Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah Kehilangan Hak Asuh Jika Ibu Lebih Memilih Berkarir?

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Bisakah Kehilangan Hak Asuh Jika Ibu Lebih Memilih Berkarir?

Bisakah Kehilangan Hak Asuh Jika Ibu Lebih Memilih Berkarir?
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bisakah Kehilangan Hak Asuh Jika Ibu Lebih Memilih Berkarir?

PERTANYAAN

Dear para pakar hukum, saya seorang wanita dengan usia pernikahan 4 tahun dan mempunyai 1 orang putri. Saya menikah secara Islam. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. 1) Apakah bisa dikabulkan jika gugatan cerai didasari alasan mendapat tekanan psikis dan ultimatum selama pernikahan berlangsung? 2) Jika kelemahan istri adalah tidak pandai memasak (tetapi pernah mencoba belajar), kemudian si suami memaki istri sampai disebarluaskan dicemooh ke keluarga besarnya, hal tersebut apakah dapat menghilangkan hak asuh anak? 3) Jika selama ini saya memilih berkarir dibandingkan mengasuh anak dengan alasan penghasilan suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder anak (karena penghasilan suami hampir setengahnya untuk menyicil kredit mobil atas namanya), apakah hal tersebut dapat menghilangkan hak asuh anak sehingga hak asuh jatuh ke tangan istri? 4) Jika yang menggugat adalah sang istri, apakah bisa mendapatkan dan menuntut hak dari suami untuk tetap wajib memberikan nafkah untuk biaya hidup dan biaya kesehatan anak? Mohon penjelasan detail dan pencerahannya. Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Perceraian hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi pasangan suami istri setelah semua upaya telah ditempuh untuk menjaga keutuhan rumah tangga.

     

    1)    Pada dasarnya, dikabulkan atau tidaknya suatu gugatan perceraian dikembalikan pada putusan hakim setelah melalui pemeriksaan di pengadilan. Hal ini bergantung pada pertimbangan hakim setelah mendengar keterangan saksi dan bukti-bukti lainnya dan fakta-faka yang terungkap di persidangan.

    KLINIK TERKAIT

    Bolehkah Suami Mengajukan Cerai Saat Istri Hamil?

    Bolehkah Suami Mengajukan Cerai Saat Istri Hamil?
     

    Namun, untuk menjawab pertanyaan Anda yang pertama, kita perlu ketahui dasar perceraian, yakni alasan-alasan apa yang dibenarkan oleh undang-undang dalam perceraian.

     

    Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) berbunyi:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.”

     

    Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dikatakan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

     

    1.    salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

    2.    salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;

    3.    salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

    4.    salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;

    5.    salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;

    6.    antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

     

    Anda mengatakan bahwa Anda menikah secara Islam. Selain alasan-alasan di atas, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam juga berlaku ketentuan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang menambahkan dua alasan perceraian yang tidak disebut dalam UU Perkawinan yaitu:

    1.    Suami melanggar taklik talak;

    2.    Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

     

    Menjawab pertanyaan Anda, jika melihat dari alasan-alasan perceraian yang disebut dalam UU Perkawinan dan KHI di atas, maka jika Anda mendapat tekanan psikis seperti yang Anda katakan, hal itu memang tidak termasuk alasan perceraian. Namun, apabila memang tekanan psikis itu Anda rasakan akibat dari adanya perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka hal itu dapat menjadi dasar alasan perceraian.

     

    2)    Berikutnya kami akan menjawab pertanyaan kedua Anda soal hak asuh anak. Hak asuh seringkali menjadi permasalahan pasca perceraian. Mengenai hak asuh anak, pengadilan biasanya memberikan hak perwalian dan pemeliharaan anak di bawah umur kepada ibu. Hal ini mengacu pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Setelah anak tersebut berusia 12 tahun maka dia diberikan kebebasan memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya.

     

    Menurut pengajar hukum Islam di Universitas Indonesia, Farida Prihatini dalam artikel Hak Asuh Harus Menjamin Kepentingan Terbaik Anak, sebaiknya hak asuh anak diberikan kepada ibunya bila anak belum dewasa dan belum baligh. Karena ibu secara fitrahnya lebih bisa mengatur anak dan lebih telaten mengasuh anak. Tapi, menurutnya, hak asuh anak juga tidak tertutup kemungkinan diberikan kepada sang ayah kalau ibu tersebut memilki kelakuan yang tidak baik, serta dianggap tidak cakap untuk menjadi seorang ibu, terutama dalam mendidik anaknya.

     

    Ini artinya, jika usia anak Anda kurang dari 12 tahun, maka hak asuh ada pada Anda sebagai ibunya. Mengacu pada poin-poin di atas, tidak pandainya Anda dalam memasak tidak serta merta dapat dikatakan bahwa Anda sebagai seorang ibu memiliki kelakuan yang tidak baik yang bisa menghilangkan hak asuh anak.

     

    3)    Jika Anda lebih memilih berkarir daripada mengasuh anak, dilihat dari segi hukum, hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, demikian yang disebut dalam Pasal 31 ayat (1) UU Perkawinan. Ini artinya, sudah menjadi hak Anda untuk bekerja, namun hal tersebut tidak serta merta menghilangkan kewajiban Anda untuk mengasuh anak. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam Kedudukan Istri yang Bekerja dari Kacamata Hukum.

     

    Masih terkait dengan hak asuh anak jika ibunya bekerja, kami mengacu pada tulisan yang ditulis oleh Yudi Hardeos, S.HI., M.SI. (Hakim Pengadilan Agama Bontang) berjudul Menimbang Ulang Tipikal Hak Asuh dan Kriteria Moral Pemegang Hadanah yang kami akses dari laman resmi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Dalam tulisan tersebut antara lain dikatakan bahwa ketika seseorang bertanya, “Bila konteks saat ini memungkinkan seorang ibu mencari nafkah di luar rumah, haruskah hak asuh tetap jatuh pada ibunya? Bagaimana jika si ibu telah melakukan langkah antisipasi sehingga ia yakin akan jaminan keamanan si anak selama ia bekerja?” Tugas seorang hakim-lah yang harus jeli dalam melakukan assessment dan pengukuran demi membela kepentingan anak. Selain faktor tersebut, masih banyak hal yang patut dipertimbangkan oleh seorang hakim, diantaranya seperti kesehatan fisik dan mental orang tua, intelektual, kemandirian serta itikad baik untuk memberi hak dan kesempatan pada mantan pasangannya untuk mengunjungi dan membangun komunikasi dengan anak di bawah asuhannya.

     

    4)    Selanjutnya kami akan menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai bagaimana jika yang menggugat adalah sang istri, apakah bisa mendapatkan dan menuntut hak dari suami untuk tetap wajib memberikan nafkah untuk biaya hidup dan biaya kesehatan anak? Jawabannya, bisa.

     

    Mengenai nafkah ini juga diatur dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP Perkawinan”) yang mengatakan selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami. Dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (2) huruf a PP Perkawinan dikatakan bahwa proses perceraian yang sedang terjadi antara suami-isteri tidak dapat dijadikan alasan bagi suami untuk melalaikan tugasnya memberikan nafkah kepada isterinya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Masalah Pemberian Nafkah Selama Proses Perceraian.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

    2.    Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

    3.    Kompilasi Hukum Islam.

     
    Referensi:

    http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/ARTIKEL-Menimbang%20Ulang%20Tipikal%20Hak%20Asuh%20dan%20Kriteria%20Moral%20Pemegang%20Hadanah.pdf, diakses pada 18 September 2014 pukul 16.57 WIB.

      

    Tags

    karir

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    28 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!