KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bakar Buku Nikah Suami, Ini Hukumnya

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Bakar Buku Nikah Suami, Ini Hukumnya

Bakar Buku Nikah Suami, Ini Hukumnya
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bakar Buku Nikah Suami, Ini Hukumnya

PERTANYAAN

Apa hukumnya bagi seorang wanita yang baru menikah belum ada 2 bulan tetapi sudah menggugat cerai suaminya ke penghulu karena nafkah? Padahal suaminya itu menjadi mualaf karena istrinya dan istrinya sudah berjanji akan mengajari dan membimbing suaminya. Selain itu, istri tersebut membakar buku nikah milik suaminya. Ketika disuruh melanjutkan gugatan cerainya ke pengadilan agama, istri itu tidak mau bahkan meminta cerai di bawah tangan saja.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada dasarnya, menurut UU Perkawinan, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri tidak dapat hidup rukun lagi. Kemudian, berdasarkan kasus Anda, pihak istri yang membakar buku nikah milik suami termasuk dalam tindakan perusakan barang yang diatur dalam KUHP dan UU 1/2023.

    Lantas, apa sanksi pidana bagi pelaku tindakan perusakan barang dalam KUHP dan UU 1/2023?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Hukumnya Jika Istri Membakar Buku Nikah Suami dan dipublikasikan pada Selasa, 1 Juli 2014.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Bolehkah Suami Mengajukan Cerai Saat Istri Hamil?

    Bolehkah Suami Mengajukan Cerai Saat Istri Hamil?

    Alasan Perceraian dalam UU Perkawinan

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu alasan perceraian yang dibolehkan oleh undang-undang. Perceraian hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi pasangan suami istri setelah semua upaya damai telah ditempuh untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Lalu, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri tidak dapat hidup rukun lagi.[1] Dikutip  dari artikel Bisakah Cerai karena Suami Pemabuk, alasan-alasan yang dapat menjadi dasar perceraian diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, yaitu:

    1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
      sebagainya yang sukar disembuhkan;
    2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
      izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
      kemauannya;
    3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
    4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
      membahayakan terhadap pihak yang lain;
    5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak
      dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
    6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

    Kemudian, selain diatur dalam UU Perkawinan dan perubahannya, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam dapat menjadikan dua alasan tambahan sebagai alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 116 KHI, yaitu:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
    1. Suami melanggar taklik talak.
    2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

    Oleh karena itu, menjawab pertanyaan Anda, dalam hal seorang istri menggugat cerai suaminya, ia perlu memberikan alasan-alasan yang cukup untuk melakukan perceraian. Misalnya, masalah nafkah yang diberikan oleh suaminya memicu perselisihan dan pertengkaran hingga tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam berumah tangga sebagaimana disebut dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU Perkawinan. Jika hanya nafkah yang menjadi alasan mengapa ia menggugat cerai suaminya, maka tentu alasan itu belum cukup. Sehingga, perlu diperkuat dengan alasan bahwa tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi.

    Selanjutnya, perlu diketahui bahwa usia perkawinan yang baru berusia 2 bulan tidak dapat dijadikan acuan boleh atau tidaknya seseorang melakukan perceraian. Jadi, bisa saja seorang istri menggugat cerai suaminya meski baru 2 bulan menikah, dengan catatan, perceraian itu memang disertai dengan alasan yang cukup sebagaimana yang kami sebut di atas.

    Pasal Perusakan Barang dalam KUHP

    Berkaitan dengan pertanyaan Anda, perbuatan istri yang membakar buku nikah milik suami termasuk dalam tindak pidana perusakan barang. Tindak pidana perusakan barang diatur dalam KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[2] yaitu tahun 2026. Berikut ulasannya.

    KUHPUU 1/2023

    Pasal 406 ayat (1)

    1. Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[3]

    Pasal 521

    1.  Setiap orang yang secara melawan hukum merusak, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan barang yang gedung atau seluruhnya milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[4]
    2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian yang nilainya tidak lebih dari Rp500 ribu, pelaku tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[5]

    Disarikan dari artikel Jerat Pasal Perusakan Barang Milik Orang Lain dalam KUHP, unsur-unsur dari Pasal 406 ayat (1) KUHP adalah:

    1. Barang siapa;
    2. Dengan sengaja dan melawan hukum;
    3. Melakukan perbuatan menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu; dan
    4. Barang tersebut seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain.

    R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menerangkan bahwa supaya dapat dihukum menurut pasal perusakan barang, maka harus dibuktikan hal-hal sebagai berikut (hal. 279):

    1. bahwa terdakwa telah membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi, atau menghilangkan suatu barang;
    2. bahwa pembinasaan dan sebagainya itu harus dilakukan dengan sengaja dan dengan melawan hak;
    3. bahwa barang itu harus sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain.  

    Terkait pasal ini, R. Soesilo juga menguraikan hal-hal berikut:

    1. Membinasakan artinya menghancurkan (vernielen) atau merusak sama sekali, misalnya membanting gelas, cangkir, tempat bunga, sehingga hancur.
    2. Merusakkan artinya kurang daripada membinasakan (beschadigen), misalnya memukul gelas, piring, cangkir, dsb tidak sampai hancur, akan tetapi hanya pecah sedikit retak atau hanya putus pegangannya.
    3. Membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi, artinya tindakan itu harus demikian rupa sehingga barang itu tidak dapat diperbaiki lagi.
    4. Menghilangkan artinya membuat sehingga barang itu tidak ada lagi, misalnya dibakar sampai habis, dibuang di kali atau laut hingga hilang.
    5. Barang yaitu barang yang terangkat maupun barang yang tidak terangkat.

    Kemudian, menurut hemat kami, pemenuhan unsur Pasal 406 ayat (1) KUHP juga kurang lebih berlaku bagi Pasal 521 UU 1/2023 sebagaimana rumusan yang disebutkan. Adapun Penjelasan Pasal 521 UU 1/2023 menerangkan definisi “merusak”, yaitu membuat tidak dapat dipakai untuk sementara waktu, artinya apabila barang itu diperbaiki maka dapat dipakai lagi. Sementara yang dimaksud dengan "menghancurkan" adalah membinasakan atau merusakkan sama sekali sehingga tidak dapat dipakai lagi.

    Jadi, perbuatan istri yang membakar buku nikah milik suaminya merupakan tindak pidana perusakan barang yang dapat dituntut berdasarkan Pasal 401 ayat (1) KUHP atau Pasal 521 UU 1/2023.

    Syarat Sah Perceraian

    Selanjutnya, berdasarkan informasi yang Anda berikan, pihak istri tidak mau melanjutkan gugatan perceraiannya ke pengadilan agama, melainkan meminta cerai di bawah tangan. Menurut hemat kami, hal tersebut tidaklah sah menurut hukum mengingat perceraian diatur dalam Pasal 39 UU Perkawinan yang berbunyi:

    1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
    2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
    3. Tatacara perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

    Selain itu, bagi pasangan suami dan istri yang beragama Islam, maka berlaku Pasal 115 KHI yang menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Penjelasan selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel Sahkah Perceraian Tanpa Sidang Pengadilan?

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP;
    5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

    Referensi:

    R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.


    [1] Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).

    [3] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, denda dikali 1000.

    [4] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023.

    [5] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023.

    Tags

    istri
    suami

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Simak! Ini 5 Langkah Merger PT

    22 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!