Apakah boleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) menjadi pembela dalam perkara hukum perdata yang disertai ganti rugi terhadap PPATS (sekarang mantan PPATS) karena diduga PPATS tersebut saat menjabat membuat akta jual beli secara tidak prosedural yang mengakibatkan ukuran luas tanah, harga tanah, serta objek tidak sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak? Bisakah kita melakukan gugatan ke pengadilan untuk dibatalkan Akta Jual Belinya (AJB)? Bisakah mantan PPATS-nya dimintai ganti rugi? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sepengetahuan kami, saat ini kewenangan Jaksa Pengacara Negara bersumber dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang ini menyatakan: “Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Kejaksaan juga punya kewenangan lain sepanjang diamanatkan Undang-Undang lain. Misalnya wewenang kejaksaan mengajukan permohonan pailit untuk kepentingan umum (UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).
Tentang siapa yang berhak diwakili, Pasal itu hanya menyebut kejaksaan hanya bisa mewakili ‘untuk dan atas nama negara atau pemerintah’. Siapakah yang dimaksud negara atau pemerintah? Tak ada penjelan rinci. Secara umum, prakteknya selama ini, yang diwakili adalah lembaga-lembaga eksekutif.
Ketentuan lebih lanjut siapa saja yang diwakili Jaksa Pengacara Negara bisa dilihat pada Peraturan Jaksa Agung No. 040/A/J.A/12/2010 tentang Standar Operating Prosedur (SOP) Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Wewenang Perdata dan Tata Usaha Negara. Dalam beleid ini disebutkan bentuk-bentuk kegiatan diberikan Jaksa Pengacara Negara kepada kepada lembaga negara, instansi pemerintah di pusat/daerah, dan BUMN/BUMD berdasarkan surat kuasa khusus. Kami sarankan Anda membaca artikel ‘Bahasa Hukum: Jaksa Pengacara Negara’, dan artikel ‘Jaksa Pengacara Negara di Mata SEMA dan Perja’.
Apakah camat menjadi bagian dari instansi pemerintah di daerah? Pasal 1 angka 2 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pasal 126 ayat (2) mengatur camat memimpin kecamatan berdasarkan ‘pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah’. Dari ketentuan ini jelas bahwa camat adalah penyelenggara sebagian urusan pemerintahan di daerah, sehingga secara normatif bisa didampingi Jaksa Pengacara Negara berdasarkan surat kuasa khusus dalam perkara perdata dan tata usaha negara.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Persoalannya, apakah saat berperan sebagai PPATS, camat sedang menjalankan fungsi pemerintahan atau negara? Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPATS adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
Surat Edaran Kepala BPN No. 640-2191-KPBN tentang Penunjukan Pjs/Plh/Plt Camat Sebagai PPATS menegaskan sebelum memangku jabatannya wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT. Camat diangkat sebagai PPATS jika di daerah tersebut tak ada PPAT. Wilayah kerjanya pun terbatas di kecamatan yang dia pimpin. Jadi, dapatlah dikatakan bahwa jabatan PPATS adalah ex-officio, yang melekat karena jabatan. Begitu seseorang tak menjabat camat lagi, maka ia tak berkedudukan sebagai PPATS lagi.
Sebagai PPATS, camat berwenang menjalankan kewenangan PPAT. Terkait hal ini, Anda bisa membaca artikel terkait, ‘Proses Pembuatan Akta Hibah oleh Camat’. Tetapi camat seharusnya hanya mencatat sesuai kesepakatan para pihak, kecuali kesepakatan itu bertentangan dengan undang-undang. Sepanjang tidak melanggar, maka kesepakatan itulah yang dicatatkan dalam akta. Tentu saja, pihak yang dirugikan dalam pembuatan akta tanah bisa menggunakan upaya hukum perdata seperti menggugat dan meminta ganti rugi terhadap pihak-pihak yang dirugikan. Tetapi jika yang hendak dipersoalkan adalah keabsahan akta, maka upaya yang pas adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Pada akhirnya, hakimlah yang akan memutuskan apakah gugatan ganti rugi kepada PPATS dapat dibenarkan atau tidak.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Kami sarankan agar rencana meminta ganti rugi itu dikonsultasikan dengan pengacara.
Rujukan
·Evy Lusia Ekawati. Peranan Jaksa Pengacara Negara dalam Penanganan Perkara Perdata. Yogyakarta: Genta Press, 2013.
·Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan. Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan. Jakarta: Rajawali Press, 2008.