Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa sebagai Alasan Penghapus Pidana

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa sebagai Alasan Penghapus Pidana

Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa sebagai Alasan Penghapus Pidana
Dian Dwi Jayanti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa sebagai Alasan Penghapus Pidana

PERTANYAAN

Apa perbedaan overmacht dan noodweer dan batasan ruang lingkup berlakunya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Daya paksa (overmacht) berasal dari pengaruh luar. Sedangkan pembelaan terpaksa (noodweer) lebih menekankan pada pembelaan atau pertahanan diri yang dilakukan oleh seseorang bersamaan ketika ada ancaman yang datang kepadanya. Bagaimana bunyi pasal yang mengatur daya paksa dan pembelaan terpaksa? Selain itu, apa syarat suatu perbuatan dilakukan karena daya paksa atau pembelaan terpaksa?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 18 September 2013.

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Daya Paksa (Overmacht)

    Pasal daya paksa atau overmacht dapat Anda temukan di dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] sebagai berikut.

    Pasal 48 KUHP

    Pasal 42 UU 1/2023

    Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

    Setiap orang yang melakukan Tindak Pidana tidak dipidana karena:

    a. dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan; atau

    b. dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari.

     

    Untuk mengetahui batasan ruang lingkup berlakunya overmacht, R. Sugandhi dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya mengatakan bahwa kalimat “karena pengaruh daya paksa” harus diartikan, baik pengaruh daya paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat ditentang. 

    Mengenai kekuasaan ini dapat dibedakan dalam 3 macam seperti yang kami uraikan di bawah ini.

    1. Kekuasaan yang Bersifat Mutlak

    Kekuasaan yang bersifat mutlak berarti orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat dielakkan. Misalnya, seseorang yang dipegang kemudian dilemparkan orang yang lebih kuat ke jendela kaca sehingga kacanya pecah dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain. Dalam peristiwa ini orang yang tenaganya lemah itu tidak dapat dihukum karena yang melakukan ialah orang yang lebih kuat.[2]

    Daya paksa absolut (vis absoluta) ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, karena di sini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak punya pilihan lain sama sekali.[3]

    Daya paksa absolut juga dapat juga bersifat psikis. Misalnya orang yang dihipnotis sehingga melakukan delik. Di sini orang tersebut tidak dapat berbuat lain. [4]

    Selain daya paksa tersebut datang dari orang lain, daya paksa dapat juga datang dari alam, misalnya pilot yang pesawatnya terhempas ke landasan karena gempa sehingga menimpa pesawat lain yang menimbulkan korban di pesawat lain itu.[5]

    1. Kekuasaan yang Bersifat Relatif

    Kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih punya kesempatan untuk memilih mana yang akan dilakukan. Perbedaan kekuasaan yang bersifat mutlak dan yang bersifat relatif ialah bahwa pada yang mutlak, dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya. Sedangkan pada yang relatif, orang yang dipaksa itulah yang melakukan karena dalam paksaan kekuatan.[6]

    Misalnya A ditodong dengan pistol oleh B, disuruh membakar rumah. Apabila A tidak segera membakar rumah itu, maka pistol yang ditodongkan kepadanya tersebut akan ditembakkan. Dalam pikiran, memang mungkin A menolak perintah itu sehingga ia ditembak mati. Akan tetapi apabila ia menuruti perintah itu, ia akan melakukan tindak pidana kejahatan. Walaupun demikian, ia tidak dapat dihukum karena adanya paksaan tersebut.[7]

    Lebih lanjut, paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut. Misalnya apakah yang dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini.[8]

    1. Kekuasaan yang Merupakan Suatu Keadaan Darurat

    Pada keadaan darurat, orang yang terpaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana mana yang akan ia lakukan. Bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relatif, orang itu tidak memilih, sebab orang yang mengambil prakarsa ialah orang yang memaksa.[9]

    Contohnya, terjadi kecelakaan kapal yaitu kapal meledak dengan mendadak, sehingga penumpangnya masing-masing harus menolong dirinya sendiri. Seorang penumpang beruntung dapat mengapung dengan sebuah papan kayu yang hanya dapat menampung seorang saja. Kemudian datang penumpang lain yang juga ingin menyelamatkan dirinya. Padanya tiada sebuah alat pun yang dapat dipakai untuk menyelamatkan diri. Ia lalu meraih papan kayu yang telah dipakai untuk mengapung oleh orang yang terdahulu dari dia. Orang yang terdahulu itu lalu mendorong orang tersebut hingga tenggelam dan mati. Karena dalam keadaan darurat, maka orang itu tidak dapat dihukum.

    Sementara itu, dalam Penjelasan Pasal 42 UU 1/2023 disebutkan bahwa ketentuan tentang daya paksa yang dibagi menjadi paksaan mutlak dan paksaan relatif, yaitu:

    1. Paksaan mutlak atau “dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan adalah keadaan yang menyebabkan pelaku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. Karena keadaan yang ada pada diri pelaku maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut.

     

    1. Paksaan relatif atau “dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari” adalah:
    1. ancaman, tekanan, atau kekuatan tersebut menurut akal sehat tidak dapat diharapkan bahwa ia dapat mengadakan perlawanan; dan
    2. apabila kepentingan yang dikorbankan seimbang atau sedikit lebih dari pada kepentingan yang diselamatkan.

    Tekanan kejiwaan dari luar merupakan syarat utama. Mungkin pula seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri. Hal yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya.

