Selamat malam, saya ingin bertanya, apakah pelaku yang memiliki gangguan jiwa pedofilia dapat dihapuskan pidananya karena gangguan jiwa? Pedofilia tersebut dapatkah dijadikan sebagai dasar pemaaf sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, pedofilia adalah nafsu birahi orang dewasa terhadap anak-anak. Selain itu, menurut kamus kesehatan.com, pedofilia adalah aktivitas seksual yang melibatkan anak kecil, umumnya di bawah usia 13 tahun. Penderita pedofilia berusia lebih dari 16 tahun dan minimal lima tahun lebih tua dari si anak. Individu dengan gangguan ini dapat tertarik pada anak laki-laki, perempuan atau keduanya, meskipun insiden aktivitas pedofilia hampir dua kali lebih mungkin diulang oleh orang-orang yang tertarik pada laki-laki. Individu dengan gangguan ini mengembangkan prosedur dan strategi untuk mendapatkan akses dan kepercayaan dari anak-anak.
Jika kita mengacu pada definisi-definisi di atas, maka pedofilia tidak dikategorikan sebagai penyakit kejiwaan.
Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Pedofilia Menurut Hukum Indonesia, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), istilah yang dikenal sebagai pedofilia adalah perbuatan aktivitas seksual yang dilakukan seorang dewasa dengan seorang di bawah umur.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa dengan anak diatur dalam KUHP, yaitu dalam Pasal 287, Pasal 288, dan Pasal 290 KUHP:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Namun, sejak diberlakukannya UU Perlindungan Anak, tindakan-tindakan tersebut diatur lebih spesifik dalam Pasal 81 dan Pasal 82UU Perlindungan Anak:
Lalu apakah pedofilia merupakan penyakit kejiwaan yang dapat membuat si pelaku dihapuskan kesalahan pidananya karena alasan pemaaf? Sebelumnya kita perlu tahu apa itu alasan pemaaf. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 60-61) sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya adalah karena:
a.Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli, dan bisu mulai lahir. tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak.
b.Sakit berubah akalnya. yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.
Berkenaan dengan kondisi kejiwaan terdakwa, menurut R Soesilo (hal. 61), hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu meskipun ia dapat pula meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa. Jika hakim berpendapat bahwa bahwa orang itu betul tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka orang itu dilepaskan dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolgin). Tetapi, untuk mencegah terjadinya hal serupa yang membahayakan baik keselamatan orang gila tersebut maupun masyarakat, hakim dapat memerintahkan agar orang tersebut dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan maksimum satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa.
Melihat pada penjelasan tersebut, KUHP sendiri tidak menyebutkan pedofilia sebagai salah satu contoh dasar pemaaf. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui secara jelas apakah pedofilia termasuk penyakit kejiwaan atau tidak dengan merujuk pada contoh kasus, yakni dalam Pengadilan Negeri Singaraja No. 292/Pid.Sus/2012/PN.SGR. Dalam putusan tersebut diketahui bahwa ada seorang ahli spesialis kejiwaan yang memberikan keterangannya di persidangan mengenai pedofilia. Spesialis kejiwaan tersebut selain merupakan dosen di Universitas Udayana, ia juga merupakan ahli psikologi pada RSU Sanglah di Denpasar dan Presiden Casa (Commite Against Sexual Abuse).
Menurutnya, yang dimaksud pedofilia adalah sejenis penyakit/gangguan kejiwaan berupa keinginan untuk melakukan perbuatan cabul terhadap anak-anak di bawah umur baik laki-laki maupun perempuan. Ia mengatakan bahwa akibat yang ditimbulkan dari kejahatan pedofilia adalah pada umumnya akan mengalami trauma seumur hidup, stress dan luapan emosi yang di luar kendali pada korban, yakni anak-anak.
Meskipun hakim telah mendengar keterangan ahli tersebut yang mengatakan bahwa pedofilia adalah penyakit kejiwaan, akan tetapi, menurut majelis hakim dan berdasarkan pengamatannya selama proses persidangan berlangsung, terdakwa dalam keadaan sehat baik jasmani maupun rohani dan tidak tergolong pada mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 KUHP. Di samping itu, dalam pertimbangannya dikatakan bahwa majelis hakim tidak menemukan adanya alasan pemaaf yang dapat melepaskan terdakwa dari tuntutan pidana. Dengan demikian terdakwa dalam keadaan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya sehingga terdakwa harus dijatuhi pidana.
Dalam putusan tersebut diketahui bahwa terdakwa yang berkebangsaan Belanda itu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul” sebagaimana telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa pidana penjara selama tiga tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).
Berdasarkan contoh di atas dapat kita simpulkan bahwa pedofilia memang dinilai sebagai penyakit kejiwaan oleh ahli. Akan tetapi, pada praktiknya, selama dalam pengamatan dan pemeriksaan oleh hakim di persidangan terdakwa dalam keadaaan sehat jasmani maupun rohani serta tidak ditemukan adanya alasan pemaaf berdasarkan Pasal 44 KUHP, maka pelaku pedofilia tetap dihukum.