Dapatkah polis asuransi jiwa dijaminkan untuk mendapatkan pinjaman kredit?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Dalam memberikan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utang atau mengembalikan pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka sebelum memberikan kredit, bank umumnya akan mensyaratkan adanya jaminan atau agunan. Jaminan utama atau jaminan pemberian kredit adalah adanya keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya. Sedangkan agunan adalah jaminan tambahan yang dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.
Lantas, bisakah polis asuransi jiwa dijadikan jaminan kredit?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sebagaimana telah diketahui bahwa salah satu fungsi dari bank adalah sebagai penyalur kredit. Dalam memberikan kredit tersebut, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utang atau mengembalikan pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan.[1]
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, maka sebelum memberikan kredit, bank pada umumnya akan mensyaratkan adanya jaminan atau agunan. Apa itu jaminan dan agunan?
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pada prinsipnya terdapat perbedaan antara jaminan dengan agunan dalam bidang perbankan. Akan tetapi, sepanjang penelusuran kami, tidak ada definisi jaminan yang secara tegas dinyatakan di dalam UU Perbankan dan perubahannya.
Namun demikian, dalam praktik perbankan, menurut A. Wangsawidjaja istilah jaminan dan agunan muncul dari surat keputusan Direksi Bank Indonesia SK No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit dan SE No. 23/6/UKU tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, dimana Pasal 1 huruf b dan c SK No. 23/69/KEP/DIR menyebutkan:[2]
Jaminan pemberian kredit (jaminan utama) adalah keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
Agunan adalah jaminan material, surat berharga, garansi resiko yang disediakan oleh debitur untuk menanggung pembayaran kembali suatu kredit, apabila debitur tidak dapat melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
Jika merujuk definisi jaminan utama di atas, maka hal ini juga dapat ditemukan di dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 10/1998 yang menyatakan bahwa jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan atau kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Adapun, pengertian agunan termaktub di dalam Pasal 14 angka 1 UU P2SK yang mengubah Pasal 1 angka 22 UU Perbankan yang berbunyi:
Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada Bank dalam rangka pemberian fasilitas Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat dua bentuk jaminan kredit yaitu jaminan utama dan jaminan tambahan. Jaminan utama adalah keyakinan bank untuk memberikan kredit kepada calon debitur. Pada teorinya, apabila bank telah memiliki keyakinan terhadap calon debitur, bank tidak diwajibkan untuk meminta jaminan tambahan (agunan) kembali kepada debitur.
Sedangkan, jaminan tambahan (agunan) dapat berupa harta benda milik debitur seperti rumah, kendaraan atau surat berharga yang diberikan kepada bank sebagai bentuk komitmen apabila debitur ingkar janji sehingga tidak membayar kreditnya sampai lunas. Nilai agunan yang diminta oleh bank harus disesuaikan dengan jenis kredit dan jumlah plafon yang diberikan kepada debitur.
Dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 10/1998diterangkan bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas atas kemampuan nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.
Bisakah Polis Asuransi Jiwa Menjadi Jaminan Kredit?
Lantas, apakah asuransi jiwa dapat dijadikan jaminan atau agunan bagi debitur untuk mendapat kredit dari bank?
Kami akan menjelaskan bahwa pada perkembangannya, tidak hanya jaminan utama dan jaminan tambahan (agunan) saja yang ada dalam proses pemberian kredit. Sebagai bentuk pelaksanaan prinsip kehati-hatian, bank juga dapat memberikan syarat bagi debitur untuk menutup perjanjian asuransi jiwa kredit dengan perusahaan asuransi.
Asuransi jiwa kredit adalah produk kerja sama bank dengan perusahaan asuransi, yang memberikan manfaat berupa pelunasan kredit kepada bank apabila seorang yang memanfaatkan fasilitas kredit (debitur) meninggal dunia. Dengan begitu, selama periode pertanggungan berlaku, perusahaan asuransi akan melunasi utang debitur ketika risiko meninggal dunia terjadi.[3]
Produk asuransi jiwa kredit ini berbeda dengan asuransi jiwa pada umumnya. Objek dari asuransi jiwa adalah terkait hidup atau meninggalnya seseorang. Sedangkan objek asuransi jiwa kredit adalah terkait hidup atau meninggalnya seseorang dimana jumlah santunan yang diberikan penanggung akan tergantung pada sisa kredit bank yang dimiliki debitur/tertanggung pada saat itu.
Sebagai contoh, untuk kredit konsumtif yaitu kredit yang digunakan untuk pengadaan barang atau jasa untuk tujuan konsumsi,[4] seperti kredit pegawai atau kredit kepemilikan rumah (“KPR”). Untuk jenis KPR, jaminan utamanya adalah kepercayaan atau keyakinan bank bahwa calon debitur ini akan mampu membayar angsurannya secara tertib setiap bulan. Sedangkan jaminan tambahannya adalah sertifikat rumah yang dibeli atau direnovasi milik debitur sampai dengan jatuh tempo kredit.
Namun saat ini, salah satu syarat tambahan untuk mendapatkan kredit (termasuk KPR) dari bank adalah adanya syarat perlindungan asuransi atas jiwa debitur, bilamana terjadi risiko meninggal dunia, diberi jaminan atas sisa kredit di bank.[5]
Ketentuan tentang hal ini berbeda antara bank satu dengan bank lainnya. Namun, yang pasti produk asuransi jiwa kredit akan melindungi bank apabila selama jangka waktu kredit berlangsung, debitur tidak dapat membayar angsuran kredit karena peristiwa tidak terduga seperti meninggal dunia. Apabila debitur meninggal pada masa jangka waktu kredit diberikan, maka perusahaan asuransi akan menjadi pihak yang akan memberikan pelunasan kepada bank sesuai sisa jumlah kredit debitur pada saat itu.
Dengan demikian, menurut hemat kami, produk asuransi jiwa kredit ini juga merupakan “jaminan tambahan” atas kredit yang diambil oleh debitur. Artinya, produk asuransi jiwa yang dapat menjadi jaminan bagi bank dalam pemberian kredit kepada debitur adalah produk asuransi jiwa kredit. Namun, asuransi jiwa kredit bukan merupakan jaminan yang wajib diminta oleh pihak bank kepada debitur.
Belva Bianda Suri. Analisis Tanggung Jawab Penanggung Terhadap Asuransi Jiwa Kredit. Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 3 No. 1 Juni 2023;
Vebian Indriati (et.al). Analisis Penyaluran Kredit Modal Kerja Pada Bank Umum di Indonesia. Jurnal Ilmu Ekonomi, Vol. 2, Jilid 3, 2018;
Wangsawidjaja Z. Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.
[2] Wangsawidjaja Z. Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012, hal. 286.
[3] Belva Bianda Suri. Analisis Tanggung Jawab Penanggung Terhadap Asuransi Jiwa Kredit. Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 3 No. 1 Juni 2023, hal. 95
[4] Vebian Indriati (et.al). Analisis Penyaluran Kredit Modal Kerja Pada Bank Umum di Indonesia. Jurnal Ilmu Ekonomi, Vol. 2, Jilid 3, 2018, hal. 530.
[5] Belva Bianda Suri. Analisis Tanggung Jawab Penanggung Terhadap Asuransi Jiwa Kredit. Juris and Society: Jurnal Ilmiah Sosial dan Humaniora, Vol. 3 No. 1 Juni 2023, hal. 95 – 96