KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bolehkah Memisahkan Anak dari Ayah Kandungnya?

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Bolehkah Memisahkan Anak dari Ayah Kandungnya?

Bolehkah Memisahkan Anak dari Ayah Kandungnya?
Letezia Tobing, S.H., M.Kn.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bolehkah Memisahkan Anak dari Ayah Kandungnya?

PERTANYAAN

saya ann (24 tahun). saya memiliki seorang anak laki-laki di luar nikah (3bulan). masalah yang sedang saya hadapi saat ini adalah: 1. saya dan ayah biologis anak saya bermaksud untuk menikah, namun dilarang oleh orang tua saya. adakah akibat hukumnya apabila seseorang melarang orang lain yang telah cukup umur untuk menikah? 2. karena dilarang menikah, saya berniat untuk pergi dari rumah (saat ini saya tinggal dengan orangtua saya). namun orang tua saya mengancam, saya boleh pergi kapanpun, namun tidak anak saya. mereka menahan anak saya, merebut anak saya dari saya. apakah ada hukumnya apabila mereka melakukan hal ini? 3. orang tua saya tidak mengijinkan anak saya bertemu dengan ayah biologisnya. sementara saya pribadi tidak keberatan anak saya bertemu dengan ayah nya. dapatkah mereka melakukan hal ini? 4. pembuatan dokumen (misalnya akta nikah gereja) dilakukan dengan cara "tembak", apakah hal ini termasuk pemalsuan dokumen? adakah sanksi hukumnya? terima kasih.

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Kami akan menjawab pertanyaan Anda satu persatu sebagai berikut:

     

    1.   Anda tidak menyebutkan lebih detail apakah ada tindakan lebih lanjut yang dilakukan oleh orang tua Anda dalam melarang Anda menikah dengan laki-laki tersebut. Jika larangan dari orang tua Anda hanya dilakukan secara verbal tanpa disertai tindakan pengancaman atau tindakan lain yang membuat Anda terpaksa tidak menikah, maka tidak ada hukumannya bagi larangan secara verbal tersebut.

     

    Pada dasarnya sebagaimana dikatakan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Selain itu, bagi seseorang yang akan melangsungkan perkawinan tetapi belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, diharuskan mendapat izin dari orang tua (Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan). Ini berarti bahwa jika pasangan tersebut sudah berusia 21 (dua puluh satu) tahun, tidak diperlukan izin dari orang tua.

    KLINIK TERKAIT

    Sahkah Akta Nikah yang Dikeluarkan Negara Lain?

    Sahkah Akta Nikah yang Dikeluarkan Negara Lain?
     

    2.    Atas tindakan orang tua Anda yang mengancam Anda bahwa mereka akan menahan anak Anda, tindakan tersebut dapat dijerat dengan Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):

     

    (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    1.    barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;

    2.    barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.

    (2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.

     

    R. Soesilo, terkait pasal ini, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa yang dimaksud memaksa adalah menyuruh orang melakukan sesuatu sedemikian rupa, sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri.

     

    Dalam hal ini ancaman dari orang tua Anda dapat dikatakan sebagai tindakan memaksa agar Anda melakukan tindakan sebagaimana yang diinginkan oleh orang tua Anda yaitu tidak menikah dengan laki-laki tersebut.

     

    Jika orang tua Anda benar-benar menahan atau merebut anak Anda, orang tua Anda dapat dijerat pidana berdasarkan Pasal 330 KUHP:

     

    1.    Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

    2.    Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

     

    3.    Orang tua Anda tidak dapat melarang anak Anda untuk bertemu dengan ayahnya. Ini karena bertemu, mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya adalah hak setiap anak, sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 14 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”):

     
    Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak:

    “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.”

     
    Pasal 14 UU Perlindungan Anak:

    “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.”

     

    4.    Kami kurang jelas mengenai apa yang Anda maksud dengan pembuatan dokumen dengan cara “tembak”. Apakah yang Anda maksud hanya mempercepat jangka waktu pembuatan dokumen atau ada hal-hal yang dipalsukan demi terbuatnya dokumen tersebut. Dalam hal ini kami berasumsi ada hal-hal dalam dokumen tersebut yang dibuat tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya.

     

    Untuk mengetahui apakah perbuatan tersebut merupakan pemalsuan (surat-surat) atau tidak, kita harus melihat terlebih dahulu pada unsur-unsur dalam pasal yang mengatur mengenai tindak pidana pemalsuan dokumen. Mengenai pemalsuan dokumen (surat-surat), dapat Anda lihat dalam Pasal 263 KUHP:

     

    (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

    (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

     

    Mengenai pasal ini, R. Soesilo menjelaskan bahwa surat yang dipalsukan itu harus suatu surat yang:

    a.    Dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dan lain-lain);

    b.    Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya);

    c.    Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi atau surat semacam itu);

    d.    Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain).

     

    R. Soesilo menjelaskan bahwa perbuatan yang dapat diancam hukuman di sini ialah “membuat surat palsu” atau “memalsukan surat”. Yang dimaksud dengan “membuat surat palsu” adalah membuat yang isinya bukan semestinya (tidak benar), atau membuat surat demikian rupa, sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Pegawai polisi membuat proses verbal yang berisi suatu cerita yang tidak benar dari orang yang menerangkan kepadanya, tidak masuk pengertian membuat proses verbal palsu. Ia membuat proses verbal palsu, apabila pegawai polisi itu menuliskan dalam proses verbalnya lain daripada yang diceritakan kepadanya oleh orang tersebut.

     

    Sedangkan yang dimaksud dengan “memalsu surat” adalah mengubah surat demikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain daripada yang asli.

     

    Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHP, dapat dilihat juga bahwa orang yang mempergunakan surat palsu dengan sengaja, dalam arti orang tersebut mengetahui bahwa surat itu palsu, juga dapat dipidana.

     

    Jadi untuk dapat dikatakan sebagai pemalsuan dokumen, tindakan tersebut harus memenuhi pengertian “membuat surat palsu” atau “memalsu surat” dalam uraian di atas.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    2.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

    3.    Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

     
    Referensi:

    R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia.

        

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara dan Biaya Mengurus Perceraian Tanpa Pengacara

    25 Apr 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!