KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Penggunaan dan Penafsiran “dan/atau” dalam Peraturan Perundang-undangan

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Penggunaan dan Penafsiran “dan/atau” dalam Peraturan Perundang-undangan

Penggunaan dan Penafsiran “dan/atau” dalam Peraturan Perundang-undangan
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Penggunaan dan Penafsiran “dan/atau” dalam Peraturan Perundang-undangan

PERTANYAAN

Apa yang dimaksud "dan/atau" dalam pasal 310 ayat 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang berbunyi'setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)'. Apakah berlaku salah satunya saja atau kedua-duanya? Mohon penjelasannya. Thanks.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu mari kita simak bunyi Pasal 310 ayat (3) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”):

    KLINIK TERKAIT

    Perbedaan Pidana Kurungan dan Penjara dalam KUHP

    Perbedaan Pidana Kurungan dan Penjara dalam KUHP

    Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”

     

    Bersumber dari sebuah tulisan berjudul Penggunaan Dan/atau yang kami akses dari laman resmi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dikatakan bahwa kata penghubung “dan/atau”, dapat diperlakukan sebagai “dan”, dapat juga diper­lakukan sebagai “atau”. Tanda garis miring itu mengandung arti pilihan, misalnya A dan/atau B yang berarti:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     
    A dan B
     
     atau
     
    A atau B
     

    Oleh karena itu, cara penulisan yang benar untuk maksud pernyataan tersebut ialah “dan/atau”, bukan “dan atau”.

     

    Lebih lanjut, dikatakan bahwa penggunaan penghubung dan/atau itu sering ditulis tanpa dibubuhi tanda garis miring (/) di antara kata “dan” dan “atau”. Cara penulisan yang itu tidak dapat dibenarkan. Kesalahan penulisan tanda penghubung tersebut agaknya disebabkan oleh anggapan bahwa tidak ada perbedaan antara bahasa Indonesia ragam lisan dan ragam tulis. Akibatnya, orang menuliskan apa yang terdengar (ragam lisan), bukan apa yang seharusnya ditulis. Di dalam ragam tulis kelengkapan tanda baca sangat diperlukan agar apa yang dituliskan itu tidak ditafsirkan lain. Makna kalimat ragam lisan dapat didukung oleh situasi pembicaraan, sedangkan dalam ragam tulis tidak didukung hal itu.

     

    Jika penggunaan kata penghubung “dan/atau” ini diterapkan dalam bunyi Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ seperti yang Anda tanyakan, maka maksud dari kalimat “…dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)” dapat berarti:

    1.    Yang melanggar pasal tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp. 10 juta;

    2.    Yang melanggar pasal tersebut dipidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp. 10 juta.

     

    Pada akhirnya, yang menentukan apakah orang yang melanggar pasal tersebut dijatuhi sanksi pidana salah satu (penjara saja atau denda saja) atau keduanya dijatuhkan bersamaan adalah pertimbangan hakim di persidangan.

     

    Dalam praktiknya, terdapat perbedaan dalam penafsiran kata penghubung “dan/atau” dalam pasal tentang ketentuan pidana. Hal ini dijelaskan dalam sebuah tulisan berjudul Pengertian “Penjara dan/atau Denda” dalam laman resmi Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Tulisan tersebut memberikan dua contoh kasus yang menggambarkan tentang penafsiran Mahkamah Agung (“MA”) terhadap konsep pemidanaan “penjara dan/atau denda.”

     

    Kasus pertama yang dijelaskan dalam laman tersebut adalah perkara korupsi menyangkut penerapan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”). Singkatnya, hakim pada Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara dan denda secara bersamaan dengan alasan pidana penjara atas pelanggaran UU Pemberantasan Tipikor itu bersifat imperatif, jadi pengadilan tidak dapat hanya menjatuhkan pidana denda. Mengenai kasus ini selengkapnya dapat Anda lihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2442 K/PID.SUS/2009.

     

    Kasus kedua adalah kasus tentang cukai yang mana kasus tersebut diperiksa oleh hakim MA yang sama dengan kasus korupsi. Kasus tersebut menceritakan tentang terdakwa yang melanggar Pasal 54 jo. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai. yang di dalamnya juga menerapkan ketentutan pidana yang menggunakan kata penghubung “dan/atau”. Pada akhirnya di tingkat kasasi, MA hanya menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa dengan alasan pidana denda adalah alternatif dari pidana penjara.

     

    Menurut tulisan tersebut, adanya dua pertimbangan yang berbeda untuk permasalahan hukum yang sama ini tentunya membuat ketidakpastian mengenai apakah sanksi pidana yang dirumuskan dalam bentuk ”penjara dan/atau denda” bermakna bahwa pidana penjara bersifat imperatif atau alternatif.

     

    Namun pada akhirnya, menurut hemat kami, hakimlah yang mempertimbangkan sesuai dengan jenis pidananya. Untuk kasus korupsi, pidana penjara itu bersifat imperatif. Artinya, terdakwa tidak dapat hanya dijatuhi pidana denda saja, tetapi juga harus dijatuhi bersamaan dengan pidana penjara. Untuk kasus cukai, pidana denda merupakan alternatif dari pidana penjara sehingga hakim dapat menjatuhkan salah satunya saja.

     

    Dengan mengacu pada dua gambaran kasus di atas yang telah kami uraikan, maka menurut hemat kami, pelanggaran terhadap UU LLAJ seperti yang Anda tanyakan juga bergantung pada pertimbangan hakim di pengadilan nantinya. Hakimlah yang menilai apakah penerapan pasal mengenai ketentuan pidana yang menggunakan kata penghubung “dan/atau” ini diterapkan secara imperatif atau alternatif.

     

    Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    2.    Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

    3.    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

     

    Referensi:

    http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/638/Penggunaan%20Dan/atau, diakses pada 23 Juli 2013 pukul 11:44 WIB

     

    http://www.leip.or.id/kajian-putusan/putusan-pidana/225-pengertian-penjara-danatau-denda.html, diakses pada 23 Juli 2013 pukul 12: 36 WIB

     

    Tags

    uu lalu lintas dan angkutan jalan
    uu tipikor

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara dan Biaya Mengurus Perceraian Tanpa Pengacara

    25 Apr 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!