    Pembelaan Terpaksa atau Pembelaan Darurat (Noodweer)

    Pembelaan terpaksa (noodweer) diatur di dalam:

    Pasal 49 KUHP

    UU 1/2023

    1. Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
    2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

    Pasal 34 UU 1/2023

    Setiap orang yang terpaksa melakukan perbuatan yang dilarang tidak dipidana, jika perbuatan tersebut dilakukan karena pembelaan terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain.

     

    Pasal 43 UU 1/2023

    Setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum, tidak dipidana.

    Pembelaan terpaksa (noodweer) dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu noodweer (pembelaan terpaksa) dan noodweer-exces (pembelaan terpaksa yang melampaui batas). Terkait dengan perbedaan antara noodweer dan noodweer-exces dalam KUHP lama, dapat Anda baca dalam artikel Arti Noodweer Exces dalam Hukum Pidana.

    Sementara, dalam KUHP baru yaitu UU 1/2023, pembelaan terpaksa diatur di dalam Pasal 34 UU 1/2023 dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas diatur dalam Pasal 43 UU 1/2023.

    Penjelasan Pasal 34 UU 1/2023, menentukan bahwa syarat pembelaan terpaksa adalah:

    1. harus ada serangan atan ancaman serangan yang melawan hukum yang bersifat seketika;
    2. pembelaan dilakukan karena tidak ada jalan lain (subsidiaritas) untuk menghalau serangan;
    3. pembelaan hanya dapat dilakukan terhadap kepentingan yang ditentukan secara limitatif yaitu kepentingan hukum diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, harta benda; dan
    4. keseimbangan antara pembelaan yang dilakukan dan serangan yang diterima (proporsionalitas).

    Adapun, syarat pembelaan terpaksa yang melampaui batas dalam Penjelasan Pasal 43 UU 1/2023 adalah:

    1. pembelaan melampaui batas atau tidak proporsional dengan serangan atau ancaman serangan seketika; dan
    2. yang disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena adanya serangan atau ancaman serangan seketika.

    Perbedaan Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa

    Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa daya paksa (overmacht) berasal dari pengaruh luar (baik dari orang lain maupun keadaan yang memaksa seseorang di luar kemampuannya untuk melakukan tindak pidana). Sedangkan pembelaan terpaksa (noodweer)lebih menekankan pada pembelaan atau pertahanan diri yang dilakukan oleh seseorang bersamaan ketika ada ancaman yang datang kepadanya.

    Keberlakuan overmacht maupun noodweer keduanya diserahkan kepada hakim. Hakimlah yang menguji dan memutuskan apakah suatu perbuatan termasuk lingkup overmacht atau noodweer dengan ditinjau berdasarkan pada satu-persatu peristiwa sebagaimana yang telah kami jelaskan.

    Contoh Kasus

    Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami contohkan kasus mengenai alasan penghapus pidana karena daya paksa yang telah diputus oleh Putusan PN Surabaya Nomor 4072/Pid.B/2011/PN.Sby dan penghapus pidana karena pembelaan terpaksa pada putusan Putusan PN Donggala Nomor 32/Pid.B/2021/PN Dgl.

    Berdasarkan Putusan PN Surabaya Nomor 4072/Pid.B/2011/PN.Sby, Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya dengan memperhatikan perbuatan terdakwa dalam kasus ini menyatakan bahwa terdakwa III tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika karena dalam mengunakan sabu-sabu dalam keadaan dipaksa oleh tiga terdakwa yang lain, sehingga seseorang yang berada dalam pengaruh daya paksa secara fisik tidak dapat melawan kekuatan besar, maka ada alasan pemaaf yang dapat menghapus dari tangggung jawab pidana sesuai dengan Pasal 48 KUHP. Untuk itu Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan putusan membebaskan terdakwa III dari segala dakwaan (hal. 15)

    Sedangkan dalam Putusan PN Donggala Nomor 32/Pid.B/2021/PN Dgl, Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya dengan memperhatikan perbuatan terdakwa dalam kasus ini dan mencermati ketentuan Pasal 49 KUHP menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan “penganiayaan” sebagaimana dalam dakwaan tunggal penuntut umum.

    Namun perbuatan terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi dilakukan karena:

    1. adanya serangan terlebih dahulu;
    2. dilakukan semata-mata untuk mempertahankan kehormatan kesusilaan pada diri terdakwa yang mana pada saat kejadian saksi telah menarik kerah baju terdakwa hingga sobek sehingga memperlihatkan bagian tubuh terdakwa yang sensitif; dan
    3. dilakukan semata-mata untuk mempertahankan kehamilan terdakwa yang pada saat kejadian berusia kehamilan empat bulan sehingga jalan satu-satunya yang dapat terdakwa lakukan adalah dengan melakukan pemukulan terhadap saksi.

    Oleh karena itu, perbuatan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena didasarkan pada pembelaan terpaksa (noodweer) sesuai dengan Pasal 49 KUHP (hal. 13).

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    Putusan:

    1. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 4072/Pid.B/2011/PN.Sby;
    2. Putusan Pengadilan Negeri Donggala Nomor 32/Pid.B/2021/PN Dgl.

    Referensi:

    1. Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994;
    2. R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1980;
    3. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991. 

    [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    [2] R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 54-55

    [3] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, hal. 152-153

    [4] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, hal. 152-153

    [5] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, hal. 152-153

    [6] R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 55

    [7] R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 55

    [8] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, hal. 63.

    [9] R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 55

     

    Tags

    kuhp
    kuhp baru

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Begini Cara Hitung Upah Lembur Pada Hari Raya Keagamaan

    12 Apr 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!