Bagaimana bila peraturan cuti ibadah haji belum ada pada peraturan perusahaan swasta? Apakah akan kembali ke peraturan yang sudah ada? Yang mana dasar hukumnya adalah Pasal 93 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”). Jika perusahaan tidak mengizinkan cuti ibadah haji, lalu melakukan pemberhentian hubungan kerja, apakah perusahaan dapat dikenakan sanksi?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. danpertama kali dipublikasikan pada Jumat, 08 Agustus 2014.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pelaksanaan ketentuan ibadah haji selain dalam UU Ketenagakerjaan, juga ditetapkan lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Jika hal ini tidak/belum diatur dalam peraturan perusahaan, maka salah satu dasar hukum yang menjadi acuan adalah UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya.
UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pengusaha tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) dalam hal pekerja menjalankan ibadah haji. Jika terjadi PHK karena pekerja menjalankan ibadah haji, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan
Penjelasan lebih lanjut dan langkah yang dapat dilakukan pekerja dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Hak Beribadah
Hak melaksanakan ibadah, termasuk di dalamnya melaksanakan ibadah haji, merupakan hak asasi yang melekat pada diri seorang pekerja. Hak ini secara jelas dilindungi oleh konstitusi, yakni dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):
(1)Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2)Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Ketentuan Pelaksanaan Ibadah Bagi Karyawan
Lalu, dimanakah ketentuan tentang pelaksanaan ibadah haji bagi pekerja? Sebelum menjawabnya, terlebih dahulu kita simak bunyi Pasal 93 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”):
(1)Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:
a.pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b.pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c.pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d.pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e.pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f.pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g.pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h.pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i.pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
(3)…
(4)...
(5)Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Mencermati pasal di atas, pasal ini mengatur tentang prinsip no work, no pay. Artinya, pengusaha tidak membayar upah jika pekerja tidak bekerja. Namun, dalam konteks pertanyaan Anda, Pasal 93 ayat (2) huruf e UU Ketenagakerjaan mengecualikannya dalam hal pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, yaitu salah satunya adalah jika pekerja pergi ibadah haji.
Oleh karena itu, jika pekerja pergi ibadah haji, pengusaha tetap wajib membayar upah pekerja yang bersangkutan. Dengan ketentuan hanya sekali selama Pekerja/Buruh bekerja di Perusahaan yang bersangkutan.[1]
Pelaksanaan ketentuan ini ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[2] Jadi, dalam konteks pertanyaan Anda, memang pada dasarnya ketentuan ini diatur lebih lanjut (salah satunya) dalam peraturan perusahaan. Jika memang hal ini tidak/belum diatur dalam peraturan perusahaan, maka salah satu dasar hukum yang menjadi acuan adalah UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya.
Larangan Pengusaha Memutuskan Hubungan Kerja dengan Pekerja yang Melaksanakan Ibadah Haji
Pengusaha tidak boleh melarang pekerjanya untuk melaksanakan ibadah dan pengusaha wajib membayar upah penuh, bukan melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) terhadap pekerja yang bersangkutan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 153 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan:
“Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya”
Menjawab pertanyaan Anda tentang sanksi, yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan adalah jika terjadi PHK karena pekerja menjalankan ibadah haji, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.[3]
Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan Karyawan
Jika perusahaan mem-PHK pekerja karena alasan pekerja melaksanakan ibadah haji dan pekerja keberatan dengan alasan PHK tersebut, adapun langkah hukum yang dapat dilakukan oleh pekerja yang bersangkutan adalah menyelesaikannya secara musyawarah untuk mencapai mufakat dengan pengusaha sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”), yakni melalui perundingan lewat forum bipatrit. Jalur bipartit adalah suatu perundingan antara pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Perundingan ini harus dilaksanakan paling lambat 30 hari.[4] Apabila perundingan bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.[5] Dalam hal perundingan di jalur tripartit masih tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[6]
Contoh Kasus
Meskipun UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya sudah memberikan jaminan keberlangsungan kerja bagi pekerja yang melaksanakan ibadah haji, tapi pada faktanya pekerja tak bisa asal berlindung di balik alasan ibadah haji ini jika dipecat perusahaan. Pekerja juga harus punya bukti pendukung yang kuat. Ini misalnya terlihat pada kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 216 K/Pdt.Sus-PHI/2015. Pemohon Kasasi (dahulu Penggugat) di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja sepulang dari melaksanakan ibadah haji.
Hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial dalam pertimbangannya menyatakan tidak terdapat bukti yang cukup bahwa Tergugat memecat karena Penggugat menjalankan ibadah haji ke tanah suci. Sehingga hakim menyatakan pemutusan hubungan kerja adalah sah dan pengusaha wajib membayar hak-hak pekerja. Hakim pada tingkat kasasi pun menguatkan putusan hakim pengadilan hubungan industrial.