KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hak Cuti Hamil Karyawan Part Time (Paruh Waktu)

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Hak Cuti Hamil Karyawan Part Time (Paruh Waktu)

Hak Cuti Hamil Karyawan Part Time (Paruh Waktu)
Umar KasimINDOLaw
INDOLaw
Bacaan 10 Menit
Hak Cuti Hamil Karyawan Part Time (Paruh Waktu)

PERTANYAAN

Hallo, Saya sudah bekerja secara full time permanent di perusahaan ini selama 4 tahun dan hampir 1 tahun terakhir ini saya ganti status jadi karyawan part time (paruh waktu) untuk keperluan keluarga. Saat ini saya sedang hamil dan ingin tahu apakah saya berhak atas cuti hamil, dan apabila iya apakah saya juga berhak mendapatkan 3 bulan cuti dengan gaji dibayar? Mohon bantuannya, terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Berkenaan dengan pertanyaan Saudari mengenai hak -mendapatkan- cuti (maksudnya hak waktu istirahat hamil dan melahirkan) dengan gaji dibayar sebagai karyawan part time, berikut ini dapat saya jelaskan, sebagai berikut:

    1. Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak (lazim disebut, cuti hamil), dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan (sering disebut, cuti melahirkan) menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 84 UU Ketenagakerjaan, bahwa setiap pekerja/buruh (perempuan) yang menggunakan hak waktu istirahat (cuti hamil dan melahirkan tersebut) sebagaimana dimaksud Pasal 82 ayat (1), berhak atas upah penuh.

    KLINIK TERKAIT

    Adakah Hak Cuti Tahunan untuk Pekerja Part Time?

    Adakah Hak Cuti Tahunan untuk Pekerja Part Time?
     

    Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan maknanya, bahwa tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja (berdasarkan perjanjian kerja) yang -dalam undang-undang- disebut dengan pekerja/buruh, berhak atas cuti hamil dan melahirkan selama kurang-lebih 3 (tiga) bulan berturut-turut dengan hak upah penuh. Sebaliknya (secara a-contrario) bagi tenaga kerja di luar hubungan kerja, tidak ada ketentuan -peraturan perundang-undangan- yang mengatur dan memberikan hak seperti dimaksud, terkecuali para pihak sendiri menyepakati dan memperjanjikannya sesuai dengan kebutuhan.

     

    2. Terkait dengan penjelasan seperti disebutkan di atas, dan dalam rangka menjawab pertanyaan: apakah Saudari berhak mendapatkan 3 (tiga) bulan cuti dengan gaji dibayar? Menurut hemat saya, sangat bergantung dari hubungan hukum apa Saudari melakukan pekerjaan. Apakah dalam hubungan kerja -berdasarkan perjanjian kerja - atau di luar hubungan kerja -berdasarkan salah satu bentuk perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Jadi bukan persoalan, apakah ketentuan waktu kerja yang diterapkan full time atau part time, dan apakah hubungan kerja Saudari permanent atau “kontrak”, -maksudnya, perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu/PKWTT, atau perjanjian kerja untuk waktu tertentu/PKWT-, semua itu tidak menjadi masalah. Dalam arti, kalau hubungan hukum Saudari adalah hubungan kerja, walau dengan menerapkan full time atau part time, ataukah dengan perjanjian kerja permanent atau kontrak, undang-undang -telah- menjamin dan memberikan hak cuti hamil dan melahirkan selama 3 (tiga) bulan dengan hak upah penuh (atau istilah Saudari, berhak mendapatkan3 bulan cuti dengan gaji dibayar).

     

    Sebaliknya, kalau hubungan hukum Saudara dalam melakukan pekerjaan, bukan hubungan kerja (dalam arti tidak didasarkan perjanjian kerja), maka Saudara hanya berhak atas cuti dimaksud bilamana Saudari telah memperjanjikannya terlebih dahulu dengan pihak partner “mitra kerja” Saudari.

     

    3. Sebagai tambahan penjelasan, dapat saya sampaikan juga, bahwa dalam konteks hubungan kerja, selain (para) pekerja/buruh dapat dipekerjakan dengan pola waktu kerja dan waktu istirahat secara full time, pekerja/buruh dapat juga dipekerjakan dengan sistem part time kalau kebutuhannya memang (hanya) menghendaki demikian.

