Bagaimana Kekuatan Pembuktian Sidik Jari?
PERTANYAAN
Bagaimanakah kekuatan pembuktian sidik jari di Indonesia? Apakah sidik jari dapat mengikat hakim (hal yang dapat mempengaruhi hakim) dalam menjatuhkan putusan (vonis)?
Pro
Pusat Data
Koleksi terlengkap dan terkini berisi peraturan putusan pengadilan preseden serta non-preseden
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab tentang berbagai persoalan hukum, mulai dari hukum pidana hingga perdata, gratis!
Berita
Informasi terkini tentang perkembangan hukum di Tanah Air, yang disajikan oleh jurnalis Hukumonline
Jurnal
Koleksi puluhan ribu artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk berbagai penelitian hukum Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bagaimanakah kekuatan pembuktian sidik jari di Indonesia? Apakah sidik jari dapat mengikat hakim (hal yang dapat mempengaruhi hakim) dalam menjatuhkan putusan (vonis)?
Terima kasih atas pertanyaan anda.
Pertama-tama saya perlu sampaikan bahwa dalam membuktikan suatu perkara pidana, hakim secara aktif harus mencari dan menemukan kebenaran materiil (kebenaran yang sesungguhnya), yaitu bahwa tindak pidana sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa adalah benar-benar terjadi, dan benar terdapat kesalahan terdakwa (baik kesengajaan maupun kelalaian), serta dapat dipertanggungjawabkannya tindak pidana tersebut oleh terdakwa.
Menjawab pertanyaan anda, kita perlu untuk merujuk pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka alat bukti dalam perkara pidana umum adalah terdiri dari:
Jika dikaitkan dengan pertanyaan anda, sidik jari dari pelaku suatu tindak pidana tidak secara langsung dapat dikualifisir sebagai salah satu alat bukti dalam suatu perkara pidana, melainkan harus dikonversi dalam jenis-jenis alat bukti tertentu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP Tersebut.
Dari definisi umum yang penjawab ketahui, sidik jari atau fingerprint didefinisikan sebagai hasil reproduksi tapak jari baik yang sengaja diambil, dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki (Wikipedia). Sedangkan ilmu yang mempelajari tentang sidik jadi adalah Daktiloskopi.
Dalam hal ini, wujud konkret dari keterangan atas suatu sidik jari dalam suatu perkara pidana dapat berbentuk surat keterangan yang dibuat oleh seorang ahli (Pasal 187 huruf c KUHAP) yang dapat dikualifisir sebagai alat bukti surat.Selain itu apabila diperlukan, baik dalam proses penyidikan di kepolisian maupun proses pemeriksaan perkara di pengadilan, seorang ahli Daktiloskopi dapat dipanggil guna didengar keterangannya untuk menjelaskan mengenai keterkaitan adanya sidik jari seseorang dalam suatu peristiwa pidana (Vide: Pasal 186 KUHAP jo.Pasal 1 ayat 24 KUHAP).
Mengenai pertanyaan mengenai apakah suatu sidik jari dapat mengikat atau mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan, maka kita perlu kembali memperhatikan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Pasal 183 KUHAP diatas telah menjadi dasar hukum dari ketentuan minimal pembuktian yaitu terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim bahwa terdakwa benar-benar bersalah. Pembentukan pasal ini didasarkan pada adagium yang terkenal dalam hukum pidana yaitu in dubio pro reoatau beyond a reasonable doubt, yang berarti ditengah-tengah keraguan, hakim harus melepaskan seorang terdakwa.
Lalu yang menjadi pertanyaan penting untuk direnungkan bersama terkait dengan permasalahan sidik jari tersebut diatas adalah bagaimana jika tidak ada saksi dalam suatu peristiwa pidana tersebut dan apabila terdakwa dalam keterangannya menyangkal telah melakukan perbuatan pidana yang didakwakan tersebut.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa ketentuan minimal pembuktian (dua alat bukti) tersebut seharusnya dapat dipenuhi dengan adanya surat keterangan mengenai sidik jari tersebut (alat bukti surat) ditambah adanya keterangan ahli Daktiloskopi sebagai salah satu alat bukti. Namun demikian, berangkat dari ketentuan Pasal 183 KUHAP yang dihubungkan dengan Pasal 191 KUHAP (Vide: Penjelasan Pasalnya), maka penilaian atas suatu pembuktian dan keyakinan bahwa terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana tersebut, diserahkan kepada hakim untuk menentukannya.
Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk anda.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?