KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Keabsahan Perjanjian yang Dibuat di Bawah Ancaman

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Keabsahan Perjanjian yang Dibuat di Bawah Ancaman

Keabsahan Perjanjian yang Dibuat di Bawah Ancaman
Letezia Tobing, S.H., M.Kn.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Keabsahan Perjanjian yang Dibuat di Bawah Ancaman

PERTANYAAN

A mengancam B akan membuka rahasia perselingkuhannya kepada istrinya, jika tidak menandatangani surat jual beli rumah dengan si A. 1. Apakah perjanjian perjanjian tersebut dianggap sah? 2. Apa akibat hukum yang dilaksanakannya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Untuk mengetahui apakah perjanjian itu sah atau tidak, pertama-tama kita harus melihat terlebih dahulu apa saja syarat sahnya suatu perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian dapat kita lihat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), yaitu:

    1.    Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

    KLINIK TERKAIT

    Pasal untuk Menjerat Pelaku Pengancaman Pembunuhan

     Pasal untuk Menjerat Pelaku Pengancaman Pembunuhan

    2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

    3.    Suatu hal tertentu;

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    4.    Suatu sebab yang halal.

     

    Syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan jika syarat objektif yang tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

     

    Sehubungan dengan penandatanganan surat jual beli rumah yang dilakukan karena ancaman, hal tersebut berkaitan dengan syarat pertama yaitu sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.

     

    Dalam Pasal 1321 KUHPer dikatakan bahwa tiada sepakat yang sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Mengenai apa yang dimaksud dengan paksaan itu sendiri, dapat dilihat dalam Pasal 1324 dan Pasal 1325 KUHPer. Paksaan telah terjadi jika perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Paksaan juga mengakibatkan batalnya suatu perjanjian jika paksaan itu dilakukan terhadap suami atau istri atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah.

     

    Mengenai paksaan ini, Prof. Subekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 135), mengatakan bahwa paksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka rahasianya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang memang diizinkan oleh undang-undang, misalnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan.

     

    Pendapat serupa juga dikatakan oleh Elly Erawati dan Herlien Budiono dalam bukunya yang berjudul Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian (hal. 56). Tentang paksaan dalam KUHPerdata adalah paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut hukum sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak secara bebas. Ancaman itu menimbulkan ketakutan sedemikian rupa sehingga meskipun kehendak orang yang diancam itu betul telah dinyatakan, kehendak tersebut menjadi cacat hukum karena terjadi akibat adanya ancaman. Tanpa adanya ancaman, kehendak itu tidak akan pernah terwujud. Apa yang diancamkan berupa kerugian pada orang atau kebendaan milik orang tersebut atau kerugian terhadap pihak ketiga atau kebendaan milik pihak ketiga.

     

    Mengenai ancaman dibuka rahasia perselingkuhannya, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai paksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1324 KUHPerdata. Ini karena dalam hal pemberian persetujuan atas jual beli tersebut, si B berada dalam keadaan yang tidak bebas. Hal ini disebut dengan “misbruik van omstandigheden” (penyalahgunaan keadaan).

     

    Hal ini sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung atas Perkara Nomor 2356K/Pdt/2010. Dalam putusan ini, dijelaskan bahwa Penggugat membuat perjanjian jual beli dalam keadaan Penggugat ditahan oleh polisi karena laporan dari Tergugat I dan Tergugat II. Keadaan tersebut digunakan untuk menekan Penggugat agar mau membuat atau menyetujui perjanjian jual beli tersebut. Hal ini adalah merupakan “misbruik van omstandigheden” yang dapat mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUHPer yaitu tidak ada kehendak yang bebas dari pihak Penggugat.

     

    Putusan Mahkamah Agung ini merupakan penerapan dari Pasal 1323 KUHPer yang mengatur bahwa “Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.Mahkamah Agung menyatakan bahwa kondisi di mana salah satu pihak berada dalam tekanan/intimidasi dari pihak lain, dalam hal ini penahanan oleh pihak kepolisian atas laporan pihak lain tersebut, membuat perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan karena tidak ada kehendak bebas (dalam membuat kesepakatan).

     

    Pendapat Mahkamah Agung tersebut sejalan dengan Pasal 1324 KUHPerdata yang mengatur bahwa: “Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.” Adanya kehendak bebas dalam membuat kesepakatan merupakan syarat sahnya suatu perjanjian.

     

    Ini berarti perjanjian jual beli yang dilakukan antara si A dan si B dapat dimintakan pembatalannya oleh si B sebagai pihak yang dirugikan karena tidak terpenuhinya syarat subjektif dari syarat sah perjanjian, yaitu adanya sepakat para pihak.

     

    Hal ini juga pernah dijelaskan oleh Flora Dianti, S.H., M.H. dalam artikel yang berjudul Dapatkah Rentenir Dipidana? Bahwa penyalahgunaan keadaan dapat terjadi, bila seseorang menggerakaan hati orang lain melakukan suatu perbuatan hukum dengan menyalahgunakan keadaan yang sedang dihadap orang tersebut (Prof. DR. Gr. Van der Burght, Buku Tentang Perikatan, 1999: 68).

     

    Sebagai referensi Anda dapat membaca artikel-artikel berikut:

    -      Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum dan

    -      Batalnya suatu perjanjian.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     
    Dasar Hukum:

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

     
    Referensi:

    1.    Subekti. 2005. Pokok-Pokok Hukum Perdata. PT Intermasa.

    2.    Erawati, Elly dan Herlien Budiono. 2010. Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian. Nasional Legal Reform Program.

     
    Putusan:

    Putusan Mahkamah Agung atas Perkara Nomor 2356K/Pdt/2010

    Tags

    ancaman

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Hibah Saham

    11 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!