi dewan direksi? Apakah si A berhak mendapatkan pesangon jika masa tugasnya sebagai dewan direksi dan merangkap Direktur PT tersebut berakhir? Mohon bantuan penjelasannya, terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Sebelum menjawab pertanyaan yang diberikan, perlu diinformasikan bahwa dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas (“UU 40/2007”) tidak mengenal istilah Dewan Direksi. Dalam UU 40/2007 hanya mengenal istilah Direksi. Direksi dapat terdiri dari beberapa orang Direktur atau bisa juga hanya terdiri dari 1 (satu) orang.
Berdasarkan UU 40/2007, pengangkatan Direksi dan Dewan Komisaris dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”). Klasifikasi mengenai ketentuan bagi seseorang yang menjabat sebagai Direksi diatur dalam Pasal 93 UU 40/2007 yaitu:
“Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseroan yang cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan sebelum pengangkatan pernah:
a.Dinyatakan pailit;
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
b.Menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau
c.Pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.”
Ketentuan tersebut juga berlaku bagi pemilihan Dewan Komisaris yang diatur pada Pasal 110 UU 40/2007. Berdasarkan ketentuan tersebut, tidak ada kewajiban bagi setiap Pemegang Saham suatu Perseroan untuk menduduki jabatan-jabatan Dewan Komisaris atau Direksi.
Pergantian Pemegang Saham pada sebuah perseroan seringkali membuahkan hasil terjadinya perubahan manajemen sebuah perseroan. Hal ini disebabkan tugas dan wewenang yang diberikan menurut UU 40/2007 berbeda antara Dewan Komisaris dengan Direksi.
Menurut UU 40/2007, tugas dan wewenang Direksi adalah melakukan kepengurusan perusahaan sesuai dengan tujuan perusahaan (day to day business), sedangkan tugas dan wewenang Komisaris adalah melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan jalannya pengurusan Perseroan baik usaha Perseroan pada umumnya, dan memberi nasihat kepada Direksi.
Didasari dari ketentuan tersebut di atas, Pemegang Saham Mayoritas biasanya menginginkan untuk terjun langsung, atau setidaknya menempatkan orang kepercayaannya, dalam menjalankan Perusahaan, dan jabatan Direksi yang dapat memenuhi keinginan tersebut sebagaimana yang diberikan oleh Undang-Undang. Maka, melalui mekanisme RUPS kemudian ditentukan susunan Direksi.
Sedangkan terkait pemberhentian Direksi, pengaturan mengenai pemberhentian tersebut harus mengikuti UU 40/2007 dan Anggaran Dasar dari Perseroan tersebut. Berbeda dengan karyawan, terkait pemutusan hubungan kerjanya wajib mengikuti UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) yang memiliki pesangon dan penghargaan kerja.
Hal ini ditegaskan pada Pasal 1 ayat (5) UU 13/20 yang memberikan penjelasan tentang pengertian Pengusaha, yaitu sebagai berikut:
a.orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Sedangkan, berdasarkan UU 40/2007 yang menjalankan Perusahaan adalah Direksi. Sebagaimana penjelasan di atas, Direksi bertugas untuk melakukan kepengurusan perusahaan. Adapun terkait Hubungan Kerja yang diatur pada UU 13/2003 adalah hubungan antara Pengusaha dengan karyawan.
Oleh karena itu, berdasarkan pengertian di atas, Direksi tidak memiliki kesamaan pengaturan dengan pengaturan karyawan. Hal ini dikarenakan tugas dan wewenang seorang Direksi yang bertindak sebagai Pengusaha, sehingga dirinya disamakan dengan Perusahaan. Sehingga Direksi dalam pengaturan pengupahannya tidak dapat disamakan dengan karyawan yang mengacu kepada UU 13/2003.
Berdasarkan UU 40/2007 tidak ada pengaturan khusus mengenai kewajiban memberikan pesangon terhadap Direksi yang diberhentikan dari jabatannya, hal itu biasanya menjadi pengaturan intern pada sebuah perusahaan yang diatur dalam anggaran dasar sebuah perseroan atau diberikan berdasarkan persetujuan RUPS.
Oleh karena itu, tidak ada kewajiban bagi Perusahaan untuk memberikan pesangon terhadap Direksi sebagaimana pesangon yang wajib diberikan perusahaan terhadap karyawan.
Karyawan yang diangkat menjadi Direksi
Adapun isu lain yang perlu digarisbawahi, yaitu seringkali seorang anggota Direksi diangkat dari karyawan teladan yang memiliki prestasi baik. Namun, seringkali terlupakan bahwa karyawan tersebut sebelum menjadi Direksi terikat akan perjanjian kerja dengan perusahaan. Di sinilah seringkali terjadi permasalahan, yaitu pada saat tidak dilakukannya pengakhiran perjanjian kerja antara perusahaan dengan karyawan tersebut, sebelum diangkat menjadi Direksi perusahaan. Hal ini mengakibatkan tidak pernah adanya pengakhiran hubungan kerja terlebih dahulu terhadap mantan karyawannya tersebut.
Sehingga pada saat pemberhentian Direksi dengan skema di atas, maka statusnya kembali menjadi karyawan dan masa kerjanya sebagai karyawan tetap berlanjut. Apabila hendak diberhentikan dari status karyawannya, maka harus mengikuti prosedur dalam UU No. 13/2013. Untuk menghindari komplikasi permasalahan hukum, dapat dibuat kesepakatan antara perusahaan dengan karyawan yang juga mantan direksi tersebut, mengenai kompensasi sehubungan dengan pengakhiran hubungan kerja.