Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Asas Legalitas, Kebebasan Hakim Menafsirkan Hukum, dan Kaidah Yurisprudensi

Share
copy-paste Share Icon
Ilmu Hukum

Asas Legalitas, Kebebasan Hakim Menafsirkan Hukum, dan Kaidah Yurisprudensi

Asas Legalitas, Kebebasan Hakim Menafsirkan Hukum, dan Kaidah Yurisprudensi
M. Naufal Fileindi, S.H.Mitra Klinik Hukum
Mitra Klinik Hukum
Bacaan 10 Menit
Asas Legalitas, Kebebasan Hakim Menafsirkan Hukum, dan Kaidah Yurisprudensi

PERTANYAAN

Assalamualaikum. Saya mau tanya. Katanya hukum tidak boleh berlaku surut, dan jika tidak ada UU maka Yurisprudensi bisa dilakukan. Terus bagaimana dengan Asas Legalitas? Berarti orang bisa dong kena hukuman walaupun tidak ada UU-nya, yaitu lewat Yurisprudensi?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Wa’alaikumsalam.
     

    Terima kasih atas pertanyaan Saudara.

     

    Seseorang dapat dihukum meskipun tidak ada peraturan yang mengatur larangan perbuatan yang dilakukan orang tersebut. Namun, kemungkinan tersebut bukan karena yurisprudensi. Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan di bawah ini.

    KLINIK TERKAIT

    Apakah Undang-Undang Harus Memuat Sanksi?

    Apakah Undang-Undang Harus Memuat Sanksi?
     

    Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu:

    1)    tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang,

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    2)    Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan

    3)    Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-undang.

     

    Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat dianggap sebagai kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan.

     

    Sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sistem hukum Anglo-Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum (judge made law). Sistem hukum di Indonesia menganut aliran rechtsvinding yang menegaskan hakim harus mendasarkan putusannya kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (“AB”) yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang. Namun demikian, hakim tetap memiliki kebebasan untuk menafsirkan dan berpendapat. Hakim memiliki keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid) dalam melaksanakan tugasnya mengadili suatu perkara.

     

    Pada beberapa kesempatan, hakim akan dihadapkan kepada keadaan harus mengadili suatu perkara yang tidak memiliki dasar hukum atau pengaturan hukumnya tidak jelas. Dalam keadaan ini, hakim tidak dapat menolak untuk mengadili perkara tersebut dengan dalih tidak ada hukum yang mengatur.

     

    Hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi:

    Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

     

    Juga dengan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi:

    Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

     

    Selain dua ketentuan tersebut, Pasal 22 AB juga menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili.

     

    Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa hakim harus mendasarkan putusannya dalam mengadili kepada peraturan perundang-undangan dan bebas untuk menafsirkan dan menginterpretasikan hukum tersebut. Meskipun demikian, dalam hal perkara yang diadili tidak ada atau tidak jelas dasar hukumnya, hakim pun tetap wajib untuk mengadili perkara tersebut. Sehingga pada prinsipnya, asas legalitas harus dijadikan pedoman awal bagi hakim untuk mengadili kasus yang sedang mereka tangani.

     

    Dalam hal putusan tersebut sudah berlangsung sekian lama dan diputus oleh pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung), maka putusan tersebut dapat menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formal selain undang-undang, kebiasaan, dan traktat.

     

    Menurut S.J. Fockema Andreae dalam Rechtsgeleerd Handwoordenboek, yurisprudensi dapat berarti ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan.

     

    Dalam Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (Ahmad Kamil dan M. Fauzan, hal. 10), Prof. Subekti memberikan pengertian yurisprudensi sebagai:

    Putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat dikatakan ada hukum yang dicipta melalui yurisprudensi.”

     

    Ahmad Kamil dan M. Fauzan (hal. 11) juga menyatakan bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah mengeluarkan syarat-syarat suatu putusan dapat dianggap sebagai yurisprudensi, antara lain:

    1.    Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya;

    2.    Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;

    3.    Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama;

    4.    Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan;

    5.    Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

     

    Hakim di Indonesia tidak terikat untuk melaksanakan yurisprudensi. Yurisprudensi hanya dianggap sebagai pedoman atau arahan untuk memutus suatu perkara. Apabila terdapat pertentangan antara hukum yang ada dengan yurisprudensi, yang berlaku adalah hukum. Untuk memahami lebih jelas mengenai pengertian yurisprudensi dan perbedaan sifat mengikatnya dengan preseden silakan baca Perbedaan Sifat Mengikat antara Preseden dengan Yurisprudensi.

     

    Dengan demikian, harus dicermati bahwa kebolehan hakim untuk menghukum seseorang tanpa adanya dasar hukum bukan karena yurisprudensi, melainkan karena hal tersebut adalah prinsip dari kekuasaan kehakiman untuk mencari keadilan.

     

    Semoga penjelasan ini dapat menjawab pertanyaan Saudara.

     

    Salam.

     

    Dasar hukum:

    1.    Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Staatblad 1847 No. 23);

    2.    Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

     

    Tags

    asas legalitas

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Menghitung Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana

    3 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!