     

    Maksudnya, mengenai full time dan part time, hakikatnya hanya terkait dengan masalah penerapan waktu kerja dan waktu istirahat (WKWI) untuk suatu job/unit kerja tertentu yang diatur dan disepakati dalam perjanjian kerja (PK) dan peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB). Walaupun lazimnya, tenaga kerja yang dipekerjakan dengan sistem part time adalah tenaga kerja yang bekerja di luar hubungan kerja, seperti pada perjanjian-perjanjian untuk melakukan jasa-jasa (de overeenkomst tot het verrichten van diensten, yang disebut dalam Pasal 1601 Burgerlijk Wetboek/BW atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), perjanjian pemborongan pekerjaan (de overeenkomst tot het aanneming van werk sebagaimana dimaksud Pasal 1601b BW), atau perjanjian kemitraan (partnership atas dasar Pasal 1338 jo Pasal 1618 BW) ataukah perjanjian korporasi (yang hubungan hukumnya diatur dalam -masing-masing- undang-undang mengenai korporasi).

     

    Berkenaan dengan itu, dalam Pasal 77 ayat (2) jo Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan, diatur mengenai alternatif opsi (pilihan) ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat atau sering disebut “pola WKWI-normal” bagi tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja, yakni:

    a.    7 (tujuh) jam per-hari dan 40 (empatpuluh) jam per-minggu untuk pola waktu kerja 6 : 1, dalam arti 6 (enam) hari kerja dan 1 (satu) hari istirahat mingguan dalam seminggu; atau

    b.    8 (delapan) jam per-hari dan 40 (empatpuluh) jam per-minggu untuk pola waktu kerja 5 : 2, dalam arti 5 (lima) hari kerja dan 2 (dua) hari istirahat mingguan dalam seminggu.

     

    Pekerja/buruh yang dipekerjakan sesuai dan dengan merujuk pada ketentuan WKWI sebagaimana tersebut Pasal 77 ayat (2) dan Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan tersebut, itulah yang disebut dengan “karyawan full time”. Akan tetap,i bilamana waktu kerjanya kurang atau hanya dalam beberapa jam per-hari, ataukah beberapa hari per-minggu, dapat disebut dengan “karywan part time”. Dengan perkataan lain, ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat (pola WKWI) dimaksud adalah ketentuan maksimum. Artinya, para pihak dapat menyepakati sebaliknya -mengatur WKWI part time- yang kurang dari ketentuan WKWI normal, baik mengenai lamanya bekerja (jam kerjanya) dalam setiap hari kurang dari 7 (tujuh) jam per-hari (untuk pola 6 : 1) atau kurang dari 8 (delapan) jam per-hari (untuk pola 5 : 2), ataukah mengenai jumlah hari kerjanya yang kurang dari 5 (lima) hari kerja dalam seminggu. Misalnya:

    -     untuk pola waktu kerja 6 : 1, hanya maksimum 5 jam per-hari, dan 30 jam per-minggu.

    -     untuk pola waktu kerja 5 : 2, hanya maksimum 4 jam per-hari dan 20 jam per-minggu; atau

    -     dengan mengubah pola 5 : 2 menjadi pola 4 : 3 atau pola 3 : 4 seminggu, sepanjang tetap (hanya) maksimum 8 jam per-hari.

    -     Demikian juga, dapat diterapkan pola waktu kerja 6 : 1 atau 5 : 2 dengan hanya 2 (dua) jam per-hari ataukah bahkan 1 (satu) jam per-hari, dan sebagainya.

     

    Oleh karena itu, hemat saya, sah-sah saja seseorang pekerja/buruh dipekerjakan dengan pola waktu kerja khusus (part time) atau dengan pola WKWI yang kurang dari ketentuan waktu kerja normal, sepanjang upahnya tidak boleh menyimpang dari ketentuan upah minimum (sebagaimana dimaksud Pasal 90 ayat [1] jo Pasal 185 ayat [1] UU Ketenagakerjaan).

     

    4. Dengan demikian, persoalan waktu kerja full timeataupart time (paruh waktu), ataukah hubungan kerja permanentatau “kontrak”, adalah persoalan penerapan ketentuan waktu kerja dan waktu istirahat dan pilihan hubungan kerja (berdasarkan perjanjian kerja) sepanjang yang tidak mengurangi atau menghilangkan hak cuti hamil dan melahirkan yang bersifat compulsory (wajib). Namun, apabila pada diri Saudari terdapat perubahan sistem hubungan hukum melakukan pekerjaan dari hubungan kerja (yang dijalani selama 4 tahun) berubah -misalnya- menjadi hubungan hukum lainnyadi luar hubungan kerja -yang (kata Saudara) sudah hampir 1 tahun terakhir ini-, maka tentu hak (cuti hamil dan melahirkan) tersebut menjadi bersifat voluntary (bersifat sukarela) yang -tentunya- harus disepakati dan diperjanjikan terlebih dahulu baru kemudian timbul menjadi hak (vide Pasal 1338 jo Pasal 1233 BW).

     

    Demikian penjelasan dan opini saya, semoga dapat dimengerti dan dilaksanakan.

     

    Dasar hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    2.    Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

     

    Tags

    cuti melahirkan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    28 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!