KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kedudukan Hukum Perkawinan ‘Nyentana’ di Bali

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Kedudukan Hukum Perkawinan ‘Nyentana’ di Bali

Kedudukan Hukum Perkawinan ‘Nyentana’ di Bali
Muhammad Yasin, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Kedudukan Hukum Perkawinan ‘Nyentana’ di Bali

PERTANYAAN

Bagaimana sebenarnya kedudukan perkawinan sentana/nyentana di Bali berdasarkan hukum kita? Apakah perkawinan itu sah mengingat bahwa dalam perkawinan itu kedudukan antara suami dan istrinya bertukar posisi? Apakah Undang-Undang Perkawinan kita mampu mengakomodasi perkawinan tersebut khususnya dalam pencatatan di catatan sipil? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan yang Anda ajukan.

     

    Sepanjang penelusuran kami terhadap literatur, perkawinan sentana atau nyentana dalam adat Bali telah lama menjadi perhatian. Mr. B Ter Haar, misalnya, menuliskan sentana dalam kaitan seorang anak perempuan dijadikan ‘pelanjut keluarga’.

     

    Adat Bali pada umumnya patrilineal. Menurut Ter Haar, hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan peninggalan bapaknya dan dapat melanjutkan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Jika tidak ada anak laki-laki, maka dapatlah seorang anak laki-laki diambil anak, baik oleh si bapak maupun oleh jandanya atas nama dia jika si bapak meninggal. Sebagai gantinya dapatlah si bapak mengangkat anaknya perempuan menjadi sentana. Anak perempuan itu diberikan hak-hak dan kewajiban sebagaimana seorang anak laki-laki tertua (1991: 158).

    KLINIK TERKAIT

    Pasal yang Menjerat Pelaku Kohabitasi

    Pasal yang Menjerat Pelaku Kohabitasi
     

    Motif utama nyentana adalah kekhawatiran tidak ada pelanjut keturunan (Soekanto: 1958: tt). Ini berkaitan dengan tingginya penghargaan budaya Bali pada basis patrilineal. Setidaknya, Chidir Ali (1981: 33) dan R. Subekti (1991: 9) memuat yurisprudensi Mahkamah Agung yang mengukuhkan sistem patrilineal itu. Putusan MA No. 200K/Sip/1958 menegaskan bahwa menurut hukum adat Bali, dalam hal seorang ayah mempunyai seorang anak laki-laki, maka anak laki-laki inilah satu-satunya ahli waris.

     

    Yuli Utomo, dalam artikelnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali di blog pribadinya, menyebutkan hukum adat Bali mengenai jenis perkawinan (i) mapadik alias meminang atau meminta; (ii) ngerorod, rangkat, atau kawin lari; (iii) nyentana, nyeburin atau selarian; (iv) melegandang, perkawinan secara paksa tanpa cinta.  Perkawinan nyentana adalah bentuk perkawinan berdasarkan perubahan status purusa dari pihak wanita dan sebagai pradana dari pihak laki-laki.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Dalam perkawinan nyentana, seorang laki-laki ikut dalam keluarga isterinya, tinggal di rumah isteri, dan semua keturunannya mengambil garis keturunan istri. Van Dijk (1991: 35) menulis bahwa laki-laki tadi ‘dilepaskan dari golongan sanaknya dan dipindahkan ke dalam golongan sanak si perempuan’. Konsekuensinya, anak yang lahir dari perkawinan nyentana itu akan menjadi pewaris dari garis keturunan ibunya. “Jadi anggota yang meneruskan klan bapak mertua,’ tulis Van Dijk.

     

    Apakah perkawinan semacam itu sah? Hilman Hadikusuma (1990: 10 dan 27) mengatakan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur bagaimana tata tertib adat yang dilakukan mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat Indonesia, terutama bagi penganut agama tertentu, tergantung pada agama yang dianut umumnya oleh masyarakat adat tersebut. Jika dilaksanakan menurut hukum agama, maka biasanya perkawinan itu dianggap sah secara adat.

     

    UU Perkawinan, menurut Hilman (1990: 28-29), menempatkan hukum agama sebagai salah satu faktor yang menentukan keabsahan perkawinan. Jika tak dilaksanakan menurut hukum agama, maka perkawinan tidak sah. Dalam adat Hindu Bali, perkawinan umumnya dilakukan melalui upacara keagamaan yang disebut mekala-kalaan yang dipimpin pinandita.

     

    Mengenai perkawinan nyentana yang Anda sebut, Kadek Jingga dalam tulisan ‘Pro Kontra Perkawinan Nyentana’ di blognya, juga berpendapat perkawinan nyentana sah sepanjang dilakukan atas dasar suka sama suka dan menurut agama yang dianut kedua belah pihak.

     

    Lantas bagaimana pencatatan perkawinan itu di Catatan Sipil? Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (telah direvisi dengan UU No. 24 Tahun 2013) menegaskan perkawinan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan kepada instansi pelaksana (dalam hal ini Catatan Sipil) paling lambat 60 hari sejak hari tanggal perkawinan.

     

    Pasal 67 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil menyebutkan pencatatan perkawinan dilakukan dengan memenuhi syarat antara lain (a) surat keterangan telah terjadi perkawinan dari pemuka agama/pendeta atau surat perkawinan Penghayat Kepercayaan yang ditandatangani oleh Pemuka Penghayat Kepercayaan; (b) KTP suami dan isteri; (c) pasfoto suami dan isteri; dan (d) kutipan Akta Kelahiran suami dan isteri.

     

    Salah satu buku yang patut dibaca untuk mendalami lebih lanjut perkawinan menurut hukum adat Hindu Bali adalah karya Ida Bagus Anom, Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu, yang diterbitkan CV Kayumas Agung Denpasar (2010).

     

    Demikian jawaban kami mudah-mudahan bermanfaat.

     
     

    Referensi:

    1. Chidir Ali. Hukum Adat Bali dan Lombok dalam Yurisprudensi Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Pradnya Paramita, 1981.
    2. Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 1990.
    3. Mr. B. Ter Haar. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Terj. K. Ng. Soebakti Peosponoto. Cet-10. Jakarta: Pradnya Paramita, 1991.
    4. R. Soebekti. Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung. Bandung: Alumni, 1991.
    5. Soekantor. Meninjau Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Soeroengan, 1958. 
    6. Van Dijk. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terj. A. Soehardi. Cet-3. Bandung: Vorkink-Van Hoeve Bandung – ‘S Gravenhage, tanpa tahun.
     

    Dasar hukum

    1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
    2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana diubah dengan UU No. 24 Tahun 2013.
    3. Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
     
     
     
     

     

    Tags

    uu perkawinan
    hukum

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    28 